Guillain Barré Syndrom
Latar
Belakang
GBS adalah
penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang
biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS
mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca: Gilan) dan Barré
(baca: Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang
mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis
Penyakit ini
menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan
usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih
sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular
lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS.
Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau
tenggorokan.
GBS
adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem sarung saraf.
Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan.
Pada saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah
nafas tersumbat di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan
tubuh sendiri yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah
terjadi kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi
gangguan pada serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak
hanya pada tangan tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah
sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa juga
menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar
saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak. Pada tahun
1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan
kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan
tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal
(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai
disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian.
Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB
selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada
pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan
kecepatan hantar saraf pada EMG.
Penyakit ini terjadi di seluruh
dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekuensi
tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan
kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini
hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun
demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli sanpai dengan Oktober
yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.Insidensi sindroma Guillain-Barre
bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35
tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak
spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian
musim hujan dan kemarau.
Pengertian GBS
GBS
(Guillain Barre Syndrome) merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut
ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh
penyakit yang sistematis. GBS merupakan suatu syndrome klinis yang
ditandai adanya paralisis flasidyang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimmune dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis. (Bosch, 1998)
Sindrom
Guillain Barre adalah suatu penyakit sistem saraf perifer yang ditandai oleh
awitan paralisis otot mendadak. Sindrom ini terjadi akibat serangan autoimun
pada mielin yangmembungkus saraf-saraf perifer. Dengan rusaknya mielin, akson
itu sendiri menjadi rusak. Gejala-gejala sindrom Guillain Barre menghilang
setelah serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila
terjadi kerusakan badan sel selama serangan, maka dapat terjadi ketidakmampuan
yang permanen. Walaupun penyebab sindrom Gillain Barre tidak diketahui,
penyakit ini biasanya timbul 1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunitas.
Pada awalnya yang terkena biasanya adalah otot-otot ekstremitas bawah, dengan
paralisis berkembang ke atas. Otot-otot pernapasan dapat terkena sehingga
terjadi kolaps pernapasan. Fungsi kardiovaskuler dapat terganggu pada fungsi
saraf otonom (Elizabeth J. Corwin, 1996).
Sindrom
Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditujukan oleh onset akut dari gejala-gejala yang
mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan
degenerasi selapur mielin dari saraf perifer dan kranial (Sylvia A. Price dan
Lorraine M. Wilson, 1995).
GBS adalah
penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang
biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun.
GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem sarung
saraf. Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran
pernapasan GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca: Gilan) dan
Barré (baca: Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916
yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Anatomi
Fisiologi
Setiap
saraf terdapat sel-sel yang membentuknya, sel-sel pada sistem saraf terdiri
dari :
1. Neuron
Neuron merupakan unit
fungsional sitem saraf yang terdiri dari badan sel dan perpanjangan sitoplasma.
Neuron ini terdiri dari komponen-kompunen yaitu:
a. Badan
sel.
b. Akson.
c. Dendrit.
2. Sel
Neuroglial
3. Sistem
komunikasi sel
Menurut anatomi
pembagian sistem saraf dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Sistem Saraf Pusat (Central Nervous System: CNS), dibagi menjadi 2 komponen
yaitu :
a.
Medula Spinalis (sumsum tulang belakang)
b.
Otak (Otak besar, otak kecil, batang otak)
2.
Sistem Saraf Tepi (Peripheral Nervous System), sistem saraf ini tugasnya
menyampaikan informasi antara jaringan ke saraf pusat (CNS) dengan cara membawa
signals dari dan ke CNS. dibagi menjadi 2 komponen yaitu :
a.
Susunan Saraf Somatic. Yaitu susunan saraf yang mempunyai peranan spesifik
untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang.
b. Susunan Saraf
Otonom, susunan saraf ini dibagi menjadi 2 :
1) Susunan Saraf Simpati. Terletak di
depan kolumna vertebra dan berhubungan dengan sumsum tulang belakang melalui
serabut-serabut saraf. Sistem saraf ini terdiri dari serangkaian urat saraf
yang bermuatan ganglion, ganglion-ganglion tersebut berpasangan dan disebarkan
di daerah-daerah antara lain:
1. Di
daerah leher ada 3 pasang ganglion servikal
2. Di
daerah dada ada 11 pasang ganglion torakal
3. Di
daerah pinggang ada 4 pasang ganglion lumbal
4. Di
daerah pelvis ada 4 pasang ganglion sakral
5. Di
depan koksi ada 1 pasang ganglion koksis
Sistem
saraf simpatis terdiri dari 3 bagian yaitu:
a. kornu
anterior segmen torakalis ke-1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis 1-3 terdapat
rukleus vegetatif yang berisi kumpulan-kumpulan sel saraf simpatis.
