Langsung ke konten utama

Guillane Barre Syndrome

Guillain Barré Syndrom
Latar Belakang
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca: Gilan) dan Barré (baca: Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis
Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem sarung saraf. Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan. Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah nafas tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan pada serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada tangan tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa juga menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian mendadak. Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekuensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli sanpai dengan Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Pengertian GBS
GBS (Guillain Barre Syndrome) merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis. GBS  merupakan suatu syndrome klinis yang ditandai adanya paralisis flasidyang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimmune dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. (Bosch, 1998)
Sindrom Guillain Barre adalah suatu penyakit sistem saraf perifer yang ditandai oleh awitan paralisis otot mendadak. Sindrom ini terjadi akibat serangan autoimun pada mielin yangmembungkus saraf-saraf perifer. Dengan rusaknya mielin, akson itu sendiri menjadi rusak. Gejala-gejala sindrom Guillain Barre menghilang setelah serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila terjadi kerusakan badan sel selama serangan, maka dapat terjadi ketidakmampuan yang permanen. Walaupun penyebab sindrom Gillain Barre tidak diketahui, penyakit ini biasanya timbul 1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunitas. Pada awalnya yang terkena biasanya adalah otot-otot ekstremitas bawah, dengan paralisis berkembang ke atas. Otot-otot pernapasan dapat terkena sehingga terjadi kolaps pernapasan. Fungsi kardiovaskuler dapat terganggu pada fungsi saraf otonom (Elizabeth J. Corwin, 1996).
Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditujukan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selapur mielin dari saraf perifer dan kranial (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995).
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem sarung saraf. Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca: Gilan) dan Barré (baca: Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Anatomi Fisiologi
Setiap saraf terdapat sel-sel yang membentuknya, sel-sel pada sistem saraf terdiri dari :
1.      Neuron
Neuron merupakan unit fungsional sitem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma. Neuron ini terdiri dari komponen-kompunen yaitu:
a.       Badan sel.
b.      Akson.
c.       Dendrit.
2.      Sel Neuroglial
3.      Sistem komunikasi sel
Menurut anatomi pembagian sistem saraf dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System: CNS), dibagi menjadi 2 komponen yaitu :
a. Medula Spinalis (sumsum tulang belakang)
b. Otak (Otak besar, otak kecil, batang otak)
2. Sistem Saraf Tepi (Peripheral Nervous System), sistem saraf ini tugasnya menyampaikan informasi antara jaringan ke saraf pusat (CNS) dengan cara membawa signals dari dan ke CNS. dibagi menjadi 2 komponen yaitu :
a. Susunan Saraf Somatic. Yaitu susunan saraf yang mempunyai peranan spesifik untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang.
b. Susunan Saraf Otonom, susunan saraf ini dibagi menjadi 2 :
1) Susunan Saraf Simpati. Terletak di depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf. Sistem saraf ini terdiri dari serangkaian urat saraf yang bermuatan ganglion, ganglion-ganglion tersebut berpasangan dan disebarkan di daerah-daerah antara lain:
1.      Di daerah leher ada 3 pasang ganglion servikal
2.      Di daerah dada ada 11 pasang ganglion torakal
3.      Di daerah pinggang ada 4 pasang ganglion lumbal
4.      Di daerah pelvis ada 4 pasang ganglion sakral
5.      Di depan koksi ada 1 pasang ganglion koksis
Sistem saraf simpatis terdiri dari 3 bagian yaitu:
a.       kornu anterior segmen torakalis ke-1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis 1-3 terdapat rukleus vegetatif yang berisi kumpulan-kumpulan sel saraf simpatis.
b.      Trunkus simpatikus beserta cabang-cabangnya. Disebelah kiri dan kanan vertebra terdapat barisan ganglion saraf simpatikus, ganglion saraf simpatikus ini disebut trunkus simpatikus. Bentuk dari sepasang trunkus simpatikus adalah rongga, itu disebabkan oleh antara saraf simpatis satu dengan yang lain keluar masuk ke dalam ganglion.
c.       Fleksus simpatikus beserta cabang-cabangnya. Terletak di dalam abdomen, pelvis, toraks serta di dekat organ-organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis (otonom).
Ganglion lainnya (simpatis) yang berhubungan dengan rangkaian 2 ganglion besar membentuk fleksus-fleksus simpatis yaitu:
a.       Fleksus kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan cabangnya ke daerah tersebut dan paru-paru.
b.      Fleksus seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan mempersarafi organ-organ dalam rongga abdomen.
c.       Fleksus mesentrikus (fleksus higratrikus) terletak di depan sakrum dan mencapai organ pelvis.
Fungsi dari serabut saraf simpatis terdiri dari :
a.       Mensarafi otot jantung.
b.      Mensarafi pembuluh darah dan otot tidak sadar.
c.       Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pankreas dan usus.
d.      Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat.
e.       Serabut motorik pada otot tidak sadar.
f.       Mempertahankan tonus semua otot sadar.
2) Susunan Saraf Parasimpatis. Saraf kranial otonom adalah saraf kranial 3,7,9 dan 10. Saraf ini menghubungkan serabut  parasimpatis dalam perjalanan keluar dari otak menuju organ-organ yang sebagian dikendalikan oleh serabut-serabut menuju iris, sehingga dapat merangsang gerakan-gerakan saraf ke-3 yaitu saraf okulomotorik.
Peran Imunitas Seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran.

Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

Jenis-Jenis GBS (Guillain Barre Syndrome)
Adapun jenis-jenis GBS ada 3 yaitu :
a.       AIDP (Acute Inflamatorry Demyelinating Polyradiculoneuropathy)
b.      AMSAN (Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy)
c.       AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy)
            Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu :
1.      Guillain barre syndrome (GBS). Fase progresif sampai 4 minggu
2.      Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP). Fase progresif dari 4-8 minggu. Gejala klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
1)      Neurofisiologi : demyelinisasi
2)      Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
2.      Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
Fase progresif > 12 minggu. Dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
a. Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)

Etiologi
Sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. GBS diduga disebabkan oleh infeksi virus, tahap akhir-akhir ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunologik, baik secara primariimmune response maupun mediated process.
Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena:
a.       Infeksi : misal radang tenggorokan atau radang lainnya
b.      Infeksi virus : measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c.       Vaksin : rabies, swine flu
d.      Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni
e.       Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma, lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodi yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.

Patofisiologi
Konduksi se-sel secara normal yaitu Sel saraf terbentuk dari sebuah badan sel yang dikelilingi dendrit-dendrit, dan sebuat axon yang terdapat sepanjang tubuh sel yang berakhir pada ujung axon (lihat gambar). Sel-sel schwan terletak diantara atau interval sepanjang axon dan membran sel tersebut membungkus sekeliling axon dari lapisan myelin.
Nodes of Ranvier (ruangan-ruangan diantara lapisan-lapisan) memiliki konduksi yang cepat sepanjang axon. Perubahan kimia listrik terjadi tidak hanya pada nodes tersebut namun juga sepanjang axon.
Pada GBS, selaput myelin yang mengelilingi axon hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hypoksia, toksik kimia, insufisiensi vaskular dan reaksi imunologi demyelinisasi adalah respon yang umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan. Axon bermyelin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding axon tak bermyelin. Kehilangan selaput myelin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang.
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan. Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah nafas tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan Pada serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada tangan tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa juga menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian mendadak. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi olehrespon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnyayang paling sering infeksi virus.
Akson mielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibandingkan akson tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielinpada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

WOC (Web Of Caution)

Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset, meliputi adanya ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf



Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, responsa utoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vaskular

Proses dimielisasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf

Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

Gangguan fungsi saraf kranial III, IV, V, VI, VII, IX, dan X

Gangguan saraf perifer dari neuromuskuler

Disfungai otonom

Paralisis pada okular wajah dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan

Parestenia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, ysng dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah

Paralis lengkap, otot pernapasan terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan

Kurang bereaksi sistem saraf simpatis dan parasimpatis, perubahan sensori

Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan

Kelemahan fisik umum, paralisis otot wajah

Resti gagal pernapasan (ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mukus

Gangguan frekuensi jantung & ritme, perubahan TD (hipertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan vasomotor

4. Resti defisit cairan tubuh
5. Resti pemenuhan nutrisi kurangdari kebutuhan tubuh


Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah

Penurunan curah jantung ke otan dan jantung

6. Gangguan pemenuhan ADL
7. kerusakan mobilitas fisik
8. Gangguan konsep diri (gambaran diri)

1.       Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

2. Ketidakefektifan pola napas

3. Resti punurunan perfusi perifer

Sekresi mukus masuk lebih ke bawah jalan napas

Gagal fungsi pernapasan

Penurunan curah jantung ke ginjal

Resti infeksi saluran napas bawah dan parenkim paru

Pneumonia

Koma

Kematian

Penurunan filtrasi glomerulus

Anuna

Gawat Kardiovarkuler

Gagal ginjal akut

Prognosis penyakit kurang baik

9. Kecemasan keluarga
 











































Patofisiologisnya yaitu :
a.       Gangguan sistem saraf perifer yang terjadi di selubung milin sel schawn.
b.      Terjadi proses demielinisasi yang ditandai dengan gejala paralisis atau parese otot mendadak.
c.       Kerusakan axon dapat terjadi
d.      Kerusakan axon dan demielinisasi terjadi karena proses inflamasi.
e.       Radikal bebas dan protease yang dihasilkan oleh macrofage saat masuk ke selubung mielin.
f.       Autoimmun terjadi karena anti bodi yang bersirkulasi masuk dan mengikat antigen dan menempel diatas selubung meilin dan mengaktifkan makrofag
g.      Inflamasi selubung meilin mengakibatkan hantaran impuls terhmbat atau terputus.
h.      Umumnya yang terkena pada bagian Anterior nerve root akan tetapi bagian posterior juga dapat terganggu
i.        Umumnya selubung meilin yang terserang dimulai dari saraf perifer yang paling rendah dan terus ke level yang diatasnya.
j.        Gejala-gejala GBS menghilang setelah serangan autoimmun berhenti.
k.      Kerusakan pada sel body akan mengakibatkn gangguan yang bersifat permanen.
l.        Gangguan berupa sensorik dan motorik serta gangguan respirasi akibat defisit saraf otonom.
m.    Gangguan pada aspek muskuloskeletal
n.      Menurunnya kekuatan otot dari gengguan konduktifitas saraf
o.      Kardiopulmonal
p.      Menurunnya fungsi otot-otot intercostalis, diafragma sehingga ekspansi thoraks menurun.
q.      Menurunnya kapasitas vital paru
r.        Ventilasi menurun
s.       Saraf Otonom
t.        Gangguan dapat mencapai n. vagus seingga terjadi gangguan parasimpatis
u.      Meningkatnya tekanan darah
v.      Keringat berlebihan
w.    Sensorik
x.      Gangguan sensasi (baal, kesemutan, nyeri dan lain-lain)

