Langsung ke konten utama

CEDERA OTAK

Asuhan Keperawatan Cedera Otak

Tujuan Instruksional Khusus
Setelah Pembelajaran ini mahasiswa diharapkan dapat:
1.      Menjelaskan definisi cedera otak?
2.      Menjelaskan klasifikasi cedera otak?
3.      Menjelaskan penyebab terjadinya cedera otak?
4.      Menjelaskan tanda dan gejala pada pasien cedera otak?
5.      Menjelaskan patofisiologi dari cedera otak?
6.      Menjelaskan saja komplikasi dari cedera otak?
7.      Menjelaskan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan cedera otak?
8.      Menjelaskan penatalaksanaan pada pasien dengan cedera otak?
9.      Menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera otak?

PENDAHULUAN
Otak merupakan organ terpenting bagi kehidupan yang terletak di dalam rongga kranium tengkorak. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga bila kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Dengan kemajuan  industrialisasi serta peningkatan sarana transportasi dan mobilisasi manusia, barang dan jasa dari satu tempat ketempat lain tetapi tidak diimbangi pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang cukup memadai serta kepatuhan terhadap peraturan berkendara dari pengguna jalan, berakibat tingginya angka cedera kepala, yang setiap tahun cenderung meningkat. Oleh karena itu perlu adanya pemantauan secara intensif tentang kondisi serta tingkat kesadaran pasien untuk mencegah terjadinya peningkatan derajat keparahan pada cedera otak dan komplikasi. Sehingga diperlukan kemampuan dari tenaga medis khususnya perawat untuk lebih memahami asuhan keperawatan yang dilaksanakan  pada penanganan cedera kepala dan otak dengan demikian angka mortalitas dan morbiditas dapat menurun

DEFINISI CEDERA OTAK
Cedera Kepala hampir disamakan dalam beberapa literatur tetapi akan lebih jelasnya marilah kita simak definisi sendiri dari cedera kepapa dan cedera otak..
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat atau pembengkakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan inbakranial, cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cdera kepala berdasarkan derajat keparahannya diklasifikasi menjadi :
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.

Cedera otak didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat kekuatan mekanik eksternal, seperti percepatan atau perlambatan, dampak, atau penetrasi dengan proyektil yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Fungsi otak sementara atau permanen dan struktural kerusakan gangguan mungkin tidak terdeteksi dengan teknologi saat ini

KLASIFIKASI CEDERA OTAK
Klasifikasi Cedera otak berdasarkan pada tingkat kerusakan dapat dibedakan atas kerusakan primer dan kerusakan sekunder.

A.    Kerusakan Primer
Kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Keruskan primer ini dapat berlanjut menjadi keruskan sekunder, jika kerusakan primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka kerusakan primer dapat menjadi kerusakan sekunder.

Kerusakan Fokal
Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang terjadi dapat berupa :
a.       Kontusio serebri,
Memar ini umumnya terjadi di area permukaan dan terdiri dari area hemoragi kecil – kecil yang tersebar melalui substansi otak pada daerah tersebut, dari pada satu lokasi yang berbeda.  Kontusio serebral merupakan lesi yang paling banyak tampak setelah cedera kepala.  
b.      Kontusio ‘intermediete coup’ /kontusio ‘glinding’
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu,  penyebabnya adalah pendarahan yang terus berlangsung, iskemik, nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap eritrosit yang lisis (48-72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam-beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif (mulai dari 48 jam).
c.         Perdarahan subarachnoid traumatika
paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piameter, mengisi ruang subarachnoid.
d.   Intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90%), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan ganglia basalis. Gejala dan tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi hematoma. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT Scan, Fukamachi dkk. Tahun 1985, membagi ICH atas :
a.       Tipe 1, hematoma sudah terlihat dalam CT Scan awal
b.      Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT Scan awal, kemudian membesar pada CT Scan selanjutnya
c.       Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah normal pada CT Scan awal
d.      Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (‘salt and pepper)
e. Hematoma Epidural
      Hematoma Epidural adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara ruang tengkorak bagian dalam dan lapisan meninges paling luar. Hepatoma ini terjadi karena robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau arteri meningeal frontal.
Pasien dengan hematoma epidural membentuk suatu kelompok yang dapat di kategorikan sebagai “talk and die”. Tanda dan gejala klasik terdiri dari penurunan kesadaran ringan pada waktu terjadi benturan yang terjadi pada periode lucid (pikiran jernih) dari beberapa menit sampai beberapa jam. Periode “talk” ini kemudian di ikuti oleh penurunan neurologis dari kacau mental sampai koma, dari bentuk gerakan bertujuan sampai pada bentuk tubuh dekotrikasi atau deserebrasi, dan dari pupil isokor sampai anisokor. Semua ini merupakan tanda – tanda hernia yang berkembang cepat dan harus ditngani dengan cepat untuk mencegah kematian pada pasien.
f.       Hematoma Subdural
Hematoma Subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan meningeal duramater dan diatas lapisan araknoid yang menutupi otak. Penyebabnya biasanya robekan permukaan vena atau sinus.