b. Trunkus
simpatikus beserta cabang-cabangnya. Disebelah kiri dan kanan vertebra terdapat
barisan ganglion saraf simpatikus, ganglion saraf simpatikus ini disebut
trunkus simpatikus. Bentuk dari sepasang trunkus simpatikus adalah rongga, itu
disebabkan oleh antara saraf simpatis satu dengan yang lain keluar masuk ke
dalam ganglion.
c. Fleksus
simpatikus beserta cabang-cabangnya. Terletak di dalam abdomen, pelvis, toraks
serta di dekat organ-organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis (otonom).
Ganglion
lainnya (simpatis) yang berhubungan dengan rangkaian 2 ganglion besar membentuk
fleksus-fleksus simpatis yaitu:
a. Fleksus
kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan cabangnya ke daerah
tersebut dan paru-paru.
b. Fleksus
seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan mempersarafi organ-organ
dalam rongga abdomen.
c. Fleksus
mesentrikus (fleksus higratrikus) terletak di depan sakrum dan mencapai organ
pelvis.
Fungsi
dari serabut saraf simpatis terdiri dari :
a. Mensarafi
otot jantung.
b. Mensarafi
pembuluh darah dan otot tidak sadar.
c. Mempersarafi
semua alat dalam seperti lambung, pankreas dan usus.
d. Melayani
serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat.
e. Serabut
motorik pada otot tidak sadar.
f. Mempertahankan
tonus semua otot sadar.
2) Susunan Saraf Parasimpatis. Saraf
kranial otonom adalah saraf kranial 3,7,9 dan 10. Saraf ini menghubungkan
serabut parasimpatis dalam perjalanan
keluar dari otak menuju organ-organ yang sebagian dikendalikan oleh
serabut-serabut menuju iris, sehingga dapat merangsang gerakan-gerakan saraf
ke-3 yaitu saraf okulomotorik.
Peran Imunitas Seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum
dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi
antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang
telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit
T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker
dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan
oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf,
untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan
TNF dan komplemen.
Jenis-Jenis
GBS (Guillain Barre Syndrome)
Adapun jenis-jenis GBS ada 3 yaitu
:
a.
AIDP (Acute Inflamatorry Demyelinating
Polyradiculoneuropathy)
b.
AMSAN (Acute Motor Sensory Axonal
Neuropathy)
c.
AMAN (Acute Motor Axonal Neuropathy)
Guillain
Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk
membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit
yaitu :
1. Guillain
barre syndrome (GBS). Fase progresif sampai 4 minggu
2. Subakut
idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP). Fase progresif dari 4-8 minggu. Gejala
klinis :
a. Terutama motorik
b. Relative ringan
tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas
1)
Neurofisiologi : demyelinisasi
2)
Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag
2. Cronic
inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP)
Fase progresif > 12
minggu. Dibagi dalam 2 bentuk yaitu :
a.
Idiopathic CIDP (CIDP – 1)
b.
CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)
Etiologi
Sampai
saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi
bahan perdebatan. GBS diduga disebabkan oleh infeksi virus, tahap akhir-akhir
ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang
adalah suatu kelainan imunologik, baik secara primariimmune response maupun
mediated process.
Sedangkan
etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena:
a. Infeksi
: misal radang tenggorokan atau radang lainnya
b. Infeksi
virus : measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster,
Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
c. Vaksin
: rabies, swine flu
d. Infeksi
yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,
campylobacter jejuni
e.
Keganasan : Hodgkin’sdisease,
carcinoma, lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodi yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibodi yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.
Patofisiologi
Konduksi se-sel secara normal yaitu Sel
saraf terbentuk dari sebuah badan sel yang dikelilingi dendrit-dendrit, dan
sebuat axon yang terdapat sepanjang tubuh sel yang berakhir pada ujung axon
(lihat gambar). Sel-sel schwan terletak diantara atau interval sepanjang axon
dan membran sel tersebut membungkus sekeliling axon dari lapisan myelin.
Nodes of Ranvier (ruangan-ruangan
diantara lapisan-lapisan) memiliki konduksi yang cepat sepanjang axon.
Perubahan kimia listrik terjadi tidak hanya pada nodes tersebut namun juga
sepanjang axon.
Pada GBS, selaput myelin yang
mengelilingi axon hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena
banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hypoksia, toksik kimia,
insufisiensi vaskular dan reaksi imunologi demyelinisasi adalah respon yang
umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan. Axon bermyelin
mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding axon tak bermyelin. Kehilangan
selaput myelin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan
transmisi impuls saraf dibatalkan.
Penyakit ini
timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya
pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang
terserang.
Karena
banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem
kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
mengeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak
diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti
menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
Pada
umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi influenza saluran pernapasan. Pada
saat inilah kita merasa nafas tersumbat seperti orang Flu. Setelah nafas tersumbat
di dalam tubuh terjadi reaksi autoimun, yakni sistem kekebalan tubuh sendiri
yang menyerang bagian dari ujung ujung saraf. Pada saat inilah terjadi
kesemutan. Karena kesemutan atau Parestesia itu timbul bila terjadi gangguan
Pada serabut saraf. Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada
tangan tetapi bisa menjalar ke kaki hingga ke perut.
Itulah
sebabnya penyakit GBS ini bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa juga
menyebabkan kematian apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar
saraf di leher sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi olehrespon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnyayang paling sering infeksi virus.
Akson
mielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat dibandingkan akson tidak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan
cairan ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga
konduksi menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan
cepat banyak pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut
bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori)
dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielinpada Sindrom Guillain Barre membuat
konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
WOC
(Web Of Caution)
Faktor-faktor predisposisi
terjadi 2-3 minggu sebelum onset,
meliputi adanya ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf
|
Selaput mielin hilang
akibat dari respons alergi, responsa utoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan
insufisiensi vaskular
|
Proses dimielisasi
|
Konduksi saltatori tidak
terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf
|
Gangguan
fungsi saraf perifer dan kranial
|
Gangguan fungsi saraf kranial
III, IV, V, VI, VII, IX, dan X
|
Gangguan saraf perifer dari
neuromuskuler
|
Disfungai
otonom
|
Paralisis pada okular wajah
dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan
|
Parestenia (kesemutan kebas)
dan kelemahan otot kaki, ysng dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh dan otot wajah
|
Paralis lengkap, otot
pernapasan terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan
|
Kurang bereaksi sistem saraf
simpatis dan parasimpatis, perubahan sensori
|
Gangguan pemenuhan nutrisi
dan cairan
|
Kelemahan fisik umum, paralisis
otot wajah
|
Resti gagal pernapasan
(ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mukus
|
Gangguan frekuensi jantung
& ritme, perubahan TD (hipertensi transien, hipotensi ortostatik), dan
gangguan vasomotor
|
4. Resti defisit cairan tubuh
5. Resti pemenuhan nutrisi
kurangdari kebutuhan tubuh
|
Penurunan tonus otot seluruh
tubuh, perubahan estetika wajah
|
Penurunan curah jantung ke otan
dan jantung
|
6. Gangguan pemenuhan ADL
7. kerusakan mobilitas fisik
8. Gangguan konsep diri
(gambaran diri)
|
1. Ketidak
efektifan bersihan jalan nafas
|
2. Ketidakefektifan pola
napas
|
3. Resti punurunan perfusi
perifer
|
Sekresi mukus masuk lebih ke
bawah jalan napas
|
Gagal fungsi pernapasan
|
Penurunan curah jantung ke
ginjal
|
Resti infeksi saluran napas
bawah dan parenkim paru
|
Pneumonia
|
Koma
|
Kematian
|
Penurunan filtrasi glomerulus
|
Anuna
|
Gawat Kardiovarkuler
|
Gagal ginjal akut
|
Prognosis penyakit kurang
baik
|
9. Kecemasan keluarga
|
Patofisiologisnya yaitu :
a. Gangguan sistem saraf perifer yang
terjadi di selubung milin sel schawn.
b. Terjadi proses demielinisasi yang
ditandai dengan gejala paralisis atau parese otot mendadak.
c. Kerusakan axon dapat terjadi
d. Kerusakan axon
dan demielinisasi terjadi karena proses inflamasi.
e. Radikal bebas
dan protease yang dihasilkan oleh macrofage saat masuk ke selubung mielin.
f. Autoimmun terjadi karena anti bodi
yang bersirkulasi masuk dan mengikat antigen dan menempel diatas selubung
meilin dan mengaktifkan makrofag
g. Inflamasi selubung meilin
mengakibatkan hantaran impuls terhmbat atau terputus.
h. Umumnya yang terkena pada bagian
Anterior nerve root akan tetapi bagian posterior juga dapat terganggu
i.
Umumnya
selubung meilin yang terserang dimulai dari saraf perifer yang paling rendah
dan terus ke level yang diatasnya.
j.
Gejala-gejala
GBS menghilang setelah serangan autoimmun berhenti.
k. Kerusakan pada sel body akan
mengakibatkn gangguan yang bersifat permanen.
l.
Gangguan
berupa sensorik dan motorik serta gangguan respirasi akibat defisit saraf
otonom.
m. Gangguan pada aspek muskuloskeletal
n. Menurunnya kekuatan otot dari
gengguan konduktifitas saraf
o. Kardiopulmonal
p. Menurunnya fungsi otot-otot
intercostalis, diafragma sehingga ekspansi thoraks menurun.
q. Menurunnya kapasitas vital paru
r.
Ventilasi
menurun
s. Saraf Otonom
t.
Gangguan
dapat mencapai n. vagus seingga terjadi gangguan parasimpatis
u. Meningkatnya tekanan darah
v. Keringat berlebihan
w. Sensorik
x. Gangguan sensasi (baal, kesemutan,
nyeri dan lain-lain)
Gejala
Klinis
Gejala klinis dapat ditegakkan dibagi
menjadi 4 yaitu:
1. Gejala
Fisis, diantaranya yaitu :
a. Kelemahan
motorik yang progresif pada lebih dari satu tungkai.
b. Hiporefleksia
atau arefleksia.
2. Gejala
Pendukung
a. Peninggian
protein pada cairan serebrospinal setelah seminggu gejala.
b. Kelemahan
motorik yang progresif dalam sehari sampai 4 minggu
c. Kelemahan
motor statis antara waktu 2- 4 minggu.
d. Kelemahan
motor relatif yang simetris
e. Kelainan
sensoris
f. Kelainan
saraf pusat
g. Penyembuhan
kembali sesudah 2-4 minggu setelah masa plateau
h. Disfungsi
autonomik
i.
Tidak ada demam
j.
Elektrodiagnostik abnormal
3.
Gejala Yang Mungkin Didapat (Vakultatif),
diantaranya yaitu:
a.
Demam
b.
Hilang sensori nyeri
c.
Progres lebih dari 4 minggu
d.
Terjadinya defisit residual permanen
e.
Paralisis kandung kemih yang transier
f.
Pengaruh pada susunan saraf pusat
4.
Diagnosa Yang Harus Dikesampingkan,
tidak terdapat bukti :
a.
Porpiria
b.
Intoksikasi logam
c.
Polio
d.
Botulismus
e.
Tidak terdapat riwayat keracunan
heksakarbon
f.
Gejala-gejala bukan sensoris murni
g.
Organofosfat
h.
Paralisistik
i.
Infeksi difteri
j.
Neuropati toksik
Gejala awal dari GBS adalah didahului
oleh nafas tersumbat yang datang secara tiba-tiba seperti hidung yang sedang
kena pilek, tapi pilek yang kering. Karena nafas terganggu tidak lama akan
terasa gelisah dan disusul oleh kesemutan pada kedua tangan. Pusing seperti
terhuyung-huyung. Mulut terasa asam. Badan lemas, sesekali terasa dingin di
telapak masih tersa 2-3 hari setelah kejadian. Rasa seperti ditusuk-tusuk jarum
diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki
terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan
tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka
kaleng dan lain-lain). Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu
beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah
menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena
gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap
berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya kaki susah
melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf
refleks lengan telah hilang fungsi. Dan juga ada gangguan saraf otak pada
nervus VII, IX dan X dan juga ekstraokular, bilateral. Dan terakhir bisa
menyebabkan disfungsi saraf otonom (hipotensi atau hipertensi) dan aritmia
jantung.
Komplikasi
Pada
pasien GBS jika tidak ditangani dengan segera maka akan menjadikan komplikasi
pada pasien tersebut yaitu seperti :
a. Polinneuropatia
terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
b. Tetraparese
oleh karena penyebab lain
c. Hipokalemia.
d. Dekubitus.
e. Gagal
nafas dan masalah yang berhubungan dengan gangguan ventilator.
f. Aspirasi
cairan gaster dan kemudian dapat terjadi pneumonia. Dikarenan HCl lambung
tinggi maka membuat pasien mual ataupun muntah dan saat terjadi aspirasi dan
saraf pada epiglotis tidak bisa bekerja dengan baik karena terjadi kelumpuhan
maka membuat cairan asam lambung masuk ke paru-paru sehingga mengakibatkan
pneumonia.
g. Bacterial
pneumonia.
h. Thrombosis
vena dalam dan embolus pulmonal.
i.
Cardiac arrhythmia.
j.
Hipotensi.
k. Sepsis.
l.
Kolaps pernapasan atau kardiovaskuler
dapat menyebabkan kematian.
Tahapan
Perkembangan GBS
Enam
puluh persen dari pasien guillan barre dilaporkan adanya infeksi demam yang
ringan, biasanya merupakan infeksi pernafasan atau gastrointestinal (lebih
sedikit) yang terjadi 2 minggu sebelum timbulnya gejala-gejala guillan barre.
Ada
3 tahapan GBS yaitu:
1. Initial onset
Pada awalnya biasanya muncul gejala-gejala yang terjadi secara mendadak yaitu
adanya:
a. Parathesia
b. Nyeri
dan atau kekakuan dari anggota badan, yang diikuti dengan kelemahan anggota
badan.
Pasien-pasien ini tidak hanya menderita kelemahan dan parathesia, namun juga
terjadi kelembekan dan nyeri otot. Hal ini seperti apabila kita tidur dengan
tangan tertekan sepanjang malam sehingga saat kita bangun tangan kita terasa
kaku, parathesia, terasa lumpuh dan nyeri.
Pasien mungkin tidak menjadi lebih buruk dan hanya menderita guillain barre
syndrom ringan, namun bagaimanapun juga tahap ini dapat terjadi sampai 3 minggu
dan pasien menjadi semakin lemah yang mengakibatkan:
a. Arefleksia
b. Menurunnya
atau tidak berfungsinya diafragma dan otot-otot interkostae.
c. Hilangnya
sensasi secara total.
d. Quadraplegia
penuh.
2. The plateau
stage atau tahap mendatar
Pada tahap ini tidak terjadi kemerosotan ataupun penambahan gejala. Tahap ini
dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
3. Recovery stage
atau tahap penyembuhan
Terjadi remyelinisasi dan penambahan konduksi. Ini dapat terjadi dari 4 bulan
sampai 3 tahun.
Uji
Diagnostik
1. Riwayat
pasien
Riwayat pasien merupakan hal yang
sangat penting. Perlu dicatat tidak adanya demam pada 2-3 minggu sebelumnya.
2. Lumbal fungsi
Adanya kenaikan protein dalam
cairan serebrospinal namun tidak ditemukan peningkatan leukosit
2. Test
fungsi paru
Dilihat kapasitas vital
parunya, cek setiap jam untuk melihat adanya kelemahan. Jika kapasitas vital menurun
sampai 20 mls/kg atau 1,5 liter pindahkan pasien ke ICU.
3. Gambaran
kondusif syaraf
Terlihat adanya
penurunan pada kecepatan konduksi syaraf-syaraf.
4. Elektromyelogram
Pada rekaman
elektromyelogram, kontraksi otot-otot dihasilkan dari rangsangan listrik, tidak
adanya kontraksi menandakan hilangnya lapisan myelin.
Diagnostik
Banding
Pada saat mendiagnosa adanya GBS, dokter perlu
membandingkan penyakit ini dengan penyakit:
a. Diabetes
neuropati
b. Poliomyelitis
c. Multiple
disc prolapse
d. Progressive
recurrent polyneuropati
e. Alkoholik
f. Terkena
bahan-bahan yang berbahaya seperti logam berat, racun dan lain-lain
(penyakit-penyakit di atas sering memiliki gambaran klinis yang hampir sama
dengan GBS).
Tes
GBS
Bila
anda History dan Diagnosa awal dokter syaraf tersebut juga menyimpulkan ada
gejala GBS, maka anda akan disuruh melakukan test yaitu:
1.
Lumbar puncture atau Spinal tap. Anda akan disuruh duduk miring dan lutut anda
ditekuk. kemudian cairan tulang belakang anda akan diambil, sedikit sakit pada
saat ditusuk tapi hanya sebentar. Cairan ini akan ditest di lab untuk
mengetahui hasilnya apakah anda positive GBS atau tidak.
2.
Jika dokter masih ragu, mungkin akan diikuti lagi dengan Nerve function tests.
Ada 2 test untuk ini.
2a.
Electromyography. atau sering juga disebut dengan test EMG ini adalah untuk
melihat apakah kesalahan terjadi pada otot atau syaraf. Otot anda akan
dimasukkan jarum elektroda yang dihubungkan ke komputer, kemudian komputer akan
membaca perubahan perubahan listrik yang terjadi pada pergerakan otot anda pada
berbagai keadaan, baik pada saat otot istirahat maupuan pada saat ada
aktifitas.
2b.
Nerve conduction velocity adalah test untuk melihat kecepatan hantaran saraf.
Komputer akan menghitung lama proses hantaran kecepatan saraf dari satu
elektroda ke elektroda lainnya.
Pengobatan
Pengobatan Spesifik adalah dengan
Plasmas exchange (plasmapheresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya
serangan atau gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada
dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi
(merupakan media dari sistem imun) yang menyerang dan merusak lapsian myelin
dan saraf-saraf perifer. Tidak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan
ini, namun umumnya sekitar 3 – 5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan
digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline.
Setiap hari setelah terapi selesai, pasien diberi
4 – 5 unit FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk menggantikan faktor
pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan
dilakukan setiap hari selama 3 – 5 hari dan biasanya berhasil dengan sangat
baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini sampai hari kelima
maka terap atau tindakan ini tidak diulangi.
Tindakan penggantian plasma ini telah
terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi
lamanya pasien menggunakan ventilator. Masalah yang timbul dengan tindakan
penggantian plasma antara lain:
a. Biayanya
mahal
b. Dapat
menyebabkan hipotensi, arrythmia, hematoma, thrombus dan komplikasi yang
mengarah terjadinya sepsis.
c. Membutuhkan
perawat yang terampil.
2. Pemberian immunoglobulin secara
intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg selama 5 hari berturut-turut.
3. Perawatan Supportif
1. Respirasi yaitu :
a. Monitor
ketat frekuensi dan pola nafas
b. Monitor
oksimetri dan AGD
c. Pernafasan
mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik
2. Kardio Vaskular yaitu :
a. Monitor
ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR)
b. Monitor
tekanan darah (blood pressure)
3. Cairan, elektrolit dan nutrisi.
4. Sedative dan analgsik.
5. Perawatan secara umum yaitu :
a. Physioterapi
b. Perawatan
pada bagian-bagian tubuh yang tertekan.
c. Pertahankan
ROM sendi.
d. Pertahankan
fungsi paru.
e. Kultur
urine dan sputum tiap 2 minggu
f. Pencegahan
terhadap tromboemboli.
g. Pemberian
antidepressan jika pasien depresi.
Pengkajian
1. Identitas
Pasien : kejadian terbanyak di derita oleh usia rata-rata 23,5 tahun, dan juga
terjadi ketika pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan.
2. Keluhan
utama :
Data Subjektif : Mengeluh pusing dan sakit kepala,
Panas dingin, Ekstremitas lemas dan kesemutan, Kaki baal seperti memakai kaos
kaki, Takut bila ingin berdiri, Jongkok susah berdiri, Merasa cemas takut tak
sembuh, Agak sesak nafas, Tidur susah dan gelisah, Susah menelan dan
tenggorokan sakit
Data Objektif : Suhu badan 380
C, Badan diraba terasa dingin, Pucat, Empat ekstremitas lemas atau paralisis,
Pernafasan tidak teratur, Pasien pasif, Takikardi, Tekanan darah meningkat dan
berfluktuasi, Flushing karena gangguan vasomotor, Hypersekresi saliva dan
bronkhus, Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Riwayan
penyakit dahulu : predisposis keluhan sekarang meliputi pernah terjadi ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Atas), infeksi gastrointestinal, dan tindakan
pembedahan. Atau pemakaian obat-obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis
antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).
4. Riwayat
keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi atau kelumpuhan, upaya
yang dilakukan selama menderita penyakit.
5. Pengkajian
Psikososial : gunanya untuk memperoleh persepsi yang jelas menganai status
emosi, kognitif dan perilaku klien. Dan juga koping pasien dalam menilai respon
emosi terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran klien danlam keluarga
dan masyarakat. Apakah timbul ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra tubuh.
2.1.
Pemeriksaan
Fisik
Adapun pemeriksaan
fisik yang dilakukan pada pasien GBS adalah :
1) Pemeriksaan
6B
a. B1
(Breathing).
Inspeksi : didapatkan
klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan
karena pada GBS biasanya terjado penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi : biasanya
taktil permitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi
: bunyi napas tambahan seperti
ronkhi berhubungan dengan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas. Kesulitan bernafas atau sesak, pernafasan
abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital atau paru, reflek batuk turun.
b. B2
(Blooding).
Pada
pasien dengan GBS menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.
Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi
transien) akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c. B3
(Brain).
Pada
pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian pada sistem lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran.
Biasanya pasien dengan GBS mengalami kesadaran komposmetis, sehingga untuk
menilainya kita bisa melakukan penilaian GCS untuk menilai tingkat kesadaran
dan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral.
Status mental : observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Dan biasanya pada klien GBS tahap lanjut
disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
Pengakajian Saraf Kranial. Yang
meliputi pengkajian saraf kranial I-XII yaitu :
a) Saraf
I. Tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b) Saraf
II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c) Saraf
III, IV dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis
okular.
d) Saraf
V. Biasanya pada klien GBS didapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu
proses mengunyah.
e) Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
f) Saraf
VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.
g) Saraf
IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi
via oral.
h) Saraf
XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
i)
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada
deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecap normal.
Pengkajian Sistem
Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami
kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian Reflek.
Pemeriksaan reflek propunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat refleks pada respons normal.
Gerakan
Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan
distonia.
Pengkajian Sistem
Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
d. B4
(Bladder).
Biasanya
didapatkan berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5
(Bowel).
Mual
sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot
pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi
berkurang.
f. B6
(Bone).
Penurunan
kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Sehingga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.
- Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal napas.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam setelah
diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Kriteria : secara subyektif sesak napas
(-), frekuensi napas 16-20 x/menit. Tidak menggenakan otot bantu napas, gerakan
dada normal.
Intevensi
:
a. Kaji
fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori dan peningkatan frekuensi nadi.
b. Evaluasi
keluhan sesak napas, baik secara verbal dan nonverbal.
c. Lakukan
pemeriksaan kapasitas vital pernapasan.
d. Kolaborasi
: pemberian humidifikasi oksigen 3 liter/menit.
Rasional
:
a. Menjadi
bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya.
b. Tanda
dan gejala meliputi adanya kesulitan bernapas saat bicara, pernapasan dangkal
dan ireguler, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardia dan perubahan pola
napas.
c. Ventilasi
mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan ke arah kemunduran, yang mengindikasi ke arah buruknya kekuatan
otot-otot pernapasan.
d. Kapasitas
vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan
yang tidak efektifdapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital karena
kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan
kesulitan saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi
pernapasan.
e. Membantu
pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi lanjut
metabolisme sedang meningkat.
2. Resiko
Tinggi Penurunan Curah Jantung Berhubungan Dengan Perubahan Frekuensi, Irama
dan Konduksi Elektrikel.
Tujuan : Penurunan curah jantung
tidak terjadi
Kriteria : Stabilitas hemodinamik baik
(tekanan darah dalam batas normal, curah jantung kembali meningkat, input dan
output sesuai, tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia).
Intervensi:
a. Kaji
tekanan darah. Bandingan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk,
atau berdiri jika memungkinkan.
b. Evaluasi
kualitas dan kesamaan nadi.
c. Catat
murmur.
d. Pantau
frekuensi jantung dan irama.
e. Kolaborasi
: Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
Rasional
:
a. Hipotensi
dapat terjaid sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum
sampai dengan nyeri cemas pengeluaran katekolamin.
b. Penurunan
curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi.
c. Menunjukkan
gangguan aliran darah dalam jantung (kelainan katup, kerusakan septum, atau
vibrasi otot papilar).
d. Perubahan
frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia.
e. Oksigen
yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah.
3. Resiko
Perubahan Nutrisi : Kurang Dari Kebutuhan Tubuh Berhubungan Dengan Asupan Yang
Tidak Adekuat.
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien
terpenuhi
Kriteria : Setelah dirawat selama 3 hari
klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi.
Intervensi
:
a. Kaji
kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
b. Monitoring
komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis.
c. Berikan
nutrisi via selang nasogastrik.
d. Berikan
nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang.
