RETENSI URIN
I.
DEFINISI
Retensi
Urine Akut adalah suatu keadaan dimana pasien tidak dapat kencing total yang
disertai dengan rasa tidak enak di abdomen dengan buli yang teraba atau dapat diperkusi
berisi urine lebih dari 150 ml. (Kalejaiye & Speakman,
2009).
Retensi
urin adalah suatu keadaan penumpunkan urine di kandung kemih dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna (Thomas
et al. 2004)
Dari
beberapa definsi diatas maka dapat kita simpulkan bahwa retensi urin adalah
suatu keadaan dimana seorang individu tidak dapat berkemih secara sempurna baik
terjadi secara akut maupun kronis.
Retensi
urin sering dialami oleh pria yang berusia tua dengan usia lebih dari 60 tahun,
sedangkan insidensi pada wanita cenderung lebih jarang. Menurut Kalejaiye
& Speakman (2009) retensi urin pada wanita menunjukkan1 dari 3 wanita akan mengalami retensi
urin. Retensi urin akut adalah kondisi
urologi yang sering bersifat darurat dengan karakteristik tidak dapat
mengeluarkan urin disertai dengan nyeri pada saluran kemih bawah. Retensi urin
sering ditemui di ruang gawat darurat.
II.
KLASIFIKASI
Menurut Newman,(2011). Retensi urin diklasifikasikan menjadi :
1. Retensi urin akut / AUR (Acute
Urinary Retention)
Retensi
urin yang terjadi tiba- tiba atau bersifat. Ditandai perasaan ingin berkemih
namun ada ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih walaupun kandung
kemih dalam keadaan penuh. Retensi urine yang bersifat akut juga dapat ditandai
dengan pancaran berkemih yang kurang dan beberapa pasien ada pula yang mengeluh
nyeri abdomen bawah yang mungkin disebabkan akibat distensi kandung kemih.
Retensi
urin yang bersifat akut ini sering dialami pasien post pembedahan, yang dikenal
dengan isitilah POUR (Post Operation
Urinary Retention). Kondisi retensi urin akut merupakan suatu keadaan
kegawatdaruratan dan harus segera dilakukan bladder dekompresi, karena bila
tidak, akan berkembang menjadi ruptur bladder atau gagal ginjal akut.
2.
Retensi
urin kronis /CUR (Chronic Urinary
Retention)
Retensi
urin kronik adalah ketidak mampuan dalam mengosongkan kandung kemih secara
sempurna yang terjadi secara terus menerus. Pada beberapa kasus, pasien masih
dapat berkemih namun membutuhkan kontraksi otot- otot detrusoor dari bladder
sehingga istilahnya adalah mengejan. Namun ada juga yang sama sekali tidak
dapat mengeluarkan urin. Meskipun dengan residual urin sebanyak 75-100 ml ,
pasien yang mengalami retensi urin kronis tidak mengeluhkan gejala. Keluhan
baru dirasakan pasien setelah terjadi komplikasi seperti hidronefrosis akibat
refluk urin, pyelonephritis, infeksi saluran kemih sampai terjadi insufisiensi
ginjal
.
III.
ETIOLOGI
- Penyebab
retensi urin pada pria
Penyebab
|
Penyakit
|
Obstruktif
|
Benigna prostat
hiperplasia
Kanker prostat
Striktur uretra
Tumor kandung kemih
Konstipasi
|
Neurogenik
|
Cidera medula spinalis
Diabetes mellitus
Sklerosis multiple
Penyakit parkinson
|
Infeksi
|
Prostatitis
Herpes uretra
Abses periuretra
|
Distensi bladder
|
General anestesi
Pembedahan bladder atau
prostat
Intake cairan berlebihan
terutama etil alkohol
Nyeri post operasi
|
Obat – obatan
|
Epidural anestesi
Antikolininergik
: Atropin, Benztropin, Antihistamin, fenotiazin, antidepresan siklik,
ipratropium
Agonis beta :
Isopreteranol, terbutalin
Relaksan
otot detrusor : Nifedipin, Dicyclomine, hyoscyamin oxybutynin, diazepam,
NSAID, Estrogen
Narkotik : Morfin,
Hidromorfon.