Gejala Klinis
Gejala klinis dapat ditegakkan dibagi menjadi 4 yaitu:
1.      Gejala Fisis, diantaranya yaitu :
a.       Kelemahan motorik yang progresif pada lebih dari satu tungkai.
b.      Hiporefleksia atau arefleksia.
2.      Gejala Pendukung
a.       Peninggian protein pada cairan serebrospinal setelah seminggu gejala.
b.      Kelemahan motorik yang progresif dalam sehari sampai 4 minggu
c.       Kelemahan motor statis antara waktu 2- 4 minggu.
d.      Kelemahan motor relatif yang simetris
e.       Kelainan sensoris
f.       Kelainan saraf pusat
g.      Penyembuhan kembali sesudah 2-4 minggu setelah masa plateau
h.      Disfungsi autonomik
i.        Tidak ada demam
j.        Elektrodiagnostik abnormal
3.      Gejala Yang Mungkin Didapat (Vakultatif), diantaranya yaitu:
a.       Demam
b.      Hilang sensori nyeri
c.       Progres lebih dari 4 minggu
d.      Terjadinya defisit residual permanen
e.       Paralisis kandung kemih yang transier
f.       Pengaruh pada susunan saraf pusat
4.      Diagnosa Yang Harus Dikesampingkan, tidak terdapat bukti :
a.       Porpiria
b.      Intoksikasi logam
c.       Polio
d.      Botulismus
e.       Tidak terdapat riwayat keracunan heksakarbon
f.       Gejala-gejala bukan sensoris murni
g.      Organofosfat
h.      Paralisistik
i.        Infeksi difteri
j.        Neuropati toksik
Gejala awal dari GBS adalah didahului oleh nafas tersumbat yang datang secara tiba-tiba seperti hidung yang sedang kena pilek, tapi pilek yang kering. Karena nafas terganggu tidak lama akan terasa gelisah dan disusul oleh kesemutan pada kedua tangan. Pusing seperti terhuyung-huyung. Mulut terasa asam. Badan lemas, sesekali terasa dingin di telapak masih tersa 2-3 hari setelah kejadian. Rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dan lain-lain). Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi. Dan juga ada gangguan saraf otak pada nervus VII, IX dan X dan juga ekstraokular, bilateral. Dan terakhir bisa menyebabkan disfungsi saraf otonom (hipotensi atau hipertensi) dan aritmia jantung.

Komplikasi
Pada pasien GBS jika tidak ditangani dengan segera maka akan menjadikan komplikasi pada pasien tersebut yaitu seperti :
a.       Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
b.      Tetraparese oleh karena penyebab lain
c.       Hipokalemia.
d.      Dekubitus.
e.       Gagal nafas dan masalah yang berhubungan dengan gangguan ventilator.
f.       Aspirasi cairan gaster dan kemudian dapat terjadi pneumonia. Dikarenan HCl lambung tinggi maka membuat pasien mual ataupun muntah dan saat terjadi aspirasi dan saraf pada epiglotis tidak bisa bekerja dengan baik karena terjadi kelumpuhan maka membuat cairan asam lambung masuk ke paru-paru sehingga mengakibatkan pneumonia.
g.      Bacterial pneumonia.
h.      Thrombosis vena dalam dan embolus pulmonal.
i.        Cardiac arrhythmia.
j.        Hipotensi.
k.      Sepsis.
l.        Kolaps pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian.

Tahapan Perkembangan GBS
Enam puluh persen dari pasien guillan barre dilaporkan adanya infeksi demam yang ringan, biasanya merupakan infeksi pernafasan atau gastrointestinal (lebih sedikit) yang terjadi 2 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala guillan barre.
Ada 3 tahapan GBS yaitu:
1.  Initial onset
     Pada awalnya biasanya muncul gejala-gejala yang terjadi secara mendadak yaitu adanya:
a.    Parathesia
b.    Nyeri dan atau kekakuan dari anggota badan, yang diikuti dengan kelemahan anggota badan.
     Pasien-pasien ini tidak hanya menderita kelemahan dan parathesia, namun juga terjadi kelembekan dan nyeri otot. Hal ini seperti apabila kita tidur dengan tangan tertekan sepanjang malam sehingga saat kita bangun tangan kita terasa kaku, parathesia, terasa lumpuh dan nyeri.
     Pasien mungkin tidak menjadi lebih buruk dan hanya menderita guillain barre syndrom ringan, namun bagaimanapun juga tahap ini dapat terjadi sampai 3 minggu dan pasien menjadi semakin lemah yang mengakibatkan:
a.    Arefleksia
b.    Menurunnya atau tidak berfungsinya diafragma dan otot-otot interkostae.
c.    Hilangnya sensasi secara total.
d.   Quadraplegia penuh.
2.  The plateau stage atau tahap mendatar
     Pada tahap ini tidak terjadi kemerosotan ataupun penambahan gejala. Tahap ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
3.  Recovery stage atau tahap penyembuhan
     Terjadi remyelinisasi dan penambahan konduksi. Ini dapat terjadi dari 4 bulan sampai 3 tahun.