Rasional
:
a. Perhatian
yang diberikan utnuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena
kurang makanan.
b. Ilius
paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam
kejadian ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter
dan perawat memantau bising usus sampai terdengar.
c. Jika
tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung.
d. Bila
klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat
hati-hati.
4. Hambatan
Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Kerusakan Neuromuskular, Penurunan Kekuatan
Otot, dan Penururnan Kesadaran
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien meningkat atau
teradaptasi.
Kriteria
: Peningkatan kemampuan dan tidak terjadi trombosis vena profunda dan emboli
paru merupakan ancaman klien paralisis, yang tidak mampu menggerakkan
ekstremitas, dan dekubitus tidak terjadi.
Intervensi:
a. Kaji
tingkan kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik.
b. Dekatkan
alat dan sarana yang dibutuhkan kien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
c. Hindari
faktor yang memungkinkan terjadinya truma pada saat klien melakukan mobilisasi.
d. Sokong
ekstremitas yang mengalami paralisis.
e. Monitor
komplikasi hambatan mobilitas fisik.
f. Kolaborasi
dengan tim fisioterapis.
Rasional
:
a. Merupakan
data dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya.
b. Bila
pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostatik
(dari disfungsi autonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk
menolong mereka mengambil posisi duduk tegak.
c. Individu
paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering
saraf ulnar dan perineal. Bantalan dapat
ditempatkan di siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini.
d. Ekstremitas
paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang
gerak secara pasifpaling sedikit 2 kali sehari.
e. Deteksi
dini trombosis vena profunda dan dekubitus sehingga dengan penemuan yang cepat,
penanganan lebih mudah dilaksanakan.
f. Kolaborasi
dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur dengan
menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak.
- Ansietas
Berhubungan Dengan Ancaman, Kondisi Sakit, Dan Perubahan Kesehatan
Tujuan : Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria : Mengenal perasaannya, dapat
mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya dan menyatakan
ansietas berkurang atau hilang.
Intervensi
:
a. Bantu
klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut.
b. Kaji
tanda verbal dan nonverbal ansietas, dampingi klien dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak.
c. Hindari
konfrontasi.
d. Mulai
melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
e. Tingkatkan
kontrol sensasi klien.
f. Orientasikan
klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
g. Beri
kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
h. Berikan
privasi untuk klien dan orang terdekat.
Rasional
:
a. Ansietas
berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya.
b. Reaksi
verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.
c. Konfrontasi
dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama dan mungkin memperlambat
penyembuhan.
d. Mengurangi
rangsangan eksternal yang tidak perlu.
e. Kontrol
sensasi klien dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien,
menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri)
yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respons balik yang positif.
f. Orientasi
dapat menurunkan ansietas.
g. Dapat
menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
h. Memberikan
waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku
adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas
dan pengalihan akan menurunkan perasaan terisolasi.
6. Koping
Individu dan Keluarga Tidak Efektif Berhubungan Dengan Prognosis Penyakit Yang
Tidak Jelas, Perubahan Peran Keluarga, Dan Status Sosioekonomi Yang Tidak
Jelas.
Tujuan
: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan tindakan koping individu kembali
efektif.
Kriteria
: Ekspresi wajah klien rileks dan menerima penjelasan yang diberikan. Klien
kooperatif dengan program pengobatan dan perawatan.
Intervensi
:
a. Kaji
mekanisme koping yang klien gunakan.
b. Lakukan
pendekatan terapeutik dalam mengkaji koping yang klien gunakan.
c. Anjurkan
pemilihan koping yang positif.
d. Berikan
dukungan moral.
e. Diskusikan
secara rasional pentingnya tindakan pengobatan dan perawatan yang akan
diberikan.
f. Evaluasi
mekanisme kpping yang dipakai setelah dilakukan tindakan.
Rasional
:
a. Intervensi
awal bisa mencegah distress psikologis pada klien.
b. Pendekatan
yang baik dapat membantu menggali lebih jauh kemampuan klien dalam mencari
mekanisme koping yang akan digunakan.
c. Mekanisme
koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif
terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah terjadinya kecemasan
tambahan.
d. Menambah
rasa percaya diri klien akan koping yang akan digunakan.
e. Teknik
pengalihanyang secara rasional membantu klien memilih sendiri koping positif
yang digunakan.
f. Pemantauan
sederhana terhadap kemampuan klein dalam memiih mekanisme koping yang telah
digunakan.
Komentar
Posting Komentar