Langsung ke konten utama

DPL Pemeriksaan trauma abdomen


REEVALUASI PENGGUNAAN DIAGNOSTIK PERITONEAL LAVAGE SEBAGAI SALAH SATU METODE PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA KASUS TRAUMA ABDOMEN
(2500 kata)


Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Cidera atau trauma tembus maupun trauma tumpul merupakan keadaan yang bersifat serius dan segera memerlukan pembedahan (Kemmeter et al, 1998). Mortalitas pada trauma abdomen biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul daripada trauma penetrasi. Trauma penetrasi abdomen menyebabkan kerusakan jaringan sedangkan luka tembak menyebabkan lebih banyak cidera dalam abdomen karena perjalanannya lebih panjang di dalam tubuh. Selain itu trauma tumpul abdomen biasa terjadi karena pukulan langsung dan dapat mengakibatkan cidera tekanan atau tindasan pada isi abdomen (Malhotra, 2002).
Kasus trauma tumpul abdomen adalah suatu tantangan tersendiri bagi perawat dan dokter di ruang instalasi gawat darurat karena adanya potensi cidera yang tersembunyi dan mungkin sulit untuk dideteksi. Evaluasi dan penatalaksanaan terhadap cidera ini lebih diutamakan daripada cidera abdomennya karena insidensi komplikasi pada kasus trauma abdomen merupakan suatu tindakan yang serius bilamana penanganannya terlambat untuk dilakukan (Ruesseler et al, 2009). Sehingga diperlukan segera penentuan injury pada organ intra abdomen. Penentuan diagnostik pada trauma tumpul dan penetrasi abdomen meliputi pemeriksaan fisik, diagnostik peritoneal lavage, computerized axial tomography, Abdominal ultrasonography dan diagnostic laparoscopy.
Salah satu test khusus yang telah lama dikenal adalah diagnostic peritoneal lavage. Seiring dengan kemajuan perkembangan alat pemeriksaan diagnostik radiologi untuk kasus trauma abdomen pada khususnya, maka penggunaan diagnostik peritoneal lavage kini sudah mulai ditinggalkan (Wang et al,2012). Penggunaan diagnostik peritoneal lavage saat ini sudah dapat digantikan dengan prosedur pemeriksaan diagnostik lain yang cepat, memiliki tingkat keakuratan yang sama dan terpenting lagi tidak bersifat invasif seperti penggunaan ultrasound dan computed tomograpy(Lenzini,2006). Memang bila dibandingkan dengan dua metode pemeriksaan diagnostik lainnya seperti pemeriksaan ultrasound dan computed tomography, pemeriksaan diagnostik peritoneal lavage adalah satu – satunya pemeriksaan diagnostik yang bersifat invasif. Tindakan yang bersifat invasif kini sudah dinilai tidak relevan lagi bila digunakan pada kasus- kasus emergensi seperti pada trauma abdomen Hal ini disebabkan resiko komplikasi prosedur, penggunaan waktu, harus dilakukan oleh dokter yang ahli dan berpengalaman
Pada essay ini saya ingin membahas mengenai relevansi penggunaan diagnostic peritoneal lavage sebagai salah satu pemeriksaan diagnostik pada kasus trauma abdomen untuk digunakan pada saat ini, bagaimana keuntungan dan kerugian dari penggunaan diagnostic peritoneal lavage dan bagaimana bila dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasound dan computed tomography baik dari segi waktu, biaya , keakuratan, kesensitifan dan keakuratannya.
Diagnostik peritoneal lavage adalah satu- satunya pemeriksaan diagnostik yang digunakan dalam penentuan insiden trauma abdomen terutama trauma tumpul pada era tahun 1900an dimana penggunaan ultrasonography dan computed tomography masih belum dikenal. Prosedur ini pertama kali diperkenalkan oleh Root et al pada tahun 1965 (Root , 1965 dalam Klein et al, 2003). Prosedur ini dahulu digunakan untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen dan perforasi abdomen akibat trauma.
Diagnostik peritoneal lavage merupakan salah satu test yang paling akurat dan memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu berkisar 98% dalam mendeteksi perdarahan intraperitoneal maupun ruptur organ yang terjadi akibat trauma tumpul abdomen (Majewski,2000). Diagnostik peritoneal lavage pada trauma penestrasi adalah difokuskan pada pasien dengan luka tusuk di anterior abdominal asimptomatik, memiliki status hemodinamik yang stabil, tidak ada tanda- tanda peritonitis dan hasil eksplorasi luka menunjukkan positif. Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intra abdomen pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologi seperti foto sinar X, hasilnya masih diragukan
DPL merupakan tindakan yang invasif dan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan tertutup maupun semiterbuka. Pada teknik tertutup,  kateter dimasukkan secara perkutan sedangkan pada pendekatan semi terbuka dengan melibatkan insisi kecil dan diseksi pada rectus fascia. Kateter kemudian dimasukkan melalui peritoneum ke dalam rongga peritoneum. Pada aspirasi pertama bila ditemukan darah maka tindakan laparotomi harus segera dilakukan. Namun bila tidak ada maka cairan ringer laktat yang dihangatkan dimasukkan kedalam sebanyak 1000 cc sambil dilakukan penekanan abdomen untuk menyakinkan pencampuran cairan dengan isi abdomen setelah itu dikeluarkan kembali. Hasil cairan tersebut akan diperiksa secara makroskopis untuk melihat apakah ada isi pencernaan, sel darah merah, sel darah putih dan cairan empedu. Tes dikatakan positif bila ditemukan kadar sel darah merah lebih dari 100.000 ml, kadar sel darah putih lebih dari 500 cc atau pada pewarnaan gram postif ditemukan bakter pencernaan.
Prosedur diagnostic peritoneal lavage dilakukan oleh tim bedah dengan beberapa kondisi yaitu : 1) Hemodinamik pasien tidak stabil,  2) pasien mengalami multiple trauma, 3) Pasien mengalami perubahan sensorium akibat cidera kepala, 3) Pasien mengalami cidera pada struktur yang berdekatan yaitu pada tulang iga bawah, tulang panggul, tulang belakang , 4) Hasil pemeriksaan fisik meragukan. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada pasien dengan status hemodinamik yang stabil dimana fasilitas pemeriksaan ultrasonograpy dan computed tomograpy tidak tersedia pada tempat pelayanan (Jehle et al, 2003). Pasien dikatakan memiliki hemodinamik stabil bila tekanan sistole lebih dari 90 mmhg dengan pemberian 2 liter ringer laktat dan tranfusi 2 bag darah (Garber et al, 2000). Salah satu kontraindikasi mutlak pelaksanaan tindakan diagnostik peritoneal lavage adalah adanya indikasi laparotomy atau celiotomy. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat kateter dimasukkan akan dapat menimbulkan luka sekunder selain itu juga akan menghalangi pengeluaran cairan diagnostik peritoneal lavage yang telah dimasukkan. Sedang kontraindikasi relatif meliputi ada riwayat operasi abdomen sebelumnya, pasien dengan kehamilan tri semester pertama dan bila hasil dari pemeriksaan ini tidak mengubah terapi. Test ini juga tidak boleh dilakukan pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien yang sudah jelas tanda- tanda peritonealnya dan harus segera melakukan operasi.
Cidera yang terjadi pada trauma abdomen tumpul maupun penetrasi akan menyebabkan cidera pada organ intra abdomen. Cidera organ intra abdomen meliputi pecahnya organ solid (hepar dan limpa) dan pecahnya organ berlumen (lambung, usus halus , kolon). Pecahnya organ solid akan mengakibatkan perdarahan yang bervariasi dari ringan sampai berat (Mckenney et al, 2001). Sedangkan cidera pada organ berlumen akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali (Yegiyants et al, 2006). Pasien yang menunjukkan hasil positif saat pemeriksaan harus segera dilakukan tindakan laparotomy
Salah satu komplikasi darurat pada kasus trauma tumpul abdomen yang lain adalah terbentuknya perforasi pada organ berlumen dan dalam kondisi ini pasien harus segera dilakukan laparotomy selama status hemodinamik stabil. Perforasi pada organ berlumen sampai saat ini hanya dapat dideteksi dengan tindakan diagnostic peritoneal lavage (Wang et al, 2012). Sehingga pendeteksian dini kasus perforasi pada organ berlumen setelah trauma tumpul abdomen dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dengan segera melakukan laparotomy.
Tindakan laparotomy pada pasien dengan komplikasi perforasi dan perdarahan dilakukan dengan melihat kondisi klinis pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik yang akurat. Namun pada perkembangan selanjutnya beberapa tindakan laparostomy yang dilakukan ternyata bersifat non therapeutik (Shih et al,1999). Menurut penelitian yang dilakukan Uranus & Dorr (2010) menemukan prosedur laparostomi yang dilakukan pada trauma abdomen data sebesar 53 % adalah non terapeutik meskipun tindakan tersebut didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dan penunjang lain positif. Hal ini merugikan pasien karena selain mengakibatkan angka kesakitan dan efek samping yang tidak baik juga berhubungan biaya yang harus dikeluarkan. Sehingga perlu dilakukan upaya agar indikasi laparostomy pada pasien didasarkan pada keakuratan alat diagnostik.
