Langsung ke konten utama

PERAWAT DI SETTING IGD



Lingkungan kerja  di instalasi gawat darurat
Instalasi gawat darurat adalah unit pelayanan rumah sakit yang memberikan pelayanan pertama pada pasien dengan ancaman kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai multidisiplin (Depkes, 2005). Instalasi gawat darurat yang merupakan pintu utama sebuah rumah sakit yang diharapkan mampu memberikan pelayanan darurat dengan standar yang tinggi kepada masyarakat (Rumah Sakit Saiful Anwar, 2012).
Angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan kondisi gawat tergantung pada cepat dan tepatnya pelayanan pertama yang didapatkan di instalasi gawat darurat (Schriver et al, 2003). Menurut data World Health Organization pada tahun 2011 mencatat bahwa 30% kasus kematian pasien di pelayanan gawat darurat disebabkan karena cedera dan 45% karena penyakit dalam. Namun belum ada riset yang pernah dilakukan untuk mencatat mengenai kepuasan pasien terhadap pelayanan gawat darurat di Indonesia.
Penanganan pasien gawat di ruang gawat darurat memerlukan tindakan yang bersifat cepat dan memerlukan tindakan tepat (Blair & Smith, 2012). Perawat gawat darurat dituntut harus dapat mengkaji pasien trauma akibat kecelakaan dan ruda paksa dengan cepat sambil merencanakan intervensi serta berkolaborasi dengan dokter gawat darurat dalam rentang waktu yang relatif singkat. Perawat gawat darurat juga dituntut untuk mampu melakukan dan mendokumentasikan tindakan medis dan tindakan keperawatan termasuk waktu sesuai dengan standar yang disetujui.
Instalasi gawat darurat terkait dengan tuntutan kondisi kerja yang tinggi memiliki permasalahan yang rumit. Menurut Beecroft (2008) instalasi gawat darurat memiliki permasalahan turnover yang tinggi, hal ini disebabkan karena lingkungan instalasi gawat darurat yang penuh dengan tekanan beban kerja yang tinggi, hubungan perawat dengan teman sejawat yang kurang harmonis dan tuntutan yang tinggi terhadap kemampuan perawat dalam melakukan pelayanan. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Patterson (2010) yang mengatakan bahwa instalasi gawat darurat adalah tempat yang paling rumit dan sibuk. Itu sebabnya mengapa di instalasi gawat darurat memiliki burnout perawat dan turnover yang tinggi. Burnout dan turnover yang tinggi berdampak pada kekurangan staf perawat yang akhirnya rasio perawat dan pasien meningkat (Schriver, 2003; Spooner-Lane, 2004; Kart, 2009; Berezuik, 2010).
Menurut Schriver et al (2003) beberapa upaya dan solusi yang dapat dilakukan untuk menghadapi masalah di instalasi gawat darurat adalah dengan : memperbaiki beban rasio antara perawat dengan pasien, mengembalikan fungsi tugas perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan kepada pasien beserta keluarganya, mengembangkan sikap saling mendukung dan kekeluargaan antar sesama perawat dan dokter, membuat penjadwalan shift dengan lebih efisien, meningkatkan kesejahteraan perawat serta ikut terlibat dalam pengembangan pendidikan keperawatan melalui praktek
 Kompetensi perawat instalasi gawat darurat
Kompetensi adalah suatu proses perubahan dan pengembangan kemampuan yang berkelanjutan (Reid, 2010). Masih menurut Reid (2010) komponen utama dan esensial dari terbentuknya kompetensi suatu ketrampilan adalah integrasi yang baik antara domain kognitif, psikomotor dan afektif. Komponen afektif merupakan komponen yang sangat penting dalam membentuk suatu kompetensi dimana afektif akan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kompetensi menggambarkan tindakan atau perilaku individu yang kompeten (Tilley, 2008). Kompetensi merupakan topik yang menarik dalam lingkup pendidikan keperawatan dimana kompetensi adalah salah satu strategi untuk menyelesaikan jurang antara teori dan praktek.
Kompetensi perawat gawat darurat adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang perawat gawat darurat untuk melakukan tindakan dengan didasarkan pengkajian secara komprehensif dan perencanaan yang tepat dan lengkap (Depkes, 2005). Kompetensi ini bukan prosedur tindakan tetapi kompetensi perawat harus diikuti dan dilaksanakan sesuai dengan standar prosedur operasional (Berezuik, 2010). Kompetensi tersebut meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang harus ditingkatkan atau dikembangkan dan dipelihara sehingga menjamin perawat dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara profesional (Reid, 2010). Menurut Depkes (2005) persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi pembimbing klinik di instalasi gawat darurat adalah sehat jasmani dan rohani, pendidikan S1 keperawatan pengalaman kerja 3 tahun atau D3 keperawatan ditambah pengalaman kerja minimal 5 tahun, memiliki sertifikat sebagai pembimbing klinik / Clinical Instructor (Lambert & Glacken, 2004), memiliki sertifikat pelatihan keperawatan gawat darurat basic 2 atau advance (Kepmenkes, 2008), mempunyai pengalaman kerja di ruang gawat darurat minimal 5 tahun (Schriver et al, 2003)

