Sabtu, 01 Juni 2013

PENDOKUMENTASIAN BERBASIS KOMPUTERISASI SEBAGAI PILIHAN METODE DOKUMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN TERKINI PADA PASIEN TRAUMA DI INSTALASI GAWAT DARURAT


PENDOKUMENTASIAN BERBASIS KOMPUTERISASI SEBAGAI PILIHAN METODE DOKUMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN  TERKINI PADA PASIEN TRAUMA DI INSTALASI GAWAT DARURAT

Masalah mengenai bagaimana teknik pendokumentasian yang tepat untuk diterapkan pada lingkup keperawatan gawat darurat telah lama menjadi bahan bahasan yang menarik. Hal yang membuat masalah ini menarik didasarkan pada setting ruang dan jenis pasien yang berbeda karakteristiknya dengan departemen keperawatan yang lain. Penanganan pasien gawat di setting ruang gawat darurat memerlukan tindakan yang bersifat cepat dan memerlukan tindakan yang tepat (Blair & Smith,2012). Perawat gawat darurat dituntut harus dapat mengkaji pasien trauma akibat kecelakaan dan ruda paksa dengan cepat sambil merencanakan intervensi serta berkolaborasi dengan dokter gawat darurat dalam rentang waktu yang relatif singkat. Perawat gawat darurat juga dituntut untuk mampu melakukan dan mendokumentasikan tindakan medis dan tindakan keperawatan termasuk waktu sesuai dengan standar yang disetujui. Pendokumentasian pada penanganan pasien trauma sebenarnya tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena pendokumentasian pada kondisi trauma memerlukan waktu yang cepat namun kompleks.  
Pendokumentasian pada setting kegawatdaruratan dimulai dari fase triage sampai dengan transfer pasien ke unit pelayanan lain. Menurut Iyer dan Camp (2005), proses pendokumentasian pada tahap triage meliputi waktu dan datangnya alat transportasi, Keluhan utama saat pasien datang, pengkodean warna prioritas setelah ditriage dan  Intervensi awal yang diberikan. Sehingga point yang penting dalam pendokumentasian di setting gawat darurat adalah pre hospital, primary survey, dan secondary survey. Menurut Bergh et al (2012), kepuasan pasien saat pertama kali masuk ke Instalasi Gawat Darurat adalah pada bagaimana perawat melakukan triage. Karena bila pasien sudah merasa puas pada awal triage maka semua pelayanan pada proses keperawatan pun telah dinilai baik dan memuaskan menurut pasien. Pendokumentasian yang lain adalah proses keperawatan yang meliputi pengkajian, intervensi dan evaluasi. Fokus tindakan pasien trauma di IGD adalah pada kemampuan survival dan kualitas hidup setelah traumanya. 
Setting ruang gawat darurat dengan karakteristik pasien yang unik, disertai beragam kondisi yang mengancam jiwa membutuhkan suatu sistem / format pendokumentasian yang singkat, jelas dan mudah untuk digunakan. Menurut Thompson (2006) tuntutan pasien terhadap perawat sering disebabkan pendokumentasian yang tidak tepat, dan tidak lengkap. Pasien dengan trauma diketahui telah mengalami banyak stress yang tidak hanya fisiologis tetapi juga bersifat psikologis. Hal ini tidak hanya mempengaruhi pasien akan tetapi juga keluarga pasien. Kecemasan dan takut akan menjelang ajal menjadi masalah yang tersering terjadi. Dampak pada kecemasan dan ketakutan pada keluarga pasien akan bermanifestasi dengan tuntutan akan pelayanan yang optimal dan efektif. Menurut Berg et al (2012) bahwa tingkat kepuasan pasien trauma yang dirawat di IGD lebih banyak disebabkan karena pelayanan perawatan yang komunikatif. Padahal kondisi di IGD, perawat dan tim medis lain memiliki banyak kesulitan untuk dapat berkomunikasi yang efektif karena minimnya waktu dan banyaknya tindakan penyelamatan yang harus dilakukan pada pasien trauma. Dalam essay ini, saya akan membahas mengenai sistem pendokumentasian apa yang tepat diterapkan pada setting ruang kegawatdaruratan, bagaimana sistem pendokumentasian yang telah berkembang di negara maju,dimana disana telah diterapkan sistem pendokumentasian dengan berbasis komputerisasi, apa saja keuntungan dan kerugian dalam penggunaan teknologi komputeri untuk proses pendokumentasian, lalu bagaimana bila sistem tersebut diterapkan di Indonesia. Dan persiapan apa saja yang perlu dilakukan agar sistem pendokumentasian tersebut dapat berjalan baik.
Pendokumentasian merupakan salah satu bagian yang tidak bisa terlepaskan dari proses keperawatan. Kegiatan pendokumentasian juga dinilai sebagai salah satu aspek legal hukum perawat dalam melakukan asuhan keperawatan. Bukti kualitas asuhan keperawatan juga dievaluasi dari bukti pendokumentasian proses keperawatan (Hentschke,2009 ; Prldeaux, 2011). Hal ini menjadi tantangan bagi profesi perawat dalam menentukan metode pendokumentasian apa yang efektif untuk mengakomodasi kelengkapan dan keakuratan data pasien, mengakomodasi komponen proses keperawatan terutama pengkajian, intervensi dan evaluasi selama proses resusitasi. Bila perawat gagal dalam melakukan pendokumetasian yang tepat maka akan berdampak pada tuntutan keluarga pasien, yang akhirnya akan berujung pada ketidakpercayaan terhadap profesional perawat sehingga akan menurunkan mutu kualitas asuhan keperawatan (Curtis et al ,2002). Hal ini tidak terlepas dari indikator profesionalisme keperawatan yang dilihat dengan kualitas dokumentasinya
Pada era perkembangan kemajuan informasi dan teknologi seperti saat ini, perawat juga dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan zaman. Salah satunya adalah dengan ide menggunakan teknologi komputer dalam pendokumentasian tindakan keperawatan. Ide mengenai penggunaan komputer untuk pendokumentasian di setting keperawatan emergensi pada kasus trauma sebenarnya telah ada pada era tahun 1990an. Chua et al pada tahun 1993 melakukan penelitian dengan melibatkan 24 perawat emergensi sebagai responden untuk mendokumentasikan proses penanganan pasien mulai dari awal masuk sampai pemindahan ke unit lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunaan handwritten data entry dengan computerized bar code data entry pada penanganan resusitasi pasien trauma. Responden diminta untuk mendokumetasikan suatu tindakan resusitasi pasien trauma yang ditamplikan melalui stimulasi video. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa tingkat kesalahan pencatatan dengan metode computerized bar code data entry lebih sedikit kesalahannya daripada dengan handwritten data entry.