Diagnostik peritoneal lavage digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadi perforasi organ sehingga dapat dilakukan tindakan laparotomy Salah satu upaya untuk mengurangi angka tindakan laparostomy non therapeutik dan meningkatkan kesensitifitasan dari diagnostik peritoneal lavase adalah dengan mengkombinasikannya dengan laparoscopy yang dikenal dengan L- DPL dengan tingkat sensitifitasnya sebesar 90 -100 % (Uranus & Dor, 2010 ; Krausz et al 2006). L-DPL sangat sensitif dan akurat dalam menemukan cidera intra abdomen, mengontrol perdarahan intra abdomen, dan memperbaiki laserasi pada dinding abdomen dan diafragma pada kasus trauma penetrasi abdomen.
 Pada penelitian yang dilakukan Wong et al (2011) dengan melibatkan pasien dewasa yang mengalami trauma tumpul abdomen dan memiliki status hemodinamik yang stabil setelah resusitasi awal dan sudah dilakukan pemeriksaan computerized axial tomographyscan. diagnostik peritoneal lavage dilakukan pada pasien yang diindikasikan untuk menjalani terapi non operatif dan ada kecurigaan terjadi rongga perforasi pada abdomen. penelitian ini dilakukan selama periode 5 tahun, kesimpulan yang didapatkan pada penelitian adalah kesensitifitasan 100 % dan kespesifisitasan 75 %.  dari rasio hitung sel untuk diagnosa terjadinya perforasi abdomen adalah dapat disimpulkan bahwa pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen dan berencana untuk terapi non operatif maka sebaiknya tetap dilakukan diagnostik peritoneal lavage untuk menyingkirkan kemungkinan terjadi perforasi abdomen dimana perforasi ini tidak dapat dideteksi dengan computerized axial tomography scan. Tingkat keakuratan penggunaan diagnostik peritoneal lavage mencapai 95 sampai 98%.
Setiap trauma abdomen baik trauma tumpul, tajam maupun tempak dapat menimbulkan perdarahan.Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit bila dibandingkan dengan trauma tajam lebih – lebih pada awal permulaan (Arrilaga et al, 1999). Sebagai contoh adalah trauma tumpul pada limpa yang menimbulkan perdarahan namun tidak menunjukkan gejala pada taraf awal karena darah berkumpul pada sakues lienalis Pada perdarahan pankreas dan duodenum ,penentuan cidera lebih sulit dilakukan karena organ ini terlindung dengan baik dan jauh berada di belakang abdomen (Whitehouse & Weigelt, 2009). Sehingga diagnostik peritoneal lavage tidak sensitif dalam mendeteksi perdarahan retroperitoneal dan sering menunjukkan hasil negatif. Perforasi retroperitoneal pada awal terjadi cidera tidak terlihat jelas perubahan klinisnya dan akan tampak bila memberat dan berkembang menjadi peritonitis yang mengancam jiwa. Pada perforasi retroperitoneal  yang masif, keluhan yang muncul hanyalah kekakuan pada abdomen bagian atas dengan peningkatan suhu yang proggresif, takikardia dan terkadang terdapat keluhan mual. Diagnostik peritoneal lavage tidak dapat dipercaya dalam mendeteksi trauma duodenum dan trauma retroperitoneal (Jehle et al, 2003). Namun bila hanya DPL yang dijadikan alat diagnostik satu – satunya maka deteksi trauma duodenum dapat ditentukan dengan penemuan amilase dan empedu.
Lalu bagaimana dengan test diagnostik yang lain dan bagaimana kelebihan dan kekurangannya. Kita mulai dari pembahasan mengenai ultrasonography. Ultrasonography digunakan untuk mengetahui adanya hemoperitoneum. Ultrasound memiliki sensitivitas, spesifitas dan akurasi yang dapat dibandingkan dengan diagnostic peritoneal lavage dan computed tomography (Garber et al, 2000). Pemeriksaan ultrasound dinilai lebih efektif karena cepat dan tidak invasif. Selain itu dari segi biaya pemeriksaan ini tergolong murah. Ultrasound juga dapat digunakan untuk mendiagnosa trauma tumpul atau trauma tembus pada abdomen. Scanning ultrasound dapat dilakukan di samping tempat tidur dan dapat diulang berkali – kali. Pemeriksaan ultrasound dapat terhambat akibat kegemukan, adanya udara dibawah kulit dan pernah melakukan operasi sebelumnya. penggunaan pemeriksaan radiologi menunjukkan biaya yang signifikan. pemeriksaan radiologi pada kondisi trauma sangat diperlukan karena kondisi pasien dengan trauma sering tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan fisik. kondisi tersebut termasuk keluhan nyeri dan gangguan kesadaran. USG telah lama digunakan di negara eropa dan asia. Mckenney et al (2001) mengatakan di dalam penelitiannya terhadap pasien trauma abdomen dengan usia 17 – 44 tahun bahwa hampir 80 % pasien dengan trauma tumpul abdomen tidak sampai mengalami hemoperitoneum. sehingga pemeriksaan radiologi cukup dengan menggunakan usg saja. keuntungan dari kegunaan usg adalah cepat dan bersifat non invasif. Menurut Arrilaga (1999) usg dipandang lebih efektif bila dibandingkan dengan diagnostik peritoneal lavage atau computerized axial tomographyscan. usg juga dinilai cukup sensitif pada kasus – kasus trauma tumpul  abdomen. penelitian yang dilakukan oleh arrilaga et al pada tahun 1999 selama kurun waktu 9 bulan pada 331 pasien suspek trauma tumpul menunjukkan usg sangat efektif dilakukan sebagai evaluasi diagnostik karena dapat dilakukan baik pada pasien dengan hemodinamik stabil ataupun tidak stabil.
Computed tomography merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport pasien ke scanner. Pada prosedur pelaksanaannya pasien diberikan kontras oral dan kontras intravena. Scanning dilakukan dari abdomen atas dan bawah dan juga pada panggul. Tindakan ini memerlukan waktu dan hanya dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil dimana tidak tampak untuk dilakukan tindakan laparostomi segera. Computed tomography memberi informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu beserta tingkat beratnya. Selain itu computed tomography juga dapat mendiagnosa cidera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar untuk diakses melalui pemeriksaan fisik atau tidak dapat dideteksi dengan diagnostik peritoneal lavage (Uranus&Dor,2010).. Kontraindikasi computed tomography adalah bila pasien alergi terhadap bahan kontras. Sensistifitas computerized axial tomographyscan dalam mendeteksi perforasi abdomen akibat trauma tumpul sebesar 64 – 95% dan spesifisitasnya sekitar 97 – 99,6 %. Kekurangan dari computed tomgraphy adalah tidak sensitif dalam mendeteksi cidera usus dan diafragma. Sehingga bila ditemukan cairan bebas di dalam rongga perut namun jelas bukan dari cidera pada hepar maupun lien maka dapat dicurigai sebagai cidera usus dan harus dilakukan laparotomy.
Penggunaan ultrasounograpy dan computerized axial tomography scan sudah kurang lebih 10 tahun ini digunakan sebagai alat diagnostik di negara asia dan eropa Meskipun penggunaannya diagnostik peritoneal lavage saat ini telah mulai ditinggalkan setelah ditemukan alat deteksi lain yang memiliki sensitifitas sama dan lebih mudah , cepat dan tidak bersifat invasif. Sampai saat ini tindakan diagnostik peritoneal lavage masih menjadi alat yang sensitif dalam mendeteksi perforasi organ berlumen setelah trauma tumpul abdomen, Perforasi yang terjadi setelah trauma tumpul abdomen bila segera diterapi akan menurunkan angka mortalitas dan komplikasi yang lebih berbahaya. Apalagi menurut penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (2002) komplikasi tindakan invasif pada prosedur diagnostik peritoneal lavage hanya kurang dari 1 %
Dengan demikian dapat kita simpulkan pada essay ini bahwa penggunaan diagnostic peritoneal lavage masih relevan untuk digunakan pada kasus – kasus trauma abdomen. Terutama untuk mendeteksi perdarahan intra abdomen disertai syok di fasilitaas pelayanan yang belum memiliki fasilitas ultrasonography (FAST), selain itu diagnostik peritoneal lavage juga sangat baik digunakan untuk menemukan perforasi organ berlumen dan hemoperitoneum. Ketiga alat diagnostik ini masing – masing memiliki peran yang unik dan memiliki keuntungan dan kerugian masing – masing seperti pada kasus cidera retroperitoneal dan ruptur diafragma, diagnostik peritoneal lavage dan ultrasonography dinilai kurang sensitif bila dibandingkan dengan computerized axial tomographyscan. Pada kasus lain computerized axial tomographyscan dinilai tidak efektif dalam mendeteksi cedera pada bowel maupun pada area mesentrika yang mana hanya dapat dideteksi dengan penggunaan diagnostik peritoneal lavage. Sehingga bila diurut maka yang paling sensitif adalah diagnostik peritoneal lavage (Sensitivitas : 100%, Spesifisitas : 100%, Akurasi : 100%) kemudian diikuti dengan computerized tomography scan (Sensitivitas : 100%, Spesifisitas : 99%, Akurasi : 99%) dan terakhir adalah ultrasonography (Sensitivitas : 92%, Spesifisitas : 100%, Akurasi : 99%)