Konsep teori keperawatan novice to expert Patricia Benner
Pada penelitian ini, kerangka teori keperawatan yang digunakan adalah teori model Patricia Benner “From Novice to Expert: Excellence and Power in Clinical Nursing Practice”. Hal ini disebabkan karena teori ini konsisten dalam pengembangan pengetahuan mengenai praktek klinik keperawatan sehingga sesuai dengan tema penelitian yang akan dilaksanakan peneliti terkait pembimbing klinik. Model teori Patricia Benner diklasifikasikan dalam philosophical theory atau meta theory karena berfokus pada pertanyaan-pertanyaan falsafah dan metodologis terkait dengan pengembangan teori dasar keperawatan dan berhubungan dengan bagaimana pengetahuan dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan (Alligood & Tomey, 2006; Altmann, 2007).
Benner (1984) menyatakan konsep From Novice to Expert: Excellence and Power in Clinical Nursing Practice menguraikan bahwa untuk menjadi perawat ahli perlu mengembangkan ketrampilan dan memahami tentang perawatan pasien disepanjang waktu yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman banyak. Benner mengatakan bahwa salah satu cara memperoleh pengetahuan dan ketrampilan melalui (“knowing how”) serta belajar teori (“knowing what”). Alasannya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu terapan seperti yang terjadi pada kedokteran dan keperawatan merupakan perluasan pengetahuan praktek yang dapat dilakukan melalui penelitian serta pemahaman dari “knowing how” dalam pengalaman klinik. Intinya adalah pengalaman merupakan prasyarat untuk menjadi ahli (Dracup & Brown, 2004)
Patricia Benner dalam teori “From Novice to Expert: Excellence and Power in Clinical Nursing Practice banyak dipengaruhi oleh “The Skill Acquisition Theory” yang dikembangkan oleh Hubert Dreyfus dan Stuart Dreyfus pada tahun 1986 (Gobet & Chassy, 2006). Selain adaptasi model yang dikembangkan oleh Hubert Dreyfus dan Stuart Dreyfus, pemikiran Patricia Benner juga banyak dipengaruhi oleh teori model “human basic need” yang dikembangkan oleh Virginia Henderson. Dari adaptasi model tersebut Benner menguraikan 5 tingkatan keahlian yaitu novice, advance beginner, competent, proficient, dan expert.  Adapun tingkatan tersebut selanjutnya akan dibahas pada paragraf di bawah ini.
Pada tingkat pertama adalah novice dimana novice masih dalam kondisi belum memiliki pengalaman dan mereka berharap dapat melakukan tindakan. Perawat novice bekerja berdasarkan instruksi dan bersifat “context free”. Hal tersebut mengakibatkan perawat novice bekerja dengan terbatas dan tidak fleksibel (Gobet & Chassy, 2006). Contohnya adalah pemula yang diperlakukan sebagai seseorang yang belum memiliki pengalaman didalam aplikasi aturan maka pemula dapat berkata “Langsung katakan saja apa yang harus saya lakukan dan saya akan melakukannya” (Benner, 1984). Novice menurut Benner (1984) mulai belajar untuk mengenal situasi nyata dan mengutamakan ketrampilan yang khusus dan tindakan mereka didasari atas fakta dan keutamaan (Lyneham, Parkinson, & Denholm, 2008), memiliki kesetiaan yang kaku untuk belajar peraturan serta tidak memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan (Jones, 2007).