http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/f2/Trauma_subdural_arrows.jpg/220px-Trauma_subdural_arrows.jpg      Pasien dengan hematoma subdural akut menunjukkan gejala dalam 24 jam sampai 48 jam setelah cedera. Meninfestasi ini dari perluasan massa lesi dan peningkatan TIK (PTIK) dengan cepat dan memerlukan interfensi darurat.      Hematoma subdural kronis terjadi dari 2 minggu sampai 3-4 bulan setelah cedera awal. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang-kadang disfasia. Bila intervensi bedah diperlukan pada kasus perluasan hematoma dan memperburuknya gejala, kraniotomi biasanya diperlukan dan drain dapat dipasang setelah bedah kepala.












CT scan Penyebaran hematoma subdural (panah tunggal), pergeseran garis tengah (panah ganda).

g.      Fraktur Tengkorak
     
      Susunan lapisan tengkorak sampai kulit kepala membantu menghilangkan energy benturan kepala sehingga sedikit kekuatan ditransmisikan ke permukaan otak. Sekalipun demikian fraktur tengkorak kerupakan masalah yang umum terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat meskipun kejadiannya berfariasi dari 12% sampai 80%, tergantung pada laporan penelitian.

h.      Gegar Serebral
      Gegar adalah sindrom yang mengakibatkan bentuk ringan dari cedera otak menyebar. Ini adalah disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan kesadaran mungkin hanya beberapa detik atau beberapa menit. Sesudah itu mungkin pasien mengalamidisorentasi dan bingung hanya dalam waktu yang relative singkat. Gejala lain meliputi : sakit kepala, tidak mampu untuk berkonsentrasi, ganguan memori sementara, pusing dan peka. Beberapa penderita mengalami amnesia retrograde. Kebanyakan pasien sembuh sempurna dan cepat, tetapi beberapa penderita lain berkembang ke arah sindrom pascagegear dan dapat mengalami gejala lanjut selama beberapa bulan.

i.        Konkusio
      Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terajdinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata.   Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.

B.     Kerusakan Sekunder
            Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi Intrakranial), Hidrosephalus, dan infeksi.
Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas 2, yaitu :
1.      Kerusakan Hipoksi-iskemik menyeluruh
a.       Sudah berlangsung saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan
b.      Martin dkk membaginya atas 3 fase yaitu :
·         Fase 1 : Hipoperfusi, terjadi pada hari 0, dapat turun hingga < 18ml/100g/min pada 2-6 jam sesudah cedera.
·         Fase 2 : Hiperemia, terjadi pada hari 1-3.
·         Fase 3 : Vasospasme, terjadi di antara hari 4-15.
c.       Kerusakan ini timbul karena :
·         Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
·         Iskemia : berhentinya aliran darah
·         Hipotensi arterial sistemik
2.       Edema serebri terjadi karena peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan volume darah( intravaskuler), Kekurangan O2 menyebabkan berlangsungnya metabolism anaerob yang menimbulkan terjadinya gangguan pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel:   dimana 1 mol glukosa aerob ® 38 ATP sedangkan 1 mol glukosa anaerob ® asam laktat + 2 ATP Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat akan mengakibatkan bertambahnya edema otak.  Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam sel (intraseluler) ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan cara pemberian cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5 g – 1 g/Kg BB/kali diberikan secara bolus dalam waktu 15 – 20 menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi), pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak terjadi "rebound phenomena". Pemberian Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga secara tidak langsung memperbaiki edema serebri, dan pemberian Diueretik seperti furosemide.
3.       Peningkatan Tekanan intra kranial
Pada umumnya definisi tekanan intra kranial merupakan jumlah tekanan dari jaringan otak (80%), cairan serebrospinal (10%), pembuluh darah (10%). Penyebabnya PTIK sendiri adalah   Infeksi SSP , perdarahan intrakranial, tumor otak, hidrosefalus. Disamping itu PTIK juga memiliki komplikasi antara lain herniasi otak sehingga menyebabkan kerusakan syaraf otak ,kematian

PENYEBAB CEDERA OTAK

1.       Pukulan/tekanan berlebih pada kepala.
  1. Jatuh.
  2. Kecelakaan (olah raga, industri, lalu lintas).
  3. Tertimpa benda keras.
  4. Perilaku kekerasan.