Manajemen Pada Kasus Trauma Tumpul Abdomen



Positif
Laparotomy
Cari perdarahan lain
FAST/DPL
Hemodinamically Unstable

Blunt Trauma Evaluation
Negatif
FAST
Hemodinamically Stable
Injury
Normal
Observasi
Contrast Enhanced CT
Consider Discharge
Negatif
Positif
Operative
Major non operative

Minor non operative
Hospital Observation
ICU Observation
Laparotomy
 























Gambar : Algoritme Evaluasi Trauma Tumpul Abdominal
Sumber : Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009)






Manajemen Pada Kasus Trauma Tumpul Abdomen

Luka Penestrasi / Flank
Wound Exploration
Laparotomy
Facial Penetration
Hemodynamically Normal Asymptomatic
Hemodynamically Abnormal, peritonitis or evisceration
DPL
Observe / Discharge
No Fascial Penetration
Negatif
Positive
Laparotomy
Observe
 


































Gambar : Algoritme Evaluasi Trauma  Penetrasi Abdominal
Sumber : Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009)




REFERENSI

Arrilaga, A., Graham, R., York, J. W., & Miller, R. S. (1999). Incereased Efficiency and Cost - Effectiveness In The Evaluation of The Blunt Abdominal Trauma Patient With The Use of Ultrasound. The American Surgeon, 65(1), 31- 35.

Garber, B. G., Brigelow, E., Yelle, J. D., & Pagliarello, G. (2000). Use Of Abdominal Computed Tomography In Blunt Trauma : Do We Scan Too Much. JCC, 43.

Jehle, D. V. K., Stiller, G., & Wagner, D. (2003). Sensitivity in Detecting Free Intraperitoneal Fluid With The Pelvic Views of The FAST Exam. American Journal Of Emergency Medicine, 21(6), 476-478.

Kemmeter, P. R., Senagore, A. J., Smith, D., & Oostendorp, L. (1998). Dillemmas In The Diagnosis Of Blunt Enteric Trauma. The American Surgeon, 64(8), 750-754.

Klein, Y., Haider, H., Mckenney, M. G., Lynn, M., & Chon, S. M. (2003). Diagnostic Peritoneal Lavage Through an Abdominal Stab Wound. American Journal Of Emergency Medicine, 21(7), 559-560.

Krausz, M. M., Abbou, B., Hersko, D. D., Mahajna, A., Duek, D. S., Bishara, B., et al. (2006). Laparoscopic Diagnostic Peritoneal Lavage (L-DPL) : A Method for Evaluation Of Evaluating of Penetrating Abdominal Stab Wounds World Journal of Emergency Surgery, 1(3), 1-6.

Lenzini, M. M. (2006). Nonoperative Management of Penetrating Abdominal Trauma. Surgical Journal, 19(7).

Majewski, W. (2000). Diagnostoc Laparoscopy For The Acute Abdomen and Trauma. Surgical Journal(14), 930-937

Malhotra, A. K., Ivatury, R. R., & Latifi, R. (2002). Blunt Abdominal Trauma : Evaluation And Indications For Laparotomy. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 91, 52-57.

Mckenney, M. G., Mckenney, K. L., Hong, J. J., Compton, R., Chon, S. M., Kirton, O. C., et al. (2001). Evaluating Blunt Abdominal With Sonography : A Cost Analysis. The American Surgeon, 67(10), 930-934.

Shih, H. C., Wen, Y. S., Ko, T. J., Wu, J. K., Su, C. H., & Lee, C. H. (1999). Noninvasive Evaluation of Blunt Abdominal Trauma : Prospective Study Using Diagnostic Algorithms to Minimize Nontherapeutic Laparotomy. World Journal of Emergency Surgery, 23(3), 265-270.