Uji Diagnostik
1.      Riwayat pasien
Riwayat pasien merupakan hal yang sangat penting. Perlu dicatat tidak adanya demam pada 2-3 minggu sebelumnya.
2.  Lumbal fungsi
Adanya kenaikan protein dalam cairan serebrospinal namun tidak ditemukan peningkatan leukosit
2.      Test fungsi paru
Dilihat kapasitas vital parunya, cek setiap jam untuk melihat adanya kelemahan. Jika kapasitas vital menurun sampai 20 mls/kg atau 1,5 liter pindahkan pasien ke ICU.
3.      Gambaran kondusif syaraf
Terlihat adanya penurunan pada kecepatan konduksi syaraf-syaraf.
4.      Elektromyelogram
Pada rekaman elektromyelogram, kontraksi otot-otot dihasilkan dari rangsangan listrik, tidak adanya kontraksi menandakan hilangnya lapisan myelin.

Diagnostik Banding
Pada saat mendiagnosa adanya GBS, dokter perlu membandingkan penyakit ini dengan penyakit:
a.       Diabetes neuropati
b.      Poliomyelitis
c.       Multiple disc prolapse
d.      Progressive recurrent polyneuropati
e.       Alkoholik
f.       Terkena bahan-bahan yang berbahaya seperti logam berat, racun dan lain-lain (penyakit-penyakit di atas sering memiliki gambaran klinis yang hampir sama dengan GBS).

Tes GBS
Bila anda History dan Diagnosa awal dokter syaraf tersebut juga menyimpulkan ada gejala GBS, maka anda akan disuruh melakukan test yaitu:
1. Lumbar puncture atau Spinal tap. Anda akan disuruh duduk miring dan lutut anda ditekuk. kemudian cairan tulang belakang anda akan diambil, sedikit sakit pada saat ditusuk tapi hanya sebentar. Cairan ini akan ditest di lab untuk mengetahui hasilnya apakah anda positive GBS atau tidak.
2. Jika dokter masih ragu, mungkin akan diikuti lagi dengan Nerve function tests. Ada 2 test untuk ini.
2a. Electromyography. atau sering juga disebut dengan test EMG ini adalah untuk melihat apakah kesalahan terjadi pada otot atau syaraf. Otot anda akan dimasukkan jarum elektroda yang dihubungkan ke komputer, kemudian komputer akan membaca perubahan perubahan listrik yang terjadi pada pergerakan otot anda pada berbagai keadaan, baik pada saat otot istirahat maupuan pada saat ada aktifitas.
2b. Nerve conduction velocity adalah test untuk melihat kecepatan hantaran saraf. Komputer akan menghitung lama proses hantaran kecepatan saraf dari satu elektroda ke elektroda lainnya.

Pengobatan
Pengobatan Spesifik adalah dengan Plasmas exchange (plasmapheresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan atau gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari sistem imun) yang menyerang dan merusak lapsian myelin dan saraf-saraf perifer. Tidak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini, namun umumnya sekitar 3 – 5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi 4 – 5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan faktor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3 – 5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai hari kelima maka terap atau tindakan ini tidak diulangi.
Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator. Masalah yang timbul dengan tindakan penggantian plasma antara lain:
a.       Biayanya mahal
b.      Dapat menyebabkan hipotensi, arrythmia, hematoma, thrombus dan komplikasi yang mengarah terjadinya sepsis.
c.       Membutuhkan perawat yang terampil.
2.  Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut-turut.
3.  Perawatan Supportif
1. Respirasi yaitu :
a.    Monitor ketat frekuensi dan pola nafas
b.    Monitor oksimetri dan AGD
c.    Pernafasan mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik
2. Kardio Vaskular yaitu :
a.    Monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR)
b.    Monitor tekanan darah (blood pressure)
3. Cairan, elektrolit dan nutrisi.
4. Sedative dan analgsik.
5. Perawatan secara umum yaitu :
a.    Physioterapi
b.    Perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan.
c.    Pertahankan ROM sendi.
d.   Pertahankan fungsi paru.
e.    Kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
f.     Pencegahan terhadap tromboemboli.
g.    Pemberian antidepressan jika pasien depresi.

Pengkajian
1.       Identitas Pasien : kejadian terbanyak di derita oleh usia rata-rata 23,5 tahun, dan juga terjadi ketika pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan.
2.       Keluhan utama :
Data Subjektif : Mengeluh pusing dan sakit kepala, Panas dingin, Ekstremitas lemas dan kesemutan, Kaki baal seperti memakai kaos kaki, Takut bila ingin berdiri, Jongkok susah berdiri, Merasa cemas takut tak sembuh, Agak sesak nafas, Tidur susah dan gelisah, Susah menelan dan tenggorokan sakit
Data Objektif : Suhu badan 380 C, Badan diraba terasa dingin, Pucat, Empat ekstremitas lemas atau paralisis, Pernafasan tidak teratur, Pasien pasif, Takikardi, Tekanan darah meningkat dan berfluktuasi, Flushing karena gangguan vasomotor, Hypersekresi saliva dan bronkhus, Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
3.       Riwayan penyakit dahulu : predisposis keluhan sekarang meliputi pernah terjadi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), infeksi gastrointestinal, dan tindakan pembedahan. Atau pemakaian obat-obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).
4.       Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi atau kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
5.       Pengkajian Psikososial : gunanya untuk memperoleh persepsi yang jelas menganai status emosi, kognitif dan perilaku klien. Dan juga koping pasien dalam menilai respon emosi terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran klien danlam keluarga dan masyarakat. Apakah timbul ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra tubuh.
2.1.       Pemeriksaan Fisik
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien GBS adalah :
1)      Pemeriksaan 6B
a.       B1 (Breathing).
Inspeksi : didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan karena pada GBS biasanya terjado penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi : biasanya taktil permitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti ronkhi berhubungan dengan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.  Kesulitan bernafas atau sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital atau paru, reflek batuk turun.
b.      B2 (Blooding).
Pada pasien dengan GBS menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c.       B3 (Brain).
Pada pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Biasanya pasien dengan GBS mengalami kesadaran komposmetis, sehingga untuk menilainya kita bisa melakukan penilaian GCS untuk menilai tingkat kesadaran dan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Dan biasanya pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengakajian Saraf Kranial. Yang meliputi pengkajian saraf kranial I-XII yaitu :
a)      Saraf I. Tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b)      Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c)      Saraf III, IV dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis okular.
d)     Saraf V. Biasanya pada klien GBS didapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
e)      Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
f)       Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.
g)      Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
h)      Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
i)        Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian Reflek. Pemeriksaan reflek propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.
Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

d.      B4 (Bladder).
Biasanya didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e.       B5 (Bowel).
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f.       B6 (Bone).

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
  1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Kriteria : secara subyektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 x/menit. Tidak menggenakan otot bantu napas, gerakan dada normal.
Intevensi :
a.       Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori dan peningkatan frekuensi nadi.
b.      Evaluasi keluhan sesak napas, baik secara verbal dan nonverbal.
c.       Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan.
d.      Kolaborasi : pemberian humidifikasi oksigen 3 liter/menit.
Rasional :
a.       Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar intervensi selanjutnya.
b.      Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan ireguler, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardia dan perubahan pola napas.
c.       Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan ke arah kemunduran, yang mengindikasi ke arah buruknya kekuatan otot-otot pernapasan.
d.      Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektifdapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital karena kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
e.       Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi lanjut metabolisme sedang meningkat.
2.      Resiko Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan Perubahan Frekuensi, Irama dan Konduksi Elektrikel.
            Tujuan : Penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria : Stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal, curah jantung kembali meningkat, input dan output sesuai, tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia).
Intervensi:
a.       Kaji tekanan darah. Bandingan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri jika memungkinkan.
b.      Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi.
c.       Catat murmur.
d.      Pantau frekuensi jantung dan irama.
e.       Kolaborasi : Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
Rasional :
a.       Hipotensi dapat terjaid sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum sampai dengan nyeri cemas pengeluaran katekolamin.
b.      Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi.
c.       Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung (kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar).
d.      Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia.
e.       Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah.
3.      Resiko Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan Dengan Asupan Yang Tidak Adekuat.
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria : Setelah dirawat selama 3 hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi.
Intervensi :
a.       Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
b.      Monitoring komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis.
c.       Berikan nutrisi via selang nasogastrik.
d.      Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang.
Rasional :
a.       Perhatian yang diberikan utnuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan.
b.      Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat memantau bising usus sampai terdengar.
c.       Jika tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung.
d.      Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.
4.      Hambatan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Kerusakan Neuromuskular, Penurunan Kekuatan Otot, dan Penururnan Kesadaran
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat atau teradaptasi.
Kriteria : Peningkatan kemampuan dan tidak terjadi trombosis vena profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis, yang tidak mampu menggerakkan ekstremitas, dan dekubitus tidak terjadi.
Intervensi:
a.       Kaji tingkan kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik.
b.      Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan kien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
c.       Hindari faktor yang memungkinkan terjadinya truma pada saat klien melakukan mobilisasi.
d.      Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis.
e.       Monitor komplikasi hambatan mobilitas fisik.
f.       Kolaborasi dengan tim fisioterapis.
Rasional :
a.       Merupakan data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya.
b.      Bila pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari disfungsi autonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong mereka mengambil posisi duduk tegak.
c.       Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering saraf  ulnar dan perineal. Bantalan dapat ditempatkan di siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini.
d.      Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang gerak secara pasifpaling sedikit 2 kali sehari.
e.       Deteksi dini trombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat, penanganan lebih mudah dilaksanakan.
f.       Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak.
  1. Ansietas Berhubungan Dengan Ancaman, Kondisi Sakit, Dan Perubahan Kesehatan
Tujuan : Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria : Mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang atau hilang.
Intervensi :
a.       Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut.
b.      Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas, dampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
c.       Hindari konfrontasi.
d.      Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
e.       Tingkatkan kontrol sensasi klien.
f.       Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
g.      Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
h.      Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.
Rasional :
a.       Ansietas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
b.      Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.
c.       Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat penyembuhan.
d.      Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
e.       Kontrol sensasi klien dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons balik yang positif.
f.       Orientasi dapat menurunkan ansietas.
g.      Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
h.      Memberikan waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan akan menurunkan perasaan terisolasi.
6.      Koping Individu dan Keluarga Tidak Efektif Berhubungan Dengan Prognosis Penyakit Yang Tidak Jelas, Perubahan Peran Keluarga, Dan Status Sosioekonomi Yang Tidak Jelas.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan koping individu kembali efektif.
Kriteria : Ekspresi wajah klien rileks dan menerima penjelasan yang diberikan. Klien kooperatif dengan program pengobatan dan perawatan.
Intervensi :
a.       Kaji mekanisme koping yang klien gunakan.
b.      Lakukan pendekatan terapeutik dalam mengkaji koping yang klien gunakan.
c.       Anjurkan pemilihan koping yang positif.
d.      Berikan dukungan moral.
e.       Diskusikan secara rasional pentingnya tindakan pengobatan dan perawatan yang akan diberikan.
f.       Evaluasi mekanisme kpping yang dipakai setelah dilakukan tindakan.
Rasional :
a.       Intervensi awal bisa mencegah distress psikologis pada klien.
b.      Pendekatan yang baik dapat membantu menggali lebih jauh kemampuan klien dalam mencari mekanisme koping yang akan digunakan.
c.       Mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah terjadinya kecemasan tambahan.
d.      Menambah rasa percaya diri klien akan koping yang akan digunakan.
e.       Teknik pengalihanyang secara rasional membantu klien memilih sendiri koping positif yang digunakan.
f.       Pemantauan sederhana terhadap kemampuan klein dalam memiih mekanisme koping yang telah digunakan.
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBAT EMERGENCY

OBAT EMERGENCY DENGAN PENGGUNAAN SYIRINGE PUMP Obat emergency merupakan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Sebaiknya disiapkan dan disediakan ditempat yang mudah terjangkau dan pemberiannya berdasarkan pada keadaan pasien tersebut. Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W dimana yang dimaksud adalah (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. Berikut yang termasuk obat-obatan yang sering diberikan secara berkesinambungan adalah adrenalin, dopamin, dobutamin, herbesser . Pemberian obat yang tidak dirancang dengan benar dapat berakibat fatal atau tidak berkhasiat sama sekali. PRINSIP PEMBERIAN Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. PERHITUNGAN OBAT :  Pasien dengan BB 50Kg, mendapatkan terapi dopamin dengan dosis 5mcg/Kg/Menit. Sediaan dopamin yan

Pemeriksaan fisik sistem pernapasan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERNAPASAN (B1) INSPEKSI 1.     Wawancara pasien terkait keluhan sesak napas, nyeri dada ,  batuk, pengeluaran sputum dan batuk darah. Adapun masing – masing pemeriksaan akan dijelaskan sebagai berikut : a.     Derajat Sesak Nafas Derajat Sesak Keluhan Sesak Derajat I Sesak bila aktivitas berat, aktivitas sehari-hari baik Derajat II Sesak bila naik tangga Derajat III Aktivitas sehari-hari terasa sesak Derajat IV Pekerjaan ringan terasa sesak, istirahat tidak sesak Derajat V Istirahat tetap sesak (hidup tergantung O 2 ) b.     Nyeri dada Keluhan Nyeri Dada Kemungkinan Diagnosis Nyeri Dada Mendadak  Peny. Jantung   Pneumotoraks Nyeri Seperti Ditusuk Pleuritis Peny. Jantung  (Angina) Pneumotoraks Nyeri Dada Rasa Keme

PENGAJUAN KEANGGOTAAN HIPGABI JAWA TIMUR

Kepada Yth. Sejawat perawat Gawat Darurat Di Jawa Timur Assalamualaikum wr wb Bapak ibu dulur yang akan mengajukan keanggotaan HIPGABI , kini sudah dapat mengisi data data di link  bit.ly/form-anggota-hipgabi . Adapun syarat data yang harus anda lengkapi sebelum klik link adalah : 1. NIRA 2. Alamat dan nomor ponsel 3. Foto 3x4 pakaian resmi Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih HIPGABI # Bersatu # Berkualitas # Sejahtera Berikut adalah daftar pengajuan yang akan diproses beserta keterangannya No Nama Nira Institusi KET 1 Yudisa Diaz Lutfi Sandi, Ns., M.Kep 35210213331 Akper Pemkab Ngawi LENGKAP 2 Rizky Fajar Bahtiar,S.St 35730327236 Rumah Sakit Universitas Brawijaya LENGKAP 3 Khotimah, S. Kep., Ns., M. Kes 35170232243 Unipdu Jombang LENGKAP 4 Guruh Wirasakti, S.Kep.,Ns.,M.Kep. 35730479034 STIKES dr. Soebandi Jember LENGKAP