Pada tingkat kedua setelah novice adalah advance beginner dimana  ciri dari advance beginner dalam model ini adalah masih bisa menunjukkan penampilan dalam mengatasi masalah yang masih dapat diterima dalam situasi nyata, mempunyai mentor, mengalami situasi penting yang berulang-ulang, serta mempunyai pengalaman yang cukup dalam menghadapi suatu situasi dan didasarkan atas pengalaman (Benner, 1984). Advance beginner mampu untuk mengenali suatu situasi secara global dan dipengaruhi oleh pengalaman (Lyneham et al, 2008). Fungsi perawat pada situasi ini dipandu dengan aturan dan berorientasi pada penyelesaian tugas. Mereka akan kesulitan memegang pasien tertentu pada situasi yang memerlukan perspektif lebih luas. Situasi klinis yang ditunjukkan oleh perawat advance beginner dipersepsikan sebagai ujian terhadap kemampuannya dan merupakan permintaan dari pasien yang membutuhkannya. Advance beginner mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk melakukan manajemen asuhan keperawatan pasien karena mereka mempunyai lebih banyak pengalaman sebelumnya (Jones, 2007).
Pada tingkat ketiga adalah Competent. Tingkat Competent adalah bila advance beginner dapat menyelesaikan pembelajaran dari situasi praktik aktual dengan mengikuti kegiatan yang lain (Gobet & Chassy, 2006). Tahap competent ditandai dengan adanya kemampuan mempertimbangkan dan membuat perencanaan jangka panjang dalam suatu situasi tertentu dan sudah dapat dilepaskan untuk bekerja mandiri. Tahap ini melambangkan perawat yang telah memiliki pekerjaan yang sama atau situasi yang sama selama 2 atau 3 tahun, berkembang ketika perawat mulai memandang tindakannya telah mencapai sasaran, atau secara sadar mempunyai rencana dalam tindakannya (Benner, 1984). Konsisten, kemampuan memprediksi, dan manajemen waktu adalah penampilan pada tahap competent. Perawat competent dapat menunjukkan tanggung jawab yang lebih terhadap respon pasien, lebih realistik, analitik meskipun masih abstrak dan dapat menampilkan kemampuan kritis pada dirinya.
Tingkat competent adalah tingkatan yang penting dalam pembelajaran klinis, karena pembimbing harus mengembangkan pola terhadap elemen atau situasi yang membutuhkan perhatian (Alligood & Tomey, 2006). Competent harus mengetahui alasan dari pembuatan perencanaan dan prosedur pada situasi klinis. Untuk dapat menjadi proficient, maka competent harus diizinkan untuk memandu respon terhadap situasi. Point pembelajaran yang penting pada tingkatan competent adalah untuk melatih perawat untuk melakukan transisi dari competent ke proficient. Perawat competent memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk mengatasi situasi keperawatan yang luas tetapi tetap memiliki kekurangan dalam kecepatan dan fleksibilitas (Lyneham et al, 2008).
Tahapan berikutnya adalah proficient. Perawat proficient dapat merasakan situasi kerja sebagai keutuhan bukan lagi sebagai potongan-potongan. Kepandaian perawat memahami situasi sebagai keutuhan karena mereka merasa hal tersebut memiliki arti untuk tujuan jangka panjang (Alligood & Tomey, 2006). Perawat poficient belajar dari pengalaman dengan banyak peristiwa yang diharapkan mampu memberi kontribusi dan memiliki pengalaman bagaimana perencanaan membutuhkan modifikasi respon dalam peristiwa ini. Perawat proficient juga mampu mengenali ketika harapan tentang gambaran normal tidak terwujud (Benner, 1984). Proficient memandang situasi secara holistik dan tidak lagi dilihat sebagai aspek (Jones, 2007). Pengertian holistik ini meningkatkan kemampuan dalam pembuatan keputusan bagi perawat proficient, namun hal ini menjadi sedikit kendala karena perawat memiliki perspektif tentang sifat dan aspek terhadap situasi dimana juga merupakan hal yang penting (Benner, 1984). Perawat proficient mampu mengatur dan memahami situasi permasalahan secara intuisi, namun masih tetap membutuhkan pemikiran analitis dalam memilih suatu tindakan (Gobet & Chassy, 2003). Praktek dari perawat proficient adalah analisis dan fleksibel serta merupakan perawat yang dapat mengenali ketika harapan tentang gambaran normal tidak terwujud (Lyneham et al, 2008).
Tahap selanjutnya setelah proficient adalah expert. Pada tahap expert, perawat tidak lagi mengandalkan prinsip-prinsip analitik (aturan-aturan, pedoman) untuk menghubungkan atau memahamkannya pada situasi yang membutuhkan tindakan yang tepat (Jones, 2007). Perawat expert dengan latar belakang pengalaman yang sangat banyak, mempunyai pegangan instuisi di tiap-tiap situasi (Lyneham et al, 2008). Penampilannya menjadi fleksibel dan terlihat memiliki kepandaian yang tinggi. Namun tidak dapat dikatakan bahwa perawat expert tidak pernah memakai alat analisis untuk memutuskan tindakan yang tepat. Kemampuan menganalisis digunakan untuk situasi dimana perawat belum memilliki pengalaman sebelumnya. Alat analisis dibutuhkan ketika perawat expert mendapatkan pedoman yang salah tentang situasi dan menemukan bahwa kejadiaan dan perilaku tidak terjadi sesuai harapan. Ketika pandangan alternatif tidak tersedia maka jalan keluar untuk mengatasi pedoman yang salah adalah dengan menggunakan analisis penyelesaian masalah (Benner, 1984).
Pada tahap expert, perawat tidak hanya sadar dalam menjalankan praktek mereka, namun telah menjadi bagian dari hidup mereka (Benner, 1984). Selain melihat perawatan pasien sebagai potongan-potongan informasi, perawat expert mampu menyatukan berbagai macam aspek perawatan pasien kedalam keutuhan yang bermakna (Alligood & Tomey, 2006). Perubahan kualitatif pada expert adalah “mengetahui pasien” yang berarti mengetahui tipe pola respon dan mengetahui pasien sebagai manusia. Aspek kunci pada perawat expert adalah menunjukkan pegangan klinis dan sumber praktis, mewujudkan proses know-how, melihat gambaran yang luas, melihat yang tidak diharapkan.
Teori model Benner memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dari teori ini adalah teori ini bersifat sederhana, mudah dipahami dan memberi wawasan yang komplek mengenai hubungan antara teori dan praktek keperawatan (Gobet & Chassy, 2006). Namun teori model ini juga tidak luput dari kelemahannya. Banyak para tokoh teori keperawatan menyatakan bahwa model teori Benner adalah falsafah karena penelitiannya merupakan penelitian kualitatif dan tidak bisa divalidasi dengan kuantitatif (Alligood & Tomey, 2006). Model ini juga didasarkan pada narasi individu sehingga lebih dekat dengan pengakuan, dengan demikian subjek bisa melebih-lebihkan atau memanipulasi agar harapannya dapat tercapai. Narasi yang digunakan sebagai dasar untuk menggali kenyataan harus diuji secara empirik untuk dijadikan teori (Altmann, 2007). Berikut adalah bagan mengenai urutan kemampuan novice to expert

Teori Patricia Benner mengenai novice to expert telah banyak digunakan sebagai kerangka kerja teori dari beberapa penelitian mengenai pendidikan praktek klinik keperawatan baik dalam konteks program pembelajaran mahasiswa keperawatan maupun perekrutan perawat baru di rumah sakit (Gobet & Chassy, 2006). Dalam menemukan teori modelnya, Benner banyak melakukan riset kualitatif dengan pendekatan hermeneutik interpretatif Heidegger. Pada kurun tahun 1996 sampai 1997 Benner melakukan sebuah riset kualitatif fenomenologi interpretatif terhadap 76 orang perawat sebagai partisipan yang diambil dari 6 rumah sakit berbeda. Dari sinilah hasil riset kualitatif Benner menghasilkan pemikiran baru yang lalu dibukukan dalam “Clinical Wisdom In Critical Care” (Alligood & Tomey, 2006). Dari penelitian tersebut dicantumkan ada 9 domain yang berhubungan dengan kompetensi perawatan dasar pasien di ruang emergency antara lain : mendiagnosa dan menangani pasien kritis yang tidak stabil, memiliki kompetensi dalam manajemen krisis, melakukan tindakan yang nyaman bagi pasien kritis, caring terhadap keluarga pasien, dapat melindungi pasien dari lingkungan yang tidak aman, dapat menghadapi kondisi pasien yang sekarat, dapat berkomunikasi dan bernegoisasi dengan disiplin ilmu yang terkait, mengontrol kualitas pelayanan dan yang terakhir adalah mampu menggunakan skill “ know – how” dalam kepemimpinan, mentoring terhadap rekan sejawat dalam setting praktek klinik.
Namun sebelum tahun 1996 Benner telah melakukan penelitian kualitatif selama kurun waktu 6 tahun dan melibatkan 130 perawat kritis (Alligood & Tomey, 2006). Hasil penelitian tersebut menghasilkan teori model yang kemudian dibukukan dalam “Expertise in Nursing Practice”. Tujuan dari riset ini adalah untuk menggambarkan pengetahuan yang diterapkan di praktek klinik, menggambarkan ketrampilan dasar yang harus dimiliki perawat kritis, mengidentifikasi hambatan institusi dan hambatan sumber daya terhadap perkembangan kemampuan ketrampilan praktek klinik dan yang terakhir adalah untuk menyusun strategi pendidikan yang dapat meningkatkan perkembangan ketrampilan keperawatan. 
Penelitian yang lain adalah sebuah studi survey diskriptif dilakukan oleh Reid (2010) mengenai persepsi perawat senior terhadap kompetensi perawat pemula di setting critical care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat senior yang bekerja di setting perawatan kritis memiliki persepsi yang baik terhadap juniornya. Dari 6 kategori instrumen (six-D Scale) hasil tertinggi adalah pada hubungan interpersonal sedangkan hasil terendah pada penilaian kepemimpinan. Hal ini wajar karena sebagai perawat junior yang baru lulus, mereka harus dapat segera beradaptasi dengan lingkungan kerjanya baik itu pada komponen beban kerjanya maupun budaya kerja yang sudah terbentuk.
Kerangka teori model Benner juga telah diadopsi dalam kaitannya mengenai bagaimana pengalaman perawat expert yang mendapat tugas untuk menjadi pembimbing klinik. Cangelosi et al (2009) membuat suatu penelitan kualitatif mengenai pengalaman seorang perawat saat ditunjuk menjadi pembimbing klinik. Penelitian dilakukan dengan pendekatan fenomenologi interpretatif dan menggunakan kerangka teori novice to expert dari Patricia Benner. Dari hasil penelitian tersebut dari jumlah partisipan sebesar 45 orang ada tiga tema yang diungkap yaitu perawat yang ditunjuk menjadi pembimbing klinik harus tetap belajar bagaimana mengajar dan membimbing yang baik (mentoring in the dark), Peran sebagai pembimbing klinik merupakan peran baru bagi mereka dan meskipun mereka ekspert sebagai perawat di instalasi gawat darurat akan tetapi mereka masih novice dalam peran sebagai pembimbing (embracing the novice), Mempelajari peran yang baru sebagai pembimbing klinik membutuhkan usaha yang lebih bagi mereka karena mengajar sebenarnya memerlukan niat dan ketulusan hati (buckle your seatbelt).
Mengajar bukanlah sesuatu yang didasarkan pada pengalaman klinik akan tetapi memerlukan ketrampilan tersendiri (Cangelosi et al, 2009). Perawat yang mendapat peran baru sebagai pembimbing klinik tetap akan memasuki tahapan –tahapan sesuai dengan kerangka kerja benner yaitu “novice to expert  Perawat dengan peran barunya sebagai pembimbing klinik juga mengalami tekanan kecemasan dan rasa takut yang disebabkan ketidakmampuan dan kurangnya pengetahuan mereka untuk menjadi seorang pendidik dan pembimbing klinik yang baik dengan demikian maka Cangelosi et al (2009) merekomendasikan untuk diadakan suatu pelatihan sebagai upaya mempersiapkan perawat dalam menjalankan perannya sebagai pembimbing klinik.

Kompetensi perawat gawat darurat : 



DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. & Tomey, Ann M. (2006).  Nursing Theorists and Their Work (6th ed.).  Maryland Heights, Missouri:  Mosby Elsevier.

Altmann, T. K. (2007). Evaluation Of The Seminal Work Patricia Benner: Theory Or Philosophy? Contemporary Nurs, 25(1-2), 114-123

Beecroft P, Dorey F, Wenten M (2008). Turnover Intention In New Graduate Nurses: A Multivariate Analysis. Journal of Advanced Nursing, 62, 1, 41-52.

Benner, P. (1984). From Novice To Expert: Excellence And Power In Clinical Nursing Practice. Menlo Park: Addison-Wesley, pp. 13-34

Berezuik, S. (2010). Mentoring in Emergency Care " 'Growing Our Own'. Emergency Nurse, 18(7).

Blair, W., & Smith, B. (2012). Nursing Documentation : Frameworks and barriers. Nursing Documentation, 41(2).

Brockopp, D. Y., & Tolsma, M. T. H. (2000). Dasar- Dasar Riset Keperawatan. Jakarta: EGC.

Brunero, S., & Parbury, J. S. (2010). The Effectiveness of Clinical Supervision in Nursing : An Evidenced Based Literature Review. Australian Journal of Advanced Nursing, 25(3), 86-94.

Bungin, M. B. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Cangelosi, P. R., Crocker, S., & Sorrell, J. M. (2009). Expert to Novice : Clinicians Learning New Roles As Clinical Nurse Educators. Nursing Education Perspectives, 30(6), 367-371.

Cederbaum, J., & Klusaritz, H. A. (2009). Clinical Instruction : Using The Strenghts-Based Approach with Nursing Students. Journal of Nursing Education, 48(8), 422-428.

Cheung, R. Y.-M., & Au, T. K.-f. (2011). Nursing Students’ Anxiety and Clinical Performance. Journal of Nursing Education, 50(5).

Dahlke, S., Baumbusch, J., Affleck, F., & Kwon, J. Y. (2012). The Clinical Instructor Role In Nursing Education : A Structured Literature Review. Journal of Nursing Education, 51(12), 692-696.

Dharma, K. K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Depkes. (2005). Pedoman Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di Rumah Sakit. Retrieved. from.

Dracup and Crristopher. (2004). From Novice To Expert To Mentor:Shaping The Future. American Journal of Critical Care, 13, 448-450.

Ghony, M. D., & Almanshur, F. (2012). Metodologi Kualitatif. Yogjakarta: Ar Ruzz Media.

Gobet. F. & Chassy, P. (2006). Towards An Alternative To Benner’s Theory Of Expert Intuition In Nursing: A discussion paper. International Journal of Nursing Studies

Henderson S, Happel B, Martin T. (2007). Impact Of Theory And Clinical Placement On Undergraduate Students’ Theory And Nursing Knowledge, Skills And Attitudes. Int. J. Mental Health Nurs.16:116–125.

Hossein, K. M., Fatemeh, D., Fatemeh, O. S., Katri, V. J., & Tahereh, B. (2010). Teaching Style In Clinical Education : A Qualitative Study's Iranan Nursing Teacher's Experiences. Nurse Education in Practice, 10, 8-12.

Jones, M. P. (2007). Nursing expertise:a look at theory and LNCC certification exam Journal of Legal Nurse Consulting, 18(2), 12-15.

Kandari, F. A., Vidal, V. L., & Thomas, D. (2009). Assessing Clinical Learning Outcomes : A Descriptive Study Of Nursing Students In Kuwait. Nursing and Health Sciences, 11, 252-262.

Kantor, S. A. (2010). Pedagogical Change In Nursing Education : One Instructor's Experience. Journal of Nursing Education, 49(7), 414-417.