Saat ini pendokumentasian di negara- negara maju sudah beralih menggunakan software komputer. Beberapa negara maju yang sudah lama beralih pada pendokumentasian dengan sistem komputerisasi adalah Jerman, Amerika Serikat Australia, Inggris, Kanada, Perancis (Probst et al, 2006). Mereka telah mengembangkan sistem pendokumentasian trauma dengan komputerisasi. Komputerisasi dalam praktik keperawatan dinilai membantu dalam mengurangi tingkat kesalahan, menstandarisasi rencana asuhan keperawatan dan mendokumentasikan semua hal mengenai pasien sesuai dengan standar keperawatan dan kebijakan RS (Krogh,& Naden, 2008). Menurut Green dan Thomas (2008), penggunaan pendokumentasian dengan berbasis komputerisasi memberikan hasil yang lebih baik karena informasi mengenai pasien menjadi lebih jelas dan lengkap, Sehingga kolaborasi perawat dan dokter atau dengan interdisiplin lain menjadi lebih nyata dalam berkomunikasi mengenai kondisi pasien. Banyak model pendokumentasian proses keperawatan yang ditawarkan pada setting kegawatddaruratan.
Salah penggunaan sofware komputer dalam upaya peningkatan kualitas pendokumentasian adalah dengan END-IT (Emergency   Nurse Department – Improvement Tool) yang telah diterapkan di negara bagian Pennsylvania. Masih banyak lagi sistem pendokumentasian dengan sistem komputerisasi lainnya seperti elektronic chart, computerized whiteboard, Computer-Based Patient Record, Wearable Auto-Event-Recording of Medical Nursing Automatic System for Auto-Supervision.
 Penggunaan komputer di bagian perawatan gawat darurat  sangat  penting. Hal ini karena dalam perawatan gawat darurat dibutuhkan analisis tinggi dan cepat sehingga dapat dengan cepat mengambil keputusan atas keadaan klien. Beberapa jenis dokumentasi yang diusulkan adalah sistem pencatatan dengan END-IT (Emergency Nurse Department – Improvement Tool). Sistem ini diperkenalkan pada tahun 2008 oleh Wainwright et al dengan menggunakan sistem komputerisasi. Pada uji coba pertama kali selama 6 bulan yaitu bulan april sampai oktober tahun 2006 sistem pendokumentasian ini telah mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian perawat dalam pencatatan sebanyak 21 %. Sebelum dimasukkan pada data base komputerisasi, Sistem END-IT menggunakan lembar alur (Lampiran 1). Pada lembar alur tersebut baru akan dimasukkan ke data base pusat.
Model pendokumetasian komputerisasi yang lain adalah elektronic chart. Sistem ini dikembangkan di departemen radiologi. Hasil penelitian aplikasi ini didapatkan bahwa ada beban kerja perawat dengan sistem ini menjadi 28,2% lebih rendah dari menggunakan kertas. Beban kerja perawat secara keseluruhan terjadi penurunan secara bermakna yaitu sebesar 20,6%. beban kerja staf administrasi meningkat 28,4%
Penelitian dilakukan oleh Dominik Aronsky et al pada tahun 2007 tentang penerapan sistem komputer di departemen emergensi. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan computerized whiteboard, yaitu sistem informasi keperawatan berbasis komputer yang dimodifikasi dengan menambahkan layar lebar di Whiteboard. Tayangan yang lebar di Whiteboard akan memudahkan setiap tenaga kesehatan dan pasien untuk melihat informasi yang diperlukan, termasuk perkembangan kondisi kesehatan klien. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan kualitas asuhan pasien dan terjadi efesiensi waktu dan tenaga. Aplikasi sistem komputerisasi dokumentasi di ruang gawat darurat terus berkembang.
Perkembangan selanjutnya ditemukannya Computer-Based Patient Record (CPR) systems, yaitu melakukan pencatatan terhadap kondisi dan perkembangan penyakit pasien dengan menggunakan komputer. Dalam sistem ini dilengkapi sistem pemantauan klien secara progresif. Sistem ini dikembangkan oleh Jose A. pada tahun 1997. Dalam penelitian mereka tentang aplikasi sistem tersebut, ditemukan bahwa terjadi penurunan biaya administrasi pendokumentasian dan meningkatkan kerja tim dalam ruangan gawat darurat. Sistem tersebut diberi nama ASAS (Automatic System for Auto-Supervision)
Perkembangan lain mengenai model pendokumentasian adalah dengan model EPR (Electronic Patient Record). Metode ini menggunakan sistem komputerisasi yang diperkenalkan oleh Krough dan Naden pada tahun 2008 di Norwegia  Sistem ini dilengkapi dengan Nursing Minimum Data Set yang berisi NANDA Nursing Diagnoses, Nursing Intervention Classification, and Nursing Outcome Classification. EPR sebagai salah satu struktrur teknologi pelayanan kesehatan telah banyak digunakan oleh disiplin ilmu lain . Struktur ini berisi mengenai sistem informasi, sistem monitoring biomedikal serta jaringan komunikasi luar.
Terobosan terkini dalam komputerisasi dokumentasi keperawatan dengan mengembangkan sistem link lokal. Sistem ini dikembangkan dengan memadukan teknologi link lokal seperti wifi, wlan. Media yang digunakan yaitu personal digital assistance (PDA). Sistem ini dikembangkan oleh Kuwahara pada tahun 2003 di Kyoto, Jepang. Sistem ini mampu memberikan informasi tentang asuhan keperawatan. Termasuk didalamnya asuhan dalam keadaan emergensi, atau dalam keadaan non emergensi. Sistem ini diberi nama Wearable Auto-Event-Recording of Medical Nursing. Jadi sistem ini dapat digunakan dalam segala kondisi asuhan keperawatan. Setiap perawat dilengkapi dengan PDA yang didesain khusus sehingga peka terhadap kesalahan input dan eror data. Hasil penelitian dari aplikasi sistem ini menunjukan bahwa ada peningkatan kualitas dokumen dan menghindari dari keterlambatan tindakan keperawatan dalam keadaan darurat
Semua perangkat lunak di atas pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dokumen keperawatan (Probst et al, 2006). Hal yang lebih diutamakan yaitu keberlanjutan dokumen keperawatan. Keberlanjutan dokumen yang baik akan dapat memberikan informasi yang tepat tentang perkembangan status kesehatan klien (Wahl et al, 2006). Pemantauan ini sangat penting mengingat bahwa asuhan keperawatan merupakan suatu siklus proses yang saling mempengaruhi. Berawal dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi. Data yang berkesinambungan akan mempengaruhi kualitas siklus tersebut.