|
Sumber : Newman (2011)
- Penyebab
retensi urin pada wanita
Penyebab
|
Penyakit
|
Anatomi
|
Prolaps organ pelvic
Tumor
Konstipasi
|
Neurgenik
|
Cidera medula spinalis
Diabetes mellitus
Sklerosis multiple
Penyakit parkinson
Cidera otak
|
Pembedahan
|
Nyeri post pembedahan
General anestesi
Post lumbar laminectomy
Post Incontinence
surgery
|
Infeksi
|
Genital Herpes
Infeksi saluran kemih
|
Obat – obatan
|
Epidural anestesi
Antikolininergik
: Atropin, Benztropin, Antihistamin, fenotiazin, antidepresan siklik,
ipratropium
Agonis beta :
Isopreteranol, terbutalin
Relaksan
otot detrusor : Nifedipin, Dicyclomine, hyoscyamin oxybutynin, diazepam,
NSAID, Estrogen
Narkotik : Morfin,
Hidromorfon.
|
Sumber : Newman (2011)
IV.
MANIFESTASI KLNIS
1. Distensi Bladder dan merasa kurang
tuntas dalam berkemih
2. Keluhan tidak dapat berkemih
Perawat komunitas memiliki peran yang
penting dalam mengidentifikasi retensi urin, bila ada pasien dengan keluhan
nyeri abdomen bawah disertai dengan pengeluaran urin yang sedikit yaitu kurang
dari 50 maka bisa dikatakan pasien kemungkinan besar mengalami retensi urin.
(Stegall, 2007)
3. Disuria
4. Terkadang disertai hematuria
5. Mual muntah dan perasaan tidak nyaman
6.
Karakteristik
retensi urin adalah bila PVR (Post Void Residual) berkisar antara 75 – 100 ml.
V.
PEMERIKSAAN FISIK & ANAMNESA
- Anamnesa
Data yang perlu didapatkan adalah
mengenai :
1.
Riwayat
retensi urin sebelumnya
2.
Pengkajian
mengenai disfungsi bladder, Lama waktu pasien mengalami rentesi urin, infeksi
saluran kemih atau inkontinensia.
3.
Kaji
riwayat lower urinary tract syndrom seperti urgensi, frekuensi, nokturia,
nokturnal euneresis, disuria dan hesitansi.
4.
Kaji
mengenai reflek keinginan berkemih pasien, disadari ataukah tidak?
5.
Kaji
apakah pasien dapat menjelaskan mengenai aliran urin saat berkemih, apakah
harus mengedan dulu, apakah aliran urinnya tersendat- sendat, menetes ?
6.
Kaji
apakah pasien merasakan nyeri saat berkemih?
7.
Kaji
riwayat penggunaan obat- obatan sebelumnya yang diidentifikasi dapat
menyebabkan retensi urin seperti atropin,
- General
Kaji status dehidrasi pada pasien
seperti mulut kering, kelemahan dan kelelahan, penurunan urin output, sakit
kepala penurunan berat badan dan penurunan kesadaran. Hal lain yang harus
dikaji adalah gejala gagal jantung kongestive yang mengindikasikan ada masalah
pada pendistribusian cairan yang menyebabkan terjadinya nokturia dan nokturnal
enuresis.
- Pemeriksaan Abdomen
1.
Kaji
massa, pembesaran abdomen, perasaan kembung atau tidak nyaman
2.
Palpasi
dan perkusi pada area suprapubic untuk menemukan PVR volume. Suara dullnes pada
area umbilikus menunjukkan perkiraan terdapat sisa residual urin sebesar 500 cc
dan akan meningkat menjadi 1000 cc bila
suara dullnes ditemukan saat perkusi setinggi umbilikus. Palpasi dalam pada
bladder tidak dianjurkan karena akan semakin menambah perasaan tidak nyaman
pada perut dan merangsang reflek vagal. Sebagai pemeriksaan tambahan dapat
dilakukan USG Abdomen.
- Pemeriksaan genitalia eksternal
1.
Kaji
refleks bulbocavernosis pada pria
2.
Meatus
perlu diperiksa untuk melihat adanya stenosis dan penis
3.
Pada
wanita, juga perlu dilakukan pemeriksaan pelvis
- Pemeriksaan rektal
1.
Perlu
dilakukan digital rectal untuk memeriksa sfingter
2.
