Latar Belakang
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi
neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila
cedera itu mengenai daerah L1-2 dan atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih. Cidera medula spinalis
diklasifikasikan sebagai komplet, yaitu: kehilangan sensasi fungsi motorik
volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).
Cidera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor
yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000
cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria
usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C.
Smeltzer,2001;2220).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di
bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor.
Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor
osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di
kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).
Klien yang mengalami cidera medula spinalis khususnya
bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan
kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien
juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis
vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu
sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan cidera medula spinalis dengan cara promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Cedera
sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak
memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang
penatalaksanaannya. Kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan
oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya
lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat
ketinggian dan kecelakaan olahraga. Pada masa lalu kematian penderita dengan
cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit
berupa infeksi saluran kemih gagal ginjal, pneumoni/decubitus.
Review Anatomi Fisiologi
Columna Vertebralis adalah pilar
utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat
kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai
bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut:
1.
Vetebrata
Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri
yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata
cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata
cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling
panjang.
2.
Vertebrata
Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari
atas ke bawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thoraks.
3.
Vertebrata
Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis
bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah
pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya
lebih luas kearah fleksi.
4.
Os.
Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang
kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
5.
Os.
Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga
disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka
kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior, yaitu: lengkung vertikal pada daerah
leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan
dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap
pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu
bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang
panggul dimiringkan ke atas
ke arah depan badan. Kedua lengkung
yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat
kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal
di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Gambar 2.1
kolumna vertebralis
Fungsi dari kolumna vertebralis adalah sebagai pendukung badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membongkok
tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila
menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan
demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu
juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan
membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan
memberi kaitan pada iga (Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 – 62).
Medula spinalis atau sumsum tulang
belakang bermula ada medula ablonata, menjulur kearah kaudal melalui foramen magnum dan berakhir
diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing
sebagai konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari pia meter yang disebut
filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis.
Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian
depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang
dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat
dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus - plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan
bawah, dan
plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang, yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan
semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur
sebagai berikut:
1.
Organ
sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.
Serabut
saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam
ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu
pasterior mendula spinalis.
2.
Sumsum
tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan
impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
3.
Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
4.
Organ
motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
Kerusakan pada sumsum tulang
belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal
mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal,
paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta
paralisis sfinkter
pada uretra dan rektum.
Definisi Cidera Medulla Spinalis
Gambar 2.2 penampang medulla
spinalis
Pada
penampang melintang sumsum tulang belakang tampak bagian luar berwarna putih,
sedangkan bagian dalam berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu. Pada penampang
melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap yang terbagi atas
sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap bawah disebut tanduk ventral. Impuls
sensori dari reseptor dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk
dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang melalui tanduk
ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal terdapat badan sel saraf penghubung
(asosiasi konektor) yang akan
menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan menghantarkannya ke saraf motor.
Medula
spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur
kearah kaudal melalui foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis
pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis,
dan kemudian sebuah sambungan tipis dari pia meter yang disebut filum
terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum
tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya
dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh
sebuah figura sempit.
Pada
sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari
penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas
dan bawah, dan plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang, yaitu
mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk
terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
·
Organ
sensorik: menerima impuls, misalnya kulit.
Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut
menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi
kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
·
Sumsum
tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls
menuju karnu anterior medula spinalis.
·
Sel
saraf motorik:
dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls
tersebut melalui serabut sarag motorik.
·
Organ
motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
Kerusakan
pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan
lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal,
paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta
paralisis sfinkter pada uretra dan rektum.
Cidera medula spinalis adalah suatu
kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula
spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Cidera medula spinalis adalah buatan
kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan di dalam tubuh manusia yang
diklasifikasikan sebagai:
1.
Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total).
2.
Tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik).
Cedera medula spinalis adalah suatu
kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu
lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan
tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu
terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik
dapat digunakan.
Cedera
medula spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma/cedera pada tulang
belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum
longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk
kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke
medula spinalis dapat ikut terputus.
Etiologi
Cedera sumsum tulang belakang
terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan
lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi
tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan
struktur thoraks.
Fraktur dapat
berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan
kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat berupa memar, contusio, kerusakan
melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau
perdarahan.
Kelainan
sekunder pada sumsum belakang dapat disebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia
disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi. Perlu disadari bahwa kerusakan
pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan
terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat
dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari
jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
Patofisiologi
Kerusakan medula spinalis berkisar dari kamosio sementara
(pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi
medula, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medula
(membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medula spinalis, darah
dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah subaranoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medula spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi
pada cidera medula spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn
iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi. Cidera medula spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5, yaitu:
1.