Penggunaan pendokumentasian dengan berbasis komputer memiliki banyak keuntungan. Dimana salah satunya adalah issue standar yang harus ada dalam suatu pendokumentasian pasien dengan keadaan tertentu dalam hal ini adalah standar pendokumentasian apa yang harus dilakukan pada pasien dengan trauma. Standar pendokumentasian mengenai poin –poin yang harus ada pada pasien telah di install di dalam software komputer sehingga tingkat kesalahan perawat saat memasukkan data pasien memiliki tingkat kesalahan yang kecil (Wurster et al, 2012). Selain itu untuk proses penelusuran pasien, perawat juga tidak mengalami kesulitan. Berdasarkan penelitian Kohort yang dilakukan oleh Mahler et al (2007) dengan melibatkan 4 unit perawatan di Heidelberg selama 18 bulan ditemukan hasil yang signifikan. Hasil penelitian tersebutkan mengungkapkan bahwa 3 unit dari 4 unit perawatan yang menggunakan sistem komputerisasi pada sistem pendokumentasiannya memiliki tingkat keefektifitasan dan kelengkapan data sebesar 68 % dari yang sebelumnya dimana sistem pendokumentasiannya masih bersifat tradisional atau tulisan tangan di kertas.
Meskipun banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan komputer sebagai alat bantu sistem pendokumetasian, kerugian pada penggunaan ini tentu juga ada. Masalah legal etik mengenai keamanan dan privasi informasi pasien menjadi bahasan yang menarik terkait penggunaan komputer dengan kata sandi agar dapat mengakses seluruh informasi kesehatan pasien bahkan informasi yang paling sensitif sekalipun (WainWright et al, 2008) . Permasalahan yang lain adalah bila terjadi gangguan sistem atau downtime. Hal ini akan mengakibatkan beberapa informasi pasien akan hilang. Kerugian lain yang sering dikeluhkan adalah software informasi keperawatan yang membatasi penggunaan teks bebas mendorong perawat untuk mengabaikan informasi utama tentang pasien (Iyer & Camp, 2005). Observasi penting tentang pasien yang tidak cocok dalam sebuh kategori dapat dihilangkan dari rekam medis. Dan yang terakhir adalah terkait dengan biaya. Pembelian hardware dan software , pendidikan teknologi untuk staf keperawatannya, sistem keamanan dan pemeliharan perangkat memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak jarang beberapa rumah sakit di Australia kembali beralih pada pencatatan kertas dengan pemikiran biaya agar dapat dialokasikan untuk pembelian ventilator, pompa infus dan peralatan rumah sakit lainnya.
Penggunaan komputer di bagian perawatan gawat darurat  sangat  penting. Hal ini karena dalam perawatan gawat darurat dibutuhkan analisis tinggi dan cepat sehingga dapat dengan cepat mangambil keputusan atas keadaan klien. Dari beberapa model pendokumentasian yang dijelaskan diatas, masing –masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Selain itu juga tergantung pada setting ruang keperawatan apa yang menggunakannya. Namun model pendokumentasian dengan berbasis komputerisasi akan terus berkembang sebagai upaya perbaikan – perbaikan terhadap sistem yang telah ada. Perawat pun dalam masa sekarang ini harus meningkatkan kemampuan dirinya di disiplin ilmu lain yang dalam hal ini adalah perkembangan informasi dan teknologi. Sehingga ilmu keperawatan pun akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Penerapan sistem pendokumentasian dengan komputerisasi di Indonesia bukanlah tidak mungkin untuk diterapkan ,Meskipun kendala dan hambatan yang dialami profesi keperawatan di Indonesia masih banyak yang harus dibenahi. Mulai dari pengakuan profesi yang diatur dalam rencana undang- undang keperawatan sampai sistem model praktek profesi keperawatan di Indonesia masih menjadi issue yang menarik. Namun perawat di Indonesia tetap harus mampu memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang profesional dan berkualitas. Salah satu bentuk pelayanan keperawatan yang profesional adalah ditunjukkan dengan bukti pendokumentasian yang baik. Pendokumentasian di Indonesia masih menggunakan sistem pendokumentasi manual atau dengan tulisan tangan. Walaupun tidak menutup kemungkinan komputerisasi pendokumentasian keperawatan akan diterapkan pada masa datang. Namun masih banyak beberapa hal yang harus dipersiapkan dalam menyongsong perubahan tersebut.
Pembenahan pertama yang harus dilakukan adalah analisis terhadap kebermanfaatan, biaya, kemudahan pemakaian, efektifitas dan efisiensi. Setelah semua dipertimbangkan dan ditetapkan satu aplikasi yang akan diterapkan, langkah berikutnya adalah sosialisasi dan pelatihan. Namun sebelum ke arah sosialisasi dan pelatihan kita harus menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini perawat untuk menguasai sistem informasi yang dipadukan dengan standar asuhan keperawatan dalam hal ini adalah NANDA dan kebijakan RS di institusi terkait. Menurut Wurshter et al (2012) salah satu kunci keberhasilan penerapan pendokumentasian dengan sistem komputerisasi adalah sumber daya manusia yang mampu dalam informasi teknologi. Namun selain kemampuan sumber daya manusia dalam pengoperasian software, masalah lain yang penting adalah resistensi staf dalam upaya perubahan. Sehingga selain persiapan kemampuan sumber daya manusia, hal lain yang tidak kalah penting adalah sosialisasi mengenai tujuan perubahan, visi dan misi kedepan mengenai arah perubahan pendokumentasian di setting gawat darurat yang mengakomodasi kepentingan perawat dan pasien (Healy et al, 2008). Setelah penyiapan sumber daya manusia, hal selanjutnya yang harus disiapkan adalah infrastrukturnya dengan menyiapkan pusat database sistem informasi  dan teknologi informasi terpadu. Dan rencana selanjutnya adalah melakukan simulasi penerapan aplikasi komputerisasi tersebut. Bila hasilnya sudah baik maka sudah saatnya untuk memberikan pelatihan kepada perawat emergensi mengenai cara pendokumentasian berbasis pada komputerisasi keperawatan.
Akhirnya dari penjelasan essay diatas dapat kita simpulkan bahwa profesionalitas keperawatan ditentukan oleh kualitas dokumentasi keperawatan dengan demikian perubahan dari pendokumentasian manual di setting gawat darurat ke arah komputerisasi pendokumentasian akan semakin meningkatkan asuhan keperawatan kepada masyarakat begitu pula seiring dengan kepuasan masyarakat. Dengan penggunaan sistem komputerisasi ini diharapkan data pendokumentasian pasien trauma dapat menjadi valid, terkini dan berkesinambungan Penerapan model pendokumentasian keperawatan berbasis komputerisasi di Indonesia masih memerlukan banyak persiapan dan beberapa pembenahan terutama dalam hal sumber daya manusia dan infrastrukturnya yang dapat dimulai dengan penyediaan, pelatihan dan sosialisasi