Kart, M. E. (2009). Relations Among Social Support, Burnout and Experiences of Anger : An Investigation Among Emergency Nurses. Nursing Forum, 44(3), 165-174.

Lambert, V., & Glacken, M. (2004). Clinical Supoort Roles : A Review Of The Literature. Nurse Education in Practice, 4, 177-183.

Latham C, Hogan M, Ringl K (2008) Nurses Supporting Nurses: Creating A Mentoring Program For Staff Nurses To Improve The Workforce Environment. Nursing Administration Quarterly. 32, 1, 27-39.

Levett-Jones T, Fahy K, Parsons K, Mitchell A. (2006). Enhancing Nursing Students’ Clinical Placement Experiences: A Quality Improvement Project. Contemp. Nurse; 23: 58–71.

Lockwood-Rayermann S. (2003). Preceptors, Leadership Style, And The Student Practicum Experience. Journal of Nurse Education.; 28: 247–249.

Lyneham, J., Parkinson,C., & Denholm, C. (2008). Explicating Benner’s Concept of Expert Practice: Intituition In Emergency Nursing. Journal of Advanced Nursing, 64. 380-387.

Mahmoodi, S. (1997). Teaching Guides for Medical Teachers and Allied Health. Boostan Publisher, Tehran. pp. 167–168.

Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Parsh, B. (2010). Characteristics of Effective Simulated Clinical Experience Instructors : Interview With Undergraduate Nursing Students. Journal of Nursing Education, 49(10), 569-572

Prastowo, A. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogjakarta: Ar- Ruzz Media.

Professional Standards of Practice For Licensed Practical Nurses. (2010). Columbia British: College of Licensend Practical Nurses of British Columbiao. Document Number)

Polit, D. F., & Hungler, B. P. (1997). Essentials of Nursing Research (Vol. ). New York: Lippincott.

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2010). Nursing Research : Principles and Methods (Vol 7),   New York: Lippincott

Rahim. M.A. (2000). Managing conflict in organization. Greenwood publishing group
.
Ramritu, P. L. & Barnard, A. (2001).New nurse graduates’ understanding of  competence.International Nursing Review 48(1), 47-57.

Reid, D. H. (2010). The Experienced Critical Care RN's Perception of New Graduate RNs Competence in Critical Care Using Benner's Novice to Expert. Gardner-Webb University School Of Nursing, Boiling Springs North Carolina.

RSSA. 2012. Standar Pelayanan dan Sistem Kendali Mutu di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum. Malang: Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Instalasi Gawat Darurat

Ryan-Nicholls, & Kimberley. (2004). Preceptor Recruitment And Retention: The Preceptor Partnership Is The Most Effective Means Of Ensuring That Students Integrate Professionaltheory With Clinical Practice, But A Growing Lack Of Nurse Preceptors May Threaten The Process. The Canadian Nurse(6), 18-22.
.
Schriver, J. A., Talmadge, R., Chuong, R., & Hedges, J. R. (2003). Emergency Nursing : Historical , Current, and Future Roles. Academic Emergency Medicine 10(7), 798 - 804.

Severinsson, E. (2010). Evaluation of the Clinical Supervision and Professional Development of Student Nurses. Journal of Nursing Management 18 : 669 – 677.

Shin, K. R. (2000). The Meaning of The Clinical Learning Experience of Korean Nursing Students. Journal of Nursing Education, 39(6), 259.

Speziale, H. J. S., & Carpenter, D. R. (2007). Qualitative Research In Nursing. Philadelpihia: Lippincot Williams & Wilkins.

Spooner-Lane, R. (2004). The Influence of Work Stress And Work Support on Butnout In Public Hospital Nurses. Queensland University of Technology, Queensland.

Tang, F. i., Chou, S. m., & Chiang, H. h. (2005). Student's Perception Of Effectivie and Ineffectuve Clinical Instructor. Journal of Nursing Education, 44(4), 187.

Tanriverdi, G., & Katar, T. (2009). Problems Experienced by Midwifery and Nursing Students in Turkey During Clinical Practice and Their Recommended Solutions to The Problem International Journal of Caring Sciences, 2(1).

Tilley, D. D. S. (2008). Competency In Nursing : A Concept Analysis. Journal of Nursing Education, 39(2), 58-64

Ulrich, B. (2011). From novice to expert. Nephrology Nursing Journal, 38(1), 9.

Walklin, L., (2002). Teaching and Learning in Future and Adult Education. Nelson Thornes Ltd., United Kingdom. pp. 260–261.

World Health Organization. Surgical care at the district hospital. Geneva,WHO, 2011 (http://www.who.int/surgery/publications/en/SCDH.pdf, accessed 30 Oktober 2012).

Zieber, M. P., & Hagen, B. (2009). Interpersonal Biundaries in Clinical Nursing Education : An Exploratory Canadian Qualitative Study. Nurse Education in Practice, 9, 356-360.

Zilembo M, Monterosso L. (2008). Nursing Students’ Perceptions Of Desirable Leadership Qualities In Nurse Preceptors: A Descriptive Survey. Contemp. Nurse. 27: 194–206.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBAT EMERGENCY

OBAT EMERGENCY DENGAN PENGGUNAAN SYIRINGE PUMP Obat emergency merupakan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Sebaiknya disiapkan dan disediakan ditempat yang mudah terjangkau dan pemberiannya berdasarkan pada keadaan pasien tersebut. Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W dimana yang dimaksud adalah (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. Berikut yang termasuk obat-obatan yang sering diberikan secara berkesinambungan adalah adrenalin, dopamin, dobutamin, herbesser . Pemberian obat yang tidak dirancang dengan benar dapat berakibat fatal atau tidak berkhasiat sama sekali. PRINSIP PEMBERIAN Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. PERHITUNGAN OBAT :  Pasien dengan BB 50Kg, mendapatkan terapi dopamin dengan dosis 5mcg/Kg/Menit. Sediaan dopamin yan

Pemeriksaan fisik sistem pernapasan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERNAPASAN (B1) INSPEKSI 1.     Wawancara pasien terkait keluhan sesak napas, nyeri dada ,  batuk, pengeluaran sputum dan batuk darah. Adapun masing – masing pemeriksaan akan dijelaskan sebagai berikut : a.     Derajat Sesak Nafas Derajat Sesak Keluhan Sesak Derajat I Sesak bila aktivitas berat, aktivitas sehari-hari baik Derajat II Sesak bila naik tangga Derajat III Aktivitas sehari-hari terasa sesak Derajat IV Pekerjaan ringan terasa sesak, istirahat tidak sesak Derajat V Istirahat tetap sesak (hidup tergantung O 2 ) b.     Nyeri dada Keluhan Nyeri Dada Kemungkinan Diagnosis Nyeri Dada Mendadak  Peny. Jantung   Pneumotoraks Nyeri Seperti Ditusuk Pleuritis Peny. Jantung  (Angina) Pneumotoraks Nyeri Dada Rasa Keme

PENGAJUAN KEANGGOTAAN HIPGABI JAWA TIMUR

Kepada Yth. Sejawat perawat Gawat Darurat Di Jawa Timur Assalamualaikum wr wb Bapak ibu dulur yang akan mengajukan keanggotaan HIPGABI , kini sudah dapat mengisi data data di link  bit.ly/form-anggota-hipgabi . Adapun syarat data yang harus anda lengkapi sebelum klik link adalah : 1. NIRA 2. Alamat dan nomor ponsel 3. Foto 3x4 pakaian resmi Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih HIPGABI # Bersatu # Berkualitas # Sejahtera Berikut adalah daftar pengajuan yang akan diproses beserta keterangannya No Nama Nira Institusi KET 1 Yudisa Diaz Lutfi Sandi, Ns., M.Kep 35210213331 Akper Pemkab Ngawi LENGKAP 2 Rizky Fajar Bahtiar,S.St 35730327236 Rumah Sakit Universitas Brawijaya LENGKAP 3 Khotimah, S. Kep., Ns., M. Kes 35170232243 Unipdu Jombang LENGKAP 4 Guruh Wirasakti, S.Kep.,Ns.,M.Kep. 35730479034 STIKES dr. Soebandi Jember LENGKAP