Lesi
11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian
dari bokong.
2.
Lesi
L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
3.
Lesi
L3 : Ekstremitas bagian bawah.
4.
Lesi
L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
5.
Lesi L5 : Bagian luar kaki dan
pergelangan kaki.
Gambar level cedera
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis tergantung
pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis; lintang memberikan gambaran berupa
hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai
shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang
belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini
umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid,
anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung
kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih
kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi
otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik
serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom
sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat
kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan
rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera
sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak
sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat
diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga
beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik
berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada
ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan
tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks
anal dan refleks bulbokafernosa.
Manifestasi klinis dari medula spinalis (Diane C. Baughman, 200 : 87) adalah:
1.
Nyeri
akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena.
2. Paraplegia.
3. Tingkat
neurologic.
4. Paralisis
sensorik motorik total.
5. Kehilangan
kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih).
6. Penurunan
keringat dan tonus vasomotor penurunan fungsi pernafasan.
7. Gagal
nafas.
Mekanisme
Cidera
Kecelakaan
otomobil, terjatuh, olahraga, tumor,
menyelam, kecelakaan industry, tertembak peluru, dan luka
tusuk dapat menyebabkan cedera medula spinalis. Sebagian besar pada medula
spinalis servikal bawah (C4-C7,TI), dan sambungan torakolumbal (T11-T12, L1).
Medula spinalis torakal jarang terkena. Faktor-faktor yang membedakan cedera
medula spinalis dari cedera kranioserebral adalah:
1. Konsentrasi
yang tinggi dari traktus dan pusat saraf yang penting dalam suatu struktur yang
diameternya relatif kecil.
2. Posisi
medula spinalis dalam kolumna vertebralis.
3. Kanalis
vertebralis yang relative sempit.
4. Adanya
osteofit.
5. Variasi
suplai pembuluh darah.
Efek
pada jaringan
saraf paling penting pada cedera medula spinalis. Ada 4 mekanisme yang
mendasari: Kompresi oleh tulang, ligamen, benda asing, dan
hematoma. Kerusakan paling berat disebabkan oleh kompresi tulang kompresi dari
fragmen korpus vertebra yang tergeser ke belakang dan cedera hiperekstensi.
Tarikan/regangan
jaringan: regangan yang berlebihan yang menyebabkan gangguan jaringan biasanya
setelah hiperfleksi. Toleransi regangan pada medula spinalis menurun sesuai
usia yang meningkat. Edema
medula spinalis timbul segera dan menimbulkan gangguan sirkulasi kapiler lebih
lanjut serta aliran balik vena, yang menyertai cedera primer. Gangguan
sirkulasi merupakan hasil kompresi oleh tulang atau struktur lain pada sistem
arteri spinalis posterior atau anterior.
Klasifikasi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.
Tabel 2.1. Tabulasi perbandingan klinik lesi komplet dan inkomplet
Karakteristik
|
Lesi Komplet
|
Lesi Inkomplet
|
Motorik
|
Hilang di bawah lesi
|
Sering (+)
|
Protopatik (nyeri, suhu)
|
Hilang di bawah lesi
|
Sering (+)
|
Propioseptik (joint position, vibrasi)
|
Hilang di bawah lesi
|
Sering (+)
|
Sacral sparing
|
negatif positif
|
|
Ro. vertebra
|
Sering fraktur, luksasi, atau listesis
|
Sering normal
|
MRI (Ramon, 1997, data 55 pasien cedera medula
spinalis; 28 komplet, 27 inkomplet)
|
Hemoragi (54%),
Kompresi (25%),
Kontusi (11%)
|
Edema (62%),
Kontusi (26%),
normal (15%)
|
Sumber :
www.google.com/
Terdapat 5 sindrom utama cedera
medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Association,
yaitu:
1.
Central Cord Syndrome
2.
Anterior Cord Syndrome
3.
Brown Sequard Syndrome
4.
Cauda Equina Syndrome, dan
5.
Conus Medullaris Syndrome.
Lee
menambahkan lagi sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior
Cord Syndrome.
Tabel 2.2. Komparasi Karakteristik Klinik Sindrom Cedera Medula Spinalis
Karakteristik Klinik
|
Central Cord Syndrome
|
Anterior Cord
Syndrome
|
Brown Sequard
Syndrome
|
Posterior Cord
Syndrome
|
Kejadian
|
Sering Jarang Jarang Sangat
|
|
|
Jarang
|
Biomekanika
|
Hiperekstensi
|
Hiperfleksi
|
Penetrasi
|
Hiperekstensi
|
Motorik
|
Gangguan bervariasi ;
jarang paralisis
komplet
|
Sering paralisis
komplet (ggn tractus
desenden); biasanya
bilateral
|
Kelemahan anggota
gerak ipsilateral lesi;
ggn traktus desenden
(+)
|
Gangguan
bervariasi,
ggn tractus descenden
ringan
|
Protopatik Gangguan
|
bervariasi
tidak khas
|
Sering hilang total
(ggn tractus ascenden);
bilateral
|
Sering hilang total
(ggn tractus ascenden)
kontralateral
|
Gangguan bervariasi,
biasanya ringan
|
Propioseptik Jarang
|
sekali
terganggu
|
Biasanya utuh
|
Hilang total ipsilateral;
ggn tractus ascenden
|
Terganggu
|
Perbaikan
|
Sering nyata dan
cepat; khas kelemahan
tangan dan jari
menetap
|
Paling buruk di antara
lainnya
|
Fungsi buruk, namun
independensi paling
baik
|
NA
|
Menurut
American Spinal Injury Association:
1.
Grade A: Hilangnya seluruh fungsi motorik
dan sensorik di bawah tingkat lesi
2.
Grade B: Hilangnya seluruh fungsi motorik
dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi.
3.
Grade C: Fungsi motorik intak tetapi
dengan kekuatan di bawah 3.
4.
Grade D: Fungsi motorik intak dengan
kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3.
5.
Grade E: Fungsi motorik dan sensorik
normal.
Cedera
medulla
spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio medulla spinalis adalah
suatu keadaan dimana fungsi
medulla spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medulla spinalis dapat berupa edema,
perdarahan verivaskuler kecil – kecil dan infrk pda sekitar pembuluh drah.
2. Kompresi medulla spinalis berhubungan dengan
cedera vertebra, akibat dari tekanan medulla spinalis.
3. kontusio adalah
kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebra, ligament dengan terjadinya perdarahan,
edema, perubahan neuron dan reaksi peradangan.
4. laserasio medulla spinalis merupakan
kondisi yang berat karena terjadi kerusakan medulla spinalis. Biasanya
disebabkan karena dislokasi, luka tembak. Hilangnya fungsi medulla spinalis umumnya bersifat
permanen.
Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan
Fisik
Untuk semua
pasien trauma, pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan napas
(airway), pernapasan (breathing) dan peredaran darah (circulation). Selain itu, adanya riwayat penyakit
kardiopulmonal harus diketahui melalui anamnesis, karena mempengaruhi fungsi paru.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di rumah sakit. Pemeriksaan
tulang belakang: deformitas, pembengkakan, nyeri tekan, gangguan gerakan
(terutama leher). Jangan banyak manipulasi tulang belakang.
1.
Foto
Polos Vertebra. Merupakan langkah awal untuk
mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna
vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP,
lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan
Lateral.
2.
CT-scan
Vertebra. Pemeriksaan
ini dapat memperlihatkan
jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam
potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk
mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. CT-Scan juga menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural.
jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis dalam
potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk
mendeteksi cedera fraktur pada tulang belakang. CT-Scan juga menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural.
3.
MRI
Vertebra. MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal
medula spinalis dalam sekali pemeriksaan.
MRI
juga untuk mengidentifikasi
adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4.
Sinar X spinal. Menentukan
lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah
dilakukan traksi atau operasi.
5.
Mielografi. Untuk memperlihatkan kolumna
spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai
adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan
dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
6.
Foto rontgen torak. Memperlihatkan keadan paru (contoh :
perubahan pada diafragma, atelektasis).
7.
Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) :
mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat
bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
8.
GDA.
Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi.
Tabel 2.3 Batas
Cedera Medulla Spinalis
Batas Cedera
|
Fungsi yang
hilang
|
Fungsi yang
diharapkan
|
Cervikal (C1 –
C4)
Quadriplegia
Cervical 5
(C5)
Quadriplegia
Cervical 6(C6)
Quadriplegia
Cervical 7
(C7)
|
1.
Hilangnya fungsi motorik dan sensorik dari leher
ke bawah.
1.
Paralisis pernafasan.
2.
Tidak terkontrolnya bowel dan bladder.
3.
Berakibat fatal.
1.
Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah.
1.
Hilangnya sensasi di bawah klavikula.
2.
Tidak terkontrolnya bowel dan bladder.
1.
Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan
lengan.
1.
Sensasi lebih banyak pada lengan dan jempol.
1.
Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku pergelangan dan bagian
dari lengan.
|
1.
Ketergantungan total.
1.
Perlu bantuan ventilator.
1.