DAFTAR PUSTAKA

Aronsky, D., Jones, I., Lanaghan, K., & Slovis, C. (2008). Supporting patient care in the emergency department with a computerized whiteboard system. Journal Of The American Medical Informatics Association15(2), 184-194.

Berg, G. M., Spaeth, D., Lippoldt, D., Sook, C., & Burdsal, C. (2012). Trauma Patient Perceptions Of Nursing Care. Journal of Trauma Nursing, 19(2).

Blair, W., & Smith, B. (2012). Nursing Documentation : Frameworks and barriers. Nursing Documentation, 41(2).

Chua, R., Cordell, W., Ernsting, K., Bock, H., & Nyhuis, A. (1993). Accuracy of bar codes versus handwriting for recording trauma resuscitation events. Annals Of Emergency Medicine22(10), 1545-1550.

Curtis, K., Bollard, L., & Dickson, C. (2002). Coding errors and the trauma patient--is nursing case management the solution?. Australian Health Review: A Publication Of The Australian Hospital Association25(4), 73-80.

Healy, K., Hegarty, J., Keating, G., Landers, F., Leopold, S., & O'Gorman, F. (2008). The Change Experience : How We Updated Our Perioperative Nursing Documentation. The Journal of Perioperative Practice, 18(4).

Hentschke, P. (2009). 24 Hour Rehabilitation Nursing : The Proof is in The Documentation. Rehabilitation Nursing, 34(3).

Iyer, P. W., & Camp, N. H. (2005). Dokumentasi Keperawatan. 2005: EGC.

Krogh, G. V., & Naden, D. (2008). A Nursing Spesific Model Of EPR Documentation : Organizational and Professional Requirement. Journal of Nursing Scholarship, 40(1), 68.

Mahler, C., Ammenwerth, E., Wagner, A., Tautz, A., Happek, T., Hoppe, B., et al. (2006). Effects of a Computer Based Nursing Documentation System On The Quality Of Nursing Documentation. Journal Medical System.

Prldeaux, A. (2011). Issues In Nursing Documentation And Record Keeping Practice. British Journal Of Nursing, 20(22).

Probst, C., Paffrath, T., Krettek, C., & Pape, H. C. (2006). Comparative Update on Documentation of Trauma in Seven National Registries. European Journal of Trauma 32.

WainWright, G. A., Stehli, C. D., & Wittman, R. A. (2008). Emergency Nurse Documentation Improvement Tool. Journal of Trauma Nursing, 15(1).

Wahl, W., Talsma, A., Dawson, C., Dickinson, S., Pennington, K., Wilson, D., & ... Taheri, P. (2006). Use of computerized ICU documentation to capture ICU core measures. Surgery140(4), 684-689.

Wurster, L. A., Groner, J. I., & Hoffman, J. (2012). Electronic Documentation of Trauma Resuscitations at a Level 1 Pediatric Trauma Center. Journal Trauma Nursing, 19(2).

DPL Pemeriksaan trauma abdomen


REEVALUASI PENGGUNAAN DIAGNOSTIK PERITONEAL LAVAGE SEBAGAI SALAH SATU METODE PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA KASUS TRAUMA ABDOMEN
(2500 kata)


Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Cidera atau trauma tembus maupun trauma tumpul merupakan keadaan yang bersifat serius dan segera memerlukan pembedahan (Kemmeter et al, 1998). Mortalitas pada trauma abdomen biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul daripada trauma penetrasi. Trauma penetrasi abdomen menyebabkan kerusakan jaringan sedangkan luka tembak menyebabkan lebih banyak cidera dalam abdomen karena perjalanannya lebih panjang di dalam tubuh. Selain itu trauma tumpul abdomen biasa terjadi karena pukulan langsung dan dapat mengakibatkan cidera tekanan atau tindasan pada isi abdomen (Malhotra, 2002).
Kasus trauma tumpul abdomen adalah suatu tantangan tersendiri bagi perawat dan dokter di ruang instalasi gawat darurat karena adanya potensi cidera yang tersembunyi dan mungkin sulit untuk dideteksi. Evaluasi dan penatalaksanaan terhadap cidera ini lebih diutamakan daripada cidera abdomennya karena insidensi komplikasi pada kasus trauma abdomen merupakan suatu tindakan yang serius bilamana penanganannya terlambat untuk dilakukan (Ruesseler et al, 2009). Sehingga diperlukan segera penentuan injury pada organ intra abdomen. Penentuan diagnostik pada trauma tumpul dan penetrasi abdomen meliputi pemeriksaan fisik, diagnostik peritoneal lavage, computerized axial tomography, Abdominal ultrasonography dan diagnostic laparoscopy.
Salah satu test khusus yang telah lama dikenal adalah diagnostic peritoneal lavage. Seiring dengan kemajuan perkembangan alat pemeriksaan diagnostik radiologi untuk kasus trauma abdomen pada khususnya, maka penggunaan diagnostik peritoneal lavage kini sudah mulai ditinggalkan (Wang et al,2012). Penggunaan diagnostik peritoneal lavage saat ini sudah dapat digantikan dengan prosedur pemeriksaan diagnostik lain yang cepat, memiliki tingkat keakuratan yang sama dan terpenting lagi tidak bersifat invasif seperti penggunaan ultrasound dan computed tomograpy(Lenzini,2006). Memang bila dibandingkan dengan dua metode pemeriksaan diagnostik lainnya seperti pemeriksaan ultrasound dan computed tomography, pemeriksaan diagnostik peritoneal lavage adalah satu – satunya pemeriksaan diagnostik yang bersifat invasif. Tindakan yang bersifat invasif kini sudah dinilai tidak relevan lagi bila digunakan pada kasus- kasus emergensi seperti pada trauma abdomen Hal ini disebabkan resiko komplikasi prosedur, penggunaan waktu, harus dilakukan oleh dokter yang ahli dan berpengalaman
Pada essay ini saya ingin membahas mengenai relevansi penggunaan diagnostic peritoneal lavage sebagai salah satu pemeriksaan diagnostik pada kasus trauma abdomen untuk digunakan pada saat ini, bagaimana keuntungan dan kerugian dari penggunaan diagnostic peritoneal lavage dan bagaimana bila dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasound dan computed tomography baik dari segi waktu, biaya , keakuratan, kesensitifan dan keakuratannya.
Diagnostik peritoneal lavage adalah satu- satunya pemeriksaan diagnostik yang digunakan dalam penentuan insiden trauma abdomen terutama trauma tumpul pada era tahun 1900an dimana penggunaan ultrasonography dan computed tomography masih belum dikenal. Prosedur ini pertama kali diperkenalkan oleh Root et al pada tahun 1965 (Root , 1965 dalam Klein et al, 2003). Prosedur ini dahulu digunakan untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen dan perforasi abdomen akibat trauma.
Diagnostik peritoneal lavage merupakan salah satu test yang paling akurat dan memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu berkisar 98% dalam mendeteksi perdarahan intraperitoneal maupun ruptur organ yang terjadi akibat trauma tumpul abdomen (Majewski,2000). Diagnostik peritoneal lavage pada trauma penestrasi adalah difokuskan pada pasien dengan luka tusuk di anterior abdominal asimptomatik, memiliki status hemodinamik yang stabil, tidak ada tanda- tanda peritonitis dan hasil eksplorasi luka menunjukkan positif. Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intra abdomen pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologi seperti foto sinar X, hasilnya masih diragukan
DPL merupakan tindakan yang invasif dan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan tertutup maupun semiterbuka. Pada teknik tertutup,  kateter dimasukkan secara perkutan sedangkan pada pendekatan semi terbuka dengan melibatkan insisi kecil dan diseksi pada rectus fascia. Kateter kemudian dimasukkan melalui peritoneum ke dalam rongga peritoneum. Pada aspirasi pertama bila ditemukan darah maka tindakan laparotomi harus segera dilakukan. Namun bila tidak ada maka cairan ringer laktat yang dihangatkan dimasukkan kedalam sebanyak 1000 cc sambil dilakukan penekanan abdomen untuk menyakinkan pencampuran cairan dengan isi abdomen setelah itu dikeluarkan kembali. Hasil cairan tersebut akan diperiksa secara makroskopis untuk melihat apakah ada isi pencernaan, sel darah merah, sel darah putih dan cairan empedu. Tes dikatakan positif bila ditemukan kadar sel darah merah lebih dari 100.000 ml, kadar sel darah putih lebih dari 500 cc atau pada pewarnaan gram postif ditemukan bakter pencernaan.