Pada
pria, pemeriksaan ini untuk memeriksa pembesaran prostat dan striktur uretra
yang mungkin dapat di palpasi melalui temuan kulit skrotal atau kulit perineal
yang menegang sebagai tanda terjadinya penebalan uretra.
- Pemeriksaan Bladder
Pemeriksaan PVR dilakukan dengan
menggunakan tindakan kateterisasi atau USG. Nilai PVR normal setiap individu
bervariasi yaitu dari 75 – 100 ml. Dimana kapasitas normal bladder adalah
sekitar 400 – 500 ml. Pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan bila pada pasien
ditemukan nilai PVR lebih dari 200 cc atau 25 % dari kapasitas kandung
kemihnya. Pada pemeriksaan fisik , massa yang teraba di atas simpisis pubis
yang menghilang setelah pemasangan kateter uretra memberi kesan ke arah
distensi buli .
VI.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
- Urin
Pemeriksaan
urin meliputi urin dipstik, urinalisis dan kultur urin untuk mengesampingkan
infeksi..
- Darah
Pemeriksaan
darah lengkap perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi. Kadar elektrolit
dan urea nitrogen sebaiknya diperiksa untuk menilai fungsi ginjal. Pada pria
juga perlu dipikirkan untuk pemeriksaan PSA (Prostat Spesific Antigen) untuk
mendeteksi kanker prostat, BPH, Prostatitis.
- Radiologi
Perlu
dilakukan ultrasonography abdomen, ginjal, ureter dan bladder. Pemeriksaan
radiologi lain yang bisa dikerjakan adalah CT abdomen atau pelvic ultrasound
bila ada kecurigaan tumor pada abdomen atau pelvis.
- Urodinamik
Urodinamik
test adalah evaluasi fungsional bladder dan uretra untuk mendapatkan informasi
terkait kapasitas bladdder komplikasi, penurunan tekanan, kontraksi bladder
yang berlebihan, bladder areflexia, detrusor sphincter dyssynergia. Beberapa teknik
test yang berbeda ini seharusnya menjadi bagian evaluasi pada pasien dengan
retensi urin, karena pemeriksaan ini dapat mendeteksi gangguan dini resiko
kerusakan ginjal, penurunan fungsi bladder dan membantu dalam menentukan
rencana penatalaksanaan. Pemeriksaan Tambahan Lain seperti Cystoscopy,
Retrograde Cystourethrography
Penentuan Diagnosa Retensi Urin
(Sumber : Newman, 2011)
VII.
PENATALAKSANAAN AKUT
Setiap
pasien dengan retensi urine akut memerlukan tindakan segera. Penatalaksanaan
awal adalah bertujuan untuk mengurangi nyeri dan retensi urin yang akan
beresiko pada disfungsi ginjal. Tindakan utama adalah dengan pemasangan kateter
uretra yang standar. Pada awal pemasangan kateter mungkin perlu untuk diberikan
gel lidokain ke dalam uretra sebelum memasang kateter 16 FR atau 18 Fr untuk
memberikan lubrikasi dan anestesi. Pada penelitian retro prospektif pada 86
pasien yang mengalami retensi urin akut, 18 - 40 % terjadi karena infeksi
saluran kemih dan 16,7 % karena striktur uretra. Pada kondisi striktur uretra
mungkin perlu dipikirkan untuk dilakukan kateter suprapubik atau aspirasi buli
perkutaneus. Prosedur ini dapat dilakukan dengan panduan USG. Pemasangan
kateter suprapubik adalah kompetensi dari dokter urologi. Setelah dilakukan
dekompresi bladder maka pasien harus tetap menggunakan indwelling kateter
selama kurang dari 30 hari sampai retensi urin dapat disingkirkan. Pada kasus
retensi urin kronis, pasien harus menjalani tes pengosongan urin atau void trial dengan pemasangan indwelling
kateter sebelum mendapatkan terapi definitif.
VIII.
TERAPI DEFINITIF
Penatalaksanaan
pada kasus retensi urin yang bersifat akut harus diketahui terlebih dahulu
penyebabnya. Bila penyebab telah diketahui maka penatalaksanaan atau terapi
definitif yang dilaksanakan akan disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi
definitif yang dapat dilakukan :
- Farmakoterapi
Perkembangan mengenai penatalaksanaan
retensi urin akut kini sudah berkembang pada pemberian obat- obatan. Obat utama
yang diberikan pada kasus ini adalah alfa bloker dan 5 alfa reductase
inhibitors (Thomas et al, 2004) . Kedua obat tersebut adalah obat- obatan yang
sering diberikan pada pasien dengan BPH. Alfa bloker memiliki mekanisme
merelaksasi otot polos pada leher bladder dan prostat sehingga menurunkan
resistensi aliran urin kebawah. Alfa bloker yang sering digunakan adalah
selektif (Tamsulozin dan alfuzosin ) dan non selektif (terazosin, doxazosin).