TANDA DAN GEJALA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK
1.        Penurunan kesadaran, koma
2.        Peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
a.         Turunnya denyut nadi
b.         Peningkatan tekanan darah
c.         Kedalaman pernafasan berkurang/terlambat
d.        Penurunan skor GCS
e.         Muntah proyektil
f.          Dilatasi pupil, hilangnya reflek pupil/pupil asimetris
g.         Nyeri kepala
3.        Fraktur kranium
a.    Hematoma periorbita (mata panda)
b.    Memar di sekitar area mastoideus (battle sign)
c.    Keluarnya cairan serebrospinal dari hidung, telinga, dan laserasi di sekitar fraktur
d.   Pembengkakan kulit kepala yang terlihat menonjol
e.    Perdarahan subkonjungtiva tanpa batas posterior
4.        Disfungsi sensori
5.        Kejang otot
6.        Vertigo
7.        Gangguan pergerakan
8.        Kejang
9.        Syok hipovolemik
(Brito, 1996)

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf  hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya dampak yang akan diberikan pada otak. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

KOMPLIKASI CEDERA OTAK
  1. Epilepsi pasca trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak  mengalami cedera karena benturan di kepala.
kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
  1. Afasia
Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
  1. Apraksia
ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis.
  1. Agnosia
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.
  1. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
  1. Edema serebri dan herniasi









Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan otak menjadi berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial (tekanan di dalam tengkorak). Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal melalui atau antar wilayah ke tempat lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi dari efek massa baik dari tumor, trauma, atau infeksi.
  1. Defisit neurologi
  2. Infeksi sistemik (pneumonia, ISK, abses otak, meningitis, osteomeilitis).
  3. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi yang menunjang berat badan).
  4. Edema pulmonal
Edema paru dapat diakibatkan dari cedera pada otak yang mengakibatkan cedera pada otak yang mengakibatkan reflex cushing.peningkatan  pada tekanan darah sistemik terjadi pada responsdari system saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi tubuh umum ini menyebabkan lebih banyak aliran darah ke paru- paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan pada proses dengan memungkinkan cairan berpindah ke dalam alveolis.
  1. Kejang
Kejang terjadi kira- kira 10% dari pasien cedera kepala selama fase akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang  dengan spatel lidah dengan diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur dan peralatan penghisap dekat dalam jangkauan. Pagar tempat tidur harus tetap dipasang, dari bantalan pada pagar engan bantal atau busa untuk meminimalkan resiko sekunder terhadap cedera karena kejang. Selama kejang, perawat  jangan pernah mencoba memaksakan apapun diantara gigi atau membuka rahang. Pasien harus dimiringkan untuk memudahkan mengalirnya sekresi atau mudah dihisap. Gerakan pasien harus di restrain hanya cukup untuk mencegah memukul obyek, yang menyebabkan memer atau cedera.Satu-satunya tindakan medis terhadap kejang adalah obat. Diazepam adalah obat yang paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan melalui intra vena karena obat ini menekan pernapasan maka frekuensi dan irama pernapasan pasien harus di pantau dengan cermat.
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PASIEN CEDERA OTAK
1.      CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi traumatic ( edema fokal & difus, kontusio, hematoma intraserebral, hematoma intraventrikuler, hematoma ekstraserebral, perdarahan subarachnoid,fraktur). Indikasi dilakukan CT scan adalah : CT scan dilakukan pada semua cedera otak berat, penurunan GCS lebih dari 1, lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis), luka tusuk/tembak, GCS di bawah 15 dan tidak membaik selama terapi konservatif, kejang, nyeri kepala/muntah, bradikardi.(Samsuhidayat, 1997)




CT scan menunjukkan  epidural hematoma (A), subdural hematoma (B)
 
 







2.      MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. Pemeriksaan ini jarang digunakan untuk cedera otak karena kurang praktis dan memiliki keterbatasan dalam deteksi perdarahan pada jam-jam pertama.(ATLS, 1997)
3.      Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4.      Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5.      X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6.      BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7.      PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8.      CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9.      ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10.   Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11.   Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran

PENATALAKSANAAN PADA PASIEN CEDERA OTAK
Penanganan cedera otak sesuai dengan ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama:
Primary survey
1.      Menilai “airway” jalan napas, buka jalan nafas (head tilt, chin lift, jaw trust)  untuk membebaskan jalan nafas demi menjamin petukaran udara adekuat, bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napsa, maka pasien harus diintubasi.
2.      Menilai “breathing” pernapasan, look-listen-feel, tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen.
3.      Menilai “circulation” sirkulasi, otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdomen atau dada. Hentikan perdarahan dari luka terbuka. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem aotak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia memperburuk cedera kepala.
4.      Disability : monitoring GCS.
5.      Environtment : berikan posisi in line position (cedera cervical).
6.      Obati kejang, kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dnegan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
7.      Menilai tingkat keparahan

Secondary Survey
a.       Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien dnegan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena derajat kesadaran menurun) harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas
b.      Monitor tekanan darah: jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi atau hipertensi Karena auroregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak sedangkan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
c.       Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8,
d.      Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau laruran ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
e.       Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dnegan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin(biasanya hari ke-2 perawatan).
f.       Temperatur badan: demam (temp > 101°F) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antiboitik) diberikan bila perlu.
g.      Antikejang : fenitoin 15-20 mg/kg BB bolus intravena, kemudian 300mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pasca traumadi kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
h.      Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hipergilkemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam).
i.        Profilaksis trombosis vena dalam: sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dnegan adanya perdarahan intrakranial.
j.        Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50mg intravena setiap 8jam atau sukralfat 1g peroral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
k.      Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dnegan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan pinisilin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dnegan organisme ayang lebih virulen.
l.        CT Scan lanjutan: umumnya, skan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dnegan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.

Kriteria KRS  pada C edera Otak Ringan :
a.       Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
b.      Foto servikal jelas normal
c.       Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit :
a.       Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
b.      Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
c.       Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
d.      Intoksikasi obat atau alkohol
e.       Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
f.       Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien dirumah

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA OTAK
A.    Pengkajian
Focus pengkajian meliputi :
1.       Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab):  nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
1.                  Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
2.            Pemeriksaan fisik
ü  BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
ü  BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
ü  BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
·         Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
·         Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
·         Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
·         Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
·         Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
·         Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan       .
ü   BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
ü   BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
ü   BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
3.      Pemeriksaan Diagnostik:
·         CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
·         Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
·         X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
·         Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
·         Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
                                    Prioritas perawatan:
1.      memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2.      mencegah komplikasi
3.      pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4.      mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5.      pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

1.       Keluhan Utama : Adanya perdarahan, pasien tidak sadarkan diri, dan GCS < 15
2.       Riwayat penyakit : Tingkat kesadaran atau GCS < 15, konvulsi, muntah, takipnea,sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala,akumulasi sekret pada saluran pernafasan, dan kejang.
3.       Lakukan Pemeriksaan Fisik secara umum :
a.       Tingkat kesadaran :                 AVPU, GCS
b.      Koordinasi gerakkan : Gerakan merupakan koordinasi aktifitas neuromuskuloskletal. Pergerakan diatur oleh saraf cranial, oleh karena itu pengkajian disarankan pada fungsi saraf cranial, yaitu :
·         Gerakan mata dan lapangan pandang, menguji N. III, IV, VI
·         Bicara dan ingesti(menggigit dan menelan), menguji N V, VII, IX, X, XII
·         Mengatupkan graham, menguji N V
·         Mengangkat alis, menguji N VII
·         Mengucapkan “ah”, menguji reflek gag (IX, X
·         Menjulurkan lidah (XII)
·         Motorik bicara, artikulasi mee, bee(VII), ‘ia’(XII), ‘ka,ga’(IX,X), suara parau/suara hidung(X)
c.       Kekuatan otot tingkat kekuatan otot, sbb :
-          Skala 0, kekuatan 0% ; paralisis total
-          Skala 1, kekuatan 10% ; terlihat hanya kontraksi otot, tanpa gerakan
-          Skala 2, kekuatan 25% ; gerakan otot menentang gravitasi, tanpa mencapai ROM
-          Skala 3, kekuatan 50% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM, tanpa tahanan
-          Skala 4, kekuatan 75% ; gerakan otot menentang gravitasi, mencapai ROM, dengan tahanan
-          Skala 5, kekuatan 100% ; gerakan otot menetang gravitasi, mencapai ROM, dengan tahanan penuh

d.      Reflek, diuji dengan memberikan stimulus (input sensori kemudian diamati responnya. Tidak ada respon menandakan adanya gangguan pada serabut sensorik, reflek hiperaktif menandakan adanya lesi pada neuron motorik atas.
Skala tingkatan reflek adalah :
0 : tidak ada reflek
1 : reflek lemah
2 : Normal
3 : meningkat tetapi tidak patologis
4 ; hiperaktif
GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic adalah miosis bilateral.
c. Gerak bola mata :
- Oculocephalic (“doll’s eyes”)
- Oculovestibular (Calorics)