Prosedur diagnostic peritoneal lavage dilakukan oleh tim bedah dengan beberapa kondisi yaitu : 1) Hemodinamik pasien tidak stabil,  2) pasien mengalami multiple trauma, 3) Pasien mengalami perubahan sensorium akibat cidera kepala, 3) Pasien mengalami cidera pada struktur yang berdekatan yaitu pada tulang iga bawah, tulang panggul, tulang belakang , 4) Hasil pemeriksaan fisik meragukan. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik yang stabil dimana fasilitas pemeriksaan ultrasonograpy dan computed tomograpy tidak tersedia pada tempat pelayanan (Jehle et al, 2003). Pasien dikatakan memiliki hemodinamik stabil bila tekanan sistole lebih dari 90 mmhg dengan pemberian 2 liter ringer laktat dan tranfusi 2 bag darah (Garber et al, 2000). Salah satu kontraindikasi mutlak pelaksanaan tindakan diagnostik peritoneal lavage adalah adanya indikasi laparotomy atau celiotomy. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat kateter dimasukkan akan dapat menimbulkan luka sekunder selain itu juga akan menghalangi pengeluaran cairan diagnostik peritoneal lavage yang telah dimasukkan. Sedang kontraindikasi relatif meliputi ada riwayat operasi abdomen sebelumnya, pasien dengan kehamilan tri semester pertama dan bila hasil dari pemeriksaan ini tidak mengubah terapi. Test ini juga tidak boleh dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien yang sudah jelas tanda- tanda peritonealnya dan harus segera melakukan operasi.
Cidera yang terjadi pada trauma abdomen tumpul maupun penetrasi akan menyebabkan cidera pada organ intra abdomen. Cidera organ intra abdomen meliputi pecahnya organ solid (hepar dan limpa) dan pecahnya organ berlumen (lambung, usus halus , kolon). Pecahnya organ solid akan mengakibatkan perdarahan yang bervariasi dari ringan sampai berat (Mckenney et al, 2001). Sedangkan cidera pada organ berlumen akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali (Yegiyants et al, 2006). Pasien yang menunjukkan hasil positif saat pemeriksaan harus segera dilakukan tindakan laparotomy
Salah satu komplikasi darurat pada kasus trauma tumpul abdomen yang lain adalah terbentuknya perforasi pada organ berlumen dan dalam kondisi ini pasien harus segera dilakukan laparotomy selama status hemodinamik stabil. Perforasi pada organ berlumen sampai saat ini hanya dapat dideteksi dengan tindakan diagnostic peritoneal lavage (Wang et al, 2012). Sehingga pendeteksian dini kasus perforasi pada organ berlumen setelah trauma tumpul abdomen dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dengan segera melakukan laparotomy.
Tindakan laparotomy pada pasien dengan komplikasi perforasi dan perdarahan dilakukan dengan melihat kondisi klinis pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik yang akurat. Namun pada perkembangan selanjutnya beberapa tindakan laparostomy yang dilakukan ternyata bersifat non therapeutik (Shih et al,1999). Menurut penelitian yang dilakukan Uranus & Dorr (2010) menemukan prosedur laparostomi yang dilakukan pada trauma abdomen data sebesar 53 % adalah non terapeutik meskipun tindakan tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan penunjang lain positif. Hal ini merugikan pasien karena selain mengakibatkan angka kesakitan dan efek samping yang tidak baik juga berhubungan biaya yang harus dikeluarkan. Sehingga perlu dilakukan upaya agar indikasi laparostomy pada pasien didasarkan pada keakuratan alat diagnostik.
Diagnostik peritoneal lavage digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadi perforasi organ sehingga dapat dilakukan tindakan laparotomy Salah satu upaya untuk mengurangi angka tindakan laparostomy non therapeutik dan meningkatkan kesensitifitasan dari diagnostik peritoneal lavase adalah dengan mengkombinasikannya dengan laparoscopy yang dikenal dengan L- DPL dengan tingkat sensitifitasnya sebesar 90 -100 % (Uranus & Dor, 2010 ; Krausz et al 2006). L-DPL sangat sensitif dan akurat dalam menemukan cidera intra abdomen, mengontrol perdarahan intra abdomen, dan memperbaiki laserasi pada dinding abdomen dan diafragma pada kasus trauma penetrasi abdomen.
 Pada penelitian yang dilakukan Wong et al (2011) dengan melibatkan pasien dewasa yang mengalami trauma tumpul abdomen dan memiliki status hemodinamik yang stabil setelah resusitasi awal dan sudah dilakukan pemeriksaan computerized axial tomographyscan. diagnostik peritoneal lavage dilakukan pada pasien yang diindikasikan untuk menjalani terapi non operatif dan ada kecurigaan terjadi rongga perforasi pada abdomen. penelitian ini dilakukan selama periode 5 tahun, kesimpulan yang didapatkan pada penelitian adalah kesensitifitasan 100 % dan kespesifisitasan 75 %.  dari rasio hitung sel untuk diagnosa terjadinya perforasi abdomen adalah dapat disimpulkan bahwa pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen dan berencana untuk terapi non operatif maka sebaiknya tetap dilakukan diagnostik peritoneal lavage untuk menyingkirkan kemungkinan terjadi perforasi abdomen dimana perforasi ini tidak dapat dideteksi dengan computerized axial tomography scan. Tingkat keakuratan penggunaan diagnostik peritoneal lavage mencapai 95 sampai 98%.
Setiap trauma abdomen baik trauma tumpul, tajam maupun tempak dapat menimbulkan perdarahan.Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit bila dibandingkan dengan trauma tajam lebih – lebih pada awal permulaan (Arrilaga et al, 1999). Sebagai contoh adalah trauma tumpul pada limpa yang menimbulkan perdarahan namun tidak menunjukkan gejala pada taraf awal karena darah berkumpul pada sakues lienalis Pada perdarahan pankreas dan duodenum ,penentuan cidera lebih sulit dilakukan karena organ ini terlindung dengan baik dan jauh berada di belakang abdomen (Whitehouse & Weigelt, 2009). Sehingga diagnostik peritoneal lavage tidak sensitif dalam mendeteksi perdarahan retroperitoneal dan sering menunjukkan hasil negatif. Perforasi retroperitoneal pada awal terjadi cidera tidak terlihat jelas perubahan klinisnya dan akan tampak bila memberat dan berkembang menjadi peritonitis yang mengancam jiwa. Pada perforasi retroperitoneal  yang masif, keluhan yang muncul hanyalah kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan suhu yang proggresif, takikardia dan terkadang terdapat keluhan mual. Diagnostik peritoneal lavage tidak dapat dipercaya dalam mendeteksi trauma duodenum dan trauma retroperitoneal (Jehle et al, 2003). Namun bila hanya DPL yang dijadikan alat diagnostik satu – satunya maka deteksi trauma duodenum dapat ditentukan dengan penemuan amilase dan empedu.