Memerlukan bantuan seluruhnya.
1.
Memerlukan bentuan seluruh aktifitas perawatan
diri.
1.
Meningkatnya kemampuan untuk aktifitas hidup
sehari – hari.
|
Quadriplegia
Cervical 8
(C8)
Quadriplegia
Thorakal (T1 –
T6)
Paraplegia
Thorakal (T6 –
T12)
Paraplegia
Lumbal (L1 –
L3)
Paraplegia
Lumbosacral
(L4 – S1)
Paraplegia
Sacral (S2-
S4)
Paraplegia
|
1.
Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan
dibandingkan pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama dengan C5.
1.
Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari
lengan mengalami kelemahan.
1.
Hilangnya sensasi di bawah dada.
1.
Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah
dada tengah.
1.
Kemungkinan beberapa otot interkosta mengalami
kerusakan.
2.
Hilangnya control bowel dan bladder.
1.
Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di bawah
pinggang.
1.
Fungsi pernafasan sempurna tetapi hilangnya fungsi
bowel dan bladder.
1.
Hilangnya fungsi motorik dari pelvis dan tungkai.
1.
Hilangnya sensasi dari abdomen bagian bawah dan
tungkai, tidak terkontrol bowel dan bladder.
1.
Hilangnya beberapa fungsi motorik pada pangkal
paha, lutut dan kaki.
1.
Tidak terkontrol bowel dan badder.
1.
Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor.
1. Hilangnya
sensasi pad bagian tungkai dan perineum.
2.
Pada keadaan awal terjadi gangguan bowel dan
bladder.
|
1.
Masih perlu bantuan.
2.
Ambulasi dengan kursi roda.
1.
Mampu
menggunakan kursi roda.
1.
Meningkatnya kemandirian dalam aktifitas hidup.
1.
Dapat mendiri dalam perawatan diri.
1.
Dapat bekerja dengan menggunakan kursi roda.
1.
Sama seperti pada T1 – T6, tetapi ada peningkatan
keseimbangan duduk.
1.
Kemandirian dengan kursi roda.
1.
Ambulasi dengan brankas.
1.
Ambulasi normal.
|
Tabel Lokasi fungsi Motorik dan sensorik.
Fungsi Motorik
|
Fungsi
Sensorik
|
||
Lokasi
|
Fungsi
|
Lokasi
|
Area sensasi
|
C1 – C6
C1 – T1
C3 – C5
C5
C6
C7
C8
T1 - T6
T7 – L1
L1 – L4
L2 - L4
L4 – S1
L5 – S2
L4 – S2
|
Fleksor leher
Ekstensor leher
Diafragma
Fleksor siku
Ekstensor pergelangan tangan
Ekstensor siku
Fleksi pergelangan tangan
Interkosta otot dada
Otot abdomen
Fleksi pinggul
Adduksi pinggul
Ekstensi lutut
Abduksi pinggul
Dorsofleksi kaki
Ekstensi pinggul
Plantar fleksi kaki
Fleksi lutut
|
C5
C6
C7
C8
T4
T10
L5
S1
S2 - 5
|
Deltoid
Ibu jari
Jari – jari
tengah
Jari – jari
Batas putting
susu
Umbilicus
Empu kaki
Little toe
perineum
|
Komplikasi
Komplikasi dari Cidera Medulla Spinalis, antara lain :
1.
Neurogenik
shock.
2.
Hipoksia.
3.
Gangguan
paru-paru
4.
Instabilitas
spinal
5.
Orthostatic
Hipotensi
6.
Ileus
Paralitik
7.
Infeksi
saluran kemih
8.
Kontraktur
9.
Dekubitus
10. Inkontinensia blader
11. Konstipasi
Penatalaksanaan Medik
Prinsip
penatalaksanaan adalah :
1. Segera
dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi
daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan collar
servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah
progresivitas gangguan medulla spinalis misalnya dengan pemberian oksigen,
cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi
pengobatan :
a. Kortikosteoid
seperti deksimetason untuk mengontrol edema.
b. Antihipertensi
seperti diazoxide untuk mengontrol tekanan darah akibat autonomic hyperfleksia
akut.
c. Kolinergik
seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktivitas bladder.
d. Antidepresan
seperti imipramine hydrochorida untuk meingkatkan tonus leher bladder.
e. Antihistamin
untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f. Agen
antiulcer seperti ranitidine.
g. Pelunak
feses seperti decussate sodium.
h. Tindakan
operasi, dilakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur servical
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
i.
Rehabilisasi dilakukan untuk mencegah
komplikasi, mengurangi catat dan mempersiapkan pasien untuk hidup di
masyarakat.
Komentar
Posting Komentar