Ruesseler, M., Kirschning, T., Breitkreutz, R., Marzi, I., & Walcher, F. (2009). Prehospital and Emergency Department Ultrasound In Blunt Abdominal Trauma. European Journal of Trauma, 4(35), 341.

Uranus, S., & Dor, K. (2010). Laparoscopy in Abdominal Trauma. European Journal of Trauma and Emergency Surgery, 36, 19-24

Yegiyants, S., Lahoud, G. A., & Taylor, E. (2006). The Management of Blunt Abdominal Trauma Patients with Computed Tomography Scan Findings of Free Peritoneal Fluid and No Evidence Of Solid Organ Injury. The American Surgeon, 72.

Wang, Y. C., Hsieh, C. H., Fu, C. Y., Yeh, C. C., Wu, S. C., & Chen, R. J. (2012). Hollow Organ Perforation In Blunt Abdominal Trauma : The Role of Diafnostic Peritoneal Lavage. Academic Emergency Medicine, 30, 570-573.

Whitehouse, J. S., & Weigelt, J. A. (2009). Diagnostic Peritoneal Lavage : a Review of Indications, Technique and Interpretation. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 17(13), 1-5.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBAT EMERGENCY

OBAT EMERGENCY DENGAN PENGGUNAAN SYIRINGE PUMP Obat emergency merupakan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Sebaiknya disiapkan dan disediakan ditempat yang mudah terjangkau dan pemberiannya berdasarkan pada keadaan pasien tersebut. Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W dimana yang dimaksud adalah (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. Berikut yang termasuk obat-obatan yang sering diberikan secara berkesinambungan adalah adrenalin, dopamin, dobutamin, herbesser . Pemberian obat yang tidak dirancang dengan benar dapat berakibat fatal atau tidak berkhasiat sama sekali. PRINSIP PEMBERIAN Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. PERHITUNGAN OBAT :  Pasien dengan BB 50Kg, mendapatkan terapi dopamin dengan dosis 5mcg/Kg/Menit. Sediaan dopamin yan

Pemeriksaan fisik sistem pernapasan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERNAPASAN (B1) INSPEKSI 1.     Wawancara pasien terkait keluhan sesak napas, nyeri dada ,  batuk, pengeluaran sputum dan batuk darah. Adapun masing – masing pemeriksaan akan dijelaskan sebagai berikut : a.     Derajat Sesak Nafas Derajat Sesak Keluhan Sesak Derajat I Sesak bila aktivitas berat, aktivitas sehari-hari baik Derajat II Sesak bila naik tangga Derajat III Aktivitas sehari-hari terasa sesak Derajat IV Pekerjaan ringan terasa sesak, istirahat tidak sesak Derajat V Istirahat tetap sesak (hidup tergantung O 2 ) b.     Nyeri dada Keluhan Nyeri Dada Kemungkinan Diagnosis Nyeri Dada Mendadak  Peny. Jantung   Pneumotoraks Nyeri Seperti Ditusuk Pleuritis Peny. Jantung  (Angina) Pneumotoraks Nyeri Dada Rasa Keme

PENGAJUAN KEANGGOTAAN HIPGABI JAWA TIMUR

Kepada Yth. Sejawat perawat Gawat Darurat Di Jawa Timur Assalamualaikum wr wb Bapak ibu dulur yang akan mengajukan keanggotaan HIPGABI , kini sudah dapat mengisi data data di link  bit.ly/form-anggota-hipgabi . Adapun syarat data yang harus anda lengkapi sebelum klik link adalah : 1. NIRA 2. Alamat dan nomor ponsel 3. Foto 3x4 pakaian resmi Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih HIPGABI # Bersatu # Berkualitas # Sejahtera Berikut adalah daftar pengajuan yang akan diproses beserta keterangannya No Nama Nira Institusi KET 1 Yudisa Diaz Lutfi Sandi, Ns., M.Kep 35210213331 Akper Pemkab Ngawi LENGKAP 2 Rizky Fajar Bahtiar,S.St 35730327236 Rumah Sakit Universitas Brawijaya LENGKAP 3 Khotimah, S. Kep., Ns., M. Kes 35170232243 Unipdu Jombang LENGKAP 4 Guruh Wirasakti, S.Kep.,Ns.,M.Kep. 35730479034 STIKES dr. Soebandi Jember LENGKAP