Lalu bagaimana dengan test diagnostik yang lain dan bagaimana kelebihan dan kekurangannya. Kita mulai dari pembahasan mengenai ultrasonography. Ultrasonography digunakan untuk mengetahui adanya hemoperitoneum. Ultrasound memiliki sensitivitas, spesifitas dan akurasi yang dapat dibandingkan dengan diagnostic peritoneal lavage dan computed tomography (Garber et al, 2000). Pemeriksaan ultrasound dinilai lebih efektif karena cepat dan tidak invasif. Selain itu dari segi biaya pemeriksaan ini tergolong murah. Ultrasound juga dapat digunakan untuk mendiagnosa trauma tumpul atau trauma tembus pada abdomen. Scanning ultrasound dapat dilakukan di samping tempat tidur dan dapat diulang berkali – kali. Pemeriksaan ultrasound dapat terhambat akibat kegemukan, adanya udara dibawah kulit dan pernah melakukan operasi sebelumnya. penggunaan pemeriksaan radiologi menunjukkan biaya yang signifikan. pemeriksaan radiologi pada kondisi trauma sangat diperlukan karena kondisi pasien dengan trauma sering tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik. kondisi tersebut termasuk keluhan nyeri dan gangguan kesadaran. USG telah lama digunakan di negara eropa dan asia. Mckenney et al (2001) mengatakan di dalam penelitiannya terhadap pasien trauma abdomen dengan usia 17 – 44 tahun bahwa hampir 80 % pasien dengan trauma tumpul abdomen tidak sampai mengalami hemoperitoneum. sehingga pemeriksaan radiologi cukup dengan menggunakan usg saja. keuntungan dari kegunaan usg adalah cepat dan bersifat non invasif. Menurut Arrilaga (1999) usg dipandang lebih efektif bila dibandingkan dengan diagnostik peritoneal lavage atau computerized axial tomographyscan. usg juga dinilai cukup sensitif pada kasus – kasus trauma tumpul  abdomen. penelitian yang dilakukan oleh arrilaga et al pada tahun 1999 selama kurun waktu 9 bulan pada 331 pasien suspek trauma tumpul menunjukkan usg sangat efektif dilakukan sebagai evaluasi diagnostik karena dapat dilakukan baik pada pasien dengan hemodinamik stabil ataupun tidak stabil.
Computed tomography merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport pasien ke scanner. Pada prosedur pelaksanaannya pasien diberikan kontras oral dan kontras intravena. Scanning dilakukan dari abdomen atas dan bawah dan juga pada panggul. Tindakan ini memerlukan waktu dan hanya dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil dimana tidak tampak untuk dilakukan tindakan laparostomi segera. Computed tomography memberi informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu beserta tingkat beratnya. Selain itu computed tomography juga dapat mendiagnosa cidera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar untuk diakses melalui pemeriksaan fisik atau tidak dapat dideteksi dengan diagnostik peritoneal lavage (Uranus&Dor,2010).. Kontraindikasi computed tomography adalah bila pasien alergi terhadap bahan kontras. Sensistifitas computerized axial tomographyscan dalam mendeteksi perforasi abdomen akibat trauma tumpul sebesar 64 – 95% dan spesifisitasnya sekitar 97 – 99,6 %. Kekurangan dari computed tomgraphy adalah tidak sensitif dalam mendeteksi cidera usus dan diafragma. Sehingga bila ditemukan cairan bebas di dalam rongga perut namun jelas bukan dari cidera pada hepar maupun lien maka dapat dicurigai sebagai cidera usus dan harus dilakukan laparotomy.
Penggunaan ultrasounograpy dan computerized axial tomography scan sudah kurang lebih 10 tahun ini digunakan sebagai alat diagnostik di negara asia dan eropa Meskipun penggunaannya diagnostik peritoneal lavage saat ini telah mulai ditinggalkan setelah ditemukan alat deteksi lain yang memiliki sensitifitas sama dan lebih mudah , cepat dan tidak bersifat invasif. Sampai saat ini tindakan diagnostik peritoneal lavage masih menjadi alat yang sensitif dalam mendeteksi perforasi organ berlumen setelah trauma tumpul abdomen, Perforasi yang terjadi setelah trauma tumpul abdomen bila segera diterapi akan menurunkan angka mortalitas dan komplikasi yang lebih berbahaya. Apalagi menurut penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (2002) komplikasi tindakan invasif pada prosedur diagnostik peritoneal lavage hanya kurang dari 1 %
Dengan demikian dapat kita simpulkan pada essay ini bahwa penggunaan diagnostic peritoneal lavage masih relevan untuk digunakan pada kasus – kasus trauma abdomen. Terutama untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen disertai syok di fasilitaas pelayanan yang belum memiliki fasilitas ultrasonography (FAST), selain itu diagnostik peritoneal lavage juga sangat baik digunakan untuk menemukan perforasi organ berlumen dan hemoperitoneum. Ketiga alat diagnostik ini masing – masing memiliki peran yang unik dan memiliki keuntungan dan kerugian masing – masing seperti pada kasus cidera retroperitoneal dan ruptur diafragma, diagnostik peritoneal lavage dan ultrasonography dinilai kurang sensitif bila dibandingkan dengan computerized axial tomographyscan. Pada kasus lain computerized axial tomographyscan dinilai tidak efektif dalam mendeteksi cedera pada bowel maupun pada area mesentrika yang mana hanya dapat dideteksi dengan penggunaan diagnostik peritoneal lavage. Sehingga bila diurut maka yang paling sensitif adalah diagnostik peritoneal lavage (Sensitivitas : 100%, Spesifisitas : 100%, Akurasi : 100%) kemudian diikuti dengan computerized tomography scan (Sensitivitas : 100%, Spesifisitas : 99%, Akurasi : 99%) dan terakhir adalah ultrasonography (Sensitivitas : 92%, Spesifisitas : 100%, Akurasi : 99%)


Manajemen Pada Kasus Trauma Tumpul Abdomen



Positif
Laparotomy
Cari perdarahan lain
FAST/DPL
Hemodinamically Unstable

Blunt Trauma Evaluation
Negatif
FAST
Hemodinamically Stable
Injury
Normal
Observasi
Contrast Enhanced CT
Consider Discharge
Negatif
Positif
Operative
Major non operative

Minor non operative
Hospital Observation
ICU Observation
Laparotomy
 























Gambar : Algoritme Evaluasi Trauma Tumpul Abdominal
Sumber : Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009)






Manajemen Pada Kasus Trauma Tumpul Abdomen

Luka Penestrasi / Flank
Wound Exploration
Laparotomy
Facial Penetration
Hemodynamically Normal Asymptomatic
Hemodynamically Abnormal, peritonitis or evisceration
DPL
Observe / Discharge
No Fascial Penetration
Negatif
Positive
Laparotomy
Observe
 


































Gambar : Algoritme Evaluasi Trauma  Penetrasi Abdominal
Sumber : Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009)




REFERENSI

Arrilaga, A., Graham, R., York, J. W., & Miller, R. S. (1999). Incereased Efficiency and Cost - Effectiveness In The Evaluation of The Blunt Abdominal Trauma Patient With The Use of Ultrasound. The American Surgeon, 65(1), 31- 35.

Garber, B. G., Brigelow, E., Yelle, J. D., & Pagliarello, G. (2000). Use Of Abdominal Computed Tomography In Blunt Trauma : Do We Scan Too Much. JCC, 43.

Jehle, D. V. K., Stiller, G., & Wagner, D. (2003). Sensitivity in Detecting Free Intraperitoneal Fluid With The Pelvic Views of The FAST Exam. American Journal Of Emergency Medicine, 21(6), 476-478.

Kemmeter, P. R., Senagore, A. J., Smith, D., & Oostendorp, L. (1998). Dillemmas In The Diagnosis Of Blunt Enteric Trauma. The American Surgeon, 64(8), 750-754.

Klein, Y., Haider, H., Mckenney, M. G., Lynn, M., & Chon, S. M. (2003). Diagnostic Peritoneal Lavage Through an Abdominal Stab Wound. American Journal Of Emergency Medicine, 21(7), 559-560.

Krausz, M. M., Abbou, B., Hersko, D. D., Mahajna, A., Duek, D. S., Bishara, B., et al. (2006). Laparoscopic Diagnostic Peritoneal Lavage (L-DPL) : A Method for Evaluation Of Evaluating of Penetrating Abdominal Stab Wounds World Journal of Emergency Surgery, 1(3), 1-6.

Lenzini, M. M. (2006). Nonoperative Management of Penetrating Abdominal Trauma. Surgical Journal, 19(7).

Majewski, W. (2000). Diagnostoc Laparoscopy For The Acute Abdomen and Trauma. Surgical Journal(14), 930-937

Malhotra, A. K., Ivatury, R. R., & Latifi, R. (2002). Blunt Abdominal Trauma : Evaluation And Indications For Laparotomy. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 91, 52-57.

Mckenney, M. G., Mckenney, K. L., Hong, J. J., Compton, R., Chon, S. M., Kirton, O. C., et al. (2001). Evaluating Blunt Abdominal With Sonography : A Cost Analysis. The American Surgeon, 67(10), 930-934.

Shih, H. C., Wen, Y. S., Ko, T. J., Wu, J. K., Su, C. H., & Lee, C. H. (1999). Noninvasive Evaluation of Blunt Abdominal Trauma : Prospective Study Using Diagnostic Algorithms to Minimize Nontherapeutic Laparotomy. World Journal of Emergency Surgery, 23(3), 265-270.

Ruesseler, M., Kirschning, T., Breitkreutz, R., Marzi, I., & Walcher, F. (2009). Prehospital and Emergency Department Ultrasound In Blunt Abdominal Trauma. European Journal of Trauma, 4(35), 341.

Uranus, S., & Dor, K. (2010). Laparoscopy in Abdominal Trauma. European Journal of Trauma and Emergency Surgery, 36, 19-24

Yegiyants, S., Lahoud, G. A., & Taylor, E. (2006). The Management of Blunt Abdominal Trauma Patients with Computed Tomography Scan Findings of Free Peritoneal Fluid and No Evidence Of Solid Organ Injury. The American Surgeon, 72.

Wang, Y. C., Hsieh, C. H., Fu, C. Y., Yeh, C. C., Wu, S. C., & Chen, R. J. (2012). Hollow Organ Perforation In Blunt Abdominal Trauma : The Role of Diafnostic Peritoneal Lavage. Academic Emergency Medicine, 30, 570-573.

Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009). Diagnostic Peritoneal Lavage : a Review of Indications, Technique and Interpretation. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 17(13), 1-5.


 TOPIK KULIAH : KEPERAWATAN HIV AIDS SHT oleh Merina Widyastuti  Untuk Mahasiswa STIKES Hang Tuah Surabaya VOLUNTARY COUNSELLING TEST HIV   ...