Sedangkan penggunaan obat –obatan 5 alfa reductase inhibitors seperti
Finasteride dan dustasteride. Perkembangan farmakoterapi saat ini adalah
kombinasi dari keduanya.
- Pembedahan.
Sampai saat ini TURP masih merupakan standar utama sebagai terapi
pembedahan pada pasien dengan retensi urin akut. Indikasi tindakan prostatektomi
dilakukan pada pria dengan usia lebih dari 60 tahun, bila residual volume lebih dari 1000 cc. Efek
samping dari prostatektomi dapat berupa inkontinesia, impotensi dan retrograde
ejakulasi.
IX.
PERTIMBANGAN KEPERAWATAN
- Bila ada hambatan pada saat proses memasukkan
kateter, maka perlu dipikirkan bahwa pasien mungkin mengalami striktur
uretra. Jika ada kondisi seperti ini maka jangan memaksa untuk dimasukkan
kateter karena akan mengakibatkan trauma sekunder dari uretra. Hal terbaik
yang harus dilakukan perawat pada saat menghadapi kondisi ini adalah
menghubungi dokter urologi.
- Pada pemeriksaan urin, pengambilan sample urin yang
tepat harus diperhatikan , hal ini akan berpengaruh terhadap hasil
pemeriksaan. Sample urin harus diambil pada pagi hari dan aliran tengah.
Sample urin tidak boleh diambil dari urin bag. Dan pemeriksaan harus
dilakukan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan sampel
- Perubahan tanda- tanda vital terutama suhu pada usia
lansia dengan keluhan nyeri berkemih atau kesulitan dalam berkemih maka
perlu dipikirkan kemungkinan terjadi sepsis.
- Pada pasien yang mengalami retensi urin akut mungkin
perlu dipertimbangkan pasien juga mengalami konstipasi atau impaksi
- Penatalaksanaan pada retensi urin harus
mempertimbangkan pemasangan kateter yang tidak berkomplikasi, terapi
invasif yang minimal dan peningkatan kualitas hidup.
- Perawat harus teliti dalam melakukan pemeriksaan
sistem perkemihan terutama pada pasien yang akan menjalani operasi dengan
general anestesi karena komplikasi yang sering terjadi adalah retensi
urin.
- Perawat perlu memperhatikan lama penggunaan kateter.
Kateter sebaiknya diganti setiap 2 minggu untuk mencegah komplikasi
infeksi, hematuria, urosepsis dan timbunlnya batu disekitar kateter.
- Perawat perlu mempertimbangkan penggunaan obat
–obatan seperti opiat, kondisi pasien yang immobilitas dan konstipasi akan
menyebabkan timbulnya retensi urin.
X.
REFERENSI
Kalejaiye, O., &
Speakman, M. J. (2009). Managemen of Acute and Chronic Retention In Men. European
Association of Urology(8), 523-529
Newman, D. K. (2011).
Managing Urinary Retenstion In The Acute Care Setting. Pennsylvania:
Verathon.
Steggall, M. J.
(2007). Acute Urinary Retention : Causes, Clinical Features and Patient Care. Nursing
Standard, 21(29), 42-46.
Thomas, K., Chow, K.,
& Kirby, R. (2004). Acute Urinary Retention : a Review Of The Aetiology And
Management. Prostate Cancer and Prostatic Disease(7), 32-37.
bisa tampilkan askep gadarnya untuk retensi urine !!
BalasHapusIf you're looking to burn fat then you absolutely have to start using this totally brand new personalized keto meal plan.
BalasHapusTo create this keto diet, certified nutritionists, fitness trainers, and professional cooks have united to provide keto meal plans that are effective, suitable, money-efficient, and enjoyable.
Since their first launch in 2019, 1000's of individuals have already completely transformed their body and health with the benefits a professional keto meal plan can provide.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-confirmed ones offered by the keto meal plan.