4.      Diagnosa Keperawatan
  1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
  2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan b.d peningkatan TIK/edema otak sekunder terhadap perdarahan.
  3. Pola nafas tak efektif atau ketidakmampuan mempertahankan pola nafas spontan b.d depresi pusat pernafasan pada medulla oblongata sekunder terhadap perdarahan intracranial/infark.
  4. Resiko cedera (Injuri) b.d perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap cedera serebral.
  5. Mual-muntah b.d deprsi pusat muntah pada medulla oblongata sekunder terhadap perdarahan intracranial.
  6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kebutuhan metabolisme berlebihan, ketidakmampuan menelan, kekacauan mental, agitasi, perubahan tingkat kesadaran, atau depresi.
  7. Nyeri akut b.d peningkatan TIK/edema serebri sekunder terhadap perdarahan intracranial.
  8. Resiko terhadap kerusakan jaringan kulit b.d imobilisasi/paresa/paralisis sekunder terhadap perdarahan/infark.
  9. Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan fungsi motorik otot bicara/iskemia lobus temporal-frontal sekunder terhadap perdarahan/infark.
  10. Perubahan eliminasi perkemihan yang b.d kehilangan kontrol volunter pada kandung kemih, hipertontsitas, atau spasme kandung kemih.
  11. Perubahan proses pikir b.d  kerusakan neurologis.
5.      Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan
Kriteria hasil/tujuan pasien
Intervensi keperawatan
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.












Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan b.d peningkatan TIK/edema otak sekunder terhadap perdarahan.
Mempertahanakan tingkat kesadaran biasa atau membaik dan fungsi motorik/sensorik










Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensori.
1.      Pertahankan patensi jalan napas
2.      Posisikan kepala Head up 15 – 30 derajat
3.      Cegah pasien dari valsava manuver
4.      Pantau tingkat kesadaran dan tanda- tanda vital
5.      Pertahankan oksigenasi
6.      Cegah pasien mengalami hiperthermia ato hipothermia
7.      Monitor BGA
8.      Pasang restrain utk mencegah cedera

  1. Tirah baring dgn elevasi kepala 15-300
  2. Batasi rangsangan
  3. Atasi hipertensi(dengan kompres air hangat)
  4. Jaga keseimbangan masukan dan luaran cairan pada normal rendah(1500-2000)
  5. Motivasi untuk menahan batuk/muntah/mengejan
  6. Petahankan dower catheter
  7. Pantau tanda vital, peningkatan TIK (gelisah, mual muntah)
  8. Kaji reflek cahaya dan besar pupil
  9. Kaji GCS
  10. Lakukan tindakan kolaboratif(beri O2, pantau AGD, cegah kejang, dll)



Pola nafas tak efektif atau ketidakmampuan mempertahankan pola nafas spontan b.d depresi pusat pernafasan pada medulla oblongata sekunder terhadap perdarahan intracranial/infark.
Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, GDA dalam batas normal, bebas sianosis.
1.      Atur posisi dengan elevasi kepala 15-300
2.      Jaga kebersihan jalan nafas
3.      Miringkan kepala pasien saat muntah
4.      Kaji pola nafas
5.      Kolaborasi ; pantau AGD (Analisa Gas Darah)
Resiko cedera (Injuri) b.d perubahan fungsi cerebral sekunder terhadap cedera serebral.
Pasien tidak akan menderita cedera selama kejang, agitasi, atau postur refleksi.
1.      Pasang pengaman tempat tidur
2.      Kolaborasi dengan keluarga untuk melakukan pengawasan pada pasien
3.      K/P lakukan restrain
4.      Kurangi Rangsangan pada pasien
5.      Cegah gerakan patologis/membahayakan
6.      Jaga kebersihan dan berikan perawatan kulit
7.      Berikan perawatan mata
Mual-muntah b.d deprsi pusat muntah pada medulla oblongata sekunder terhadap perdarahan intracranial
Pasien tidak mual-muntah.
1.      Kurangi bau-bauan
2.      Batasi aktivitas
3.      Latih nafas dalam
4.      Rawat mulut setelah muntah
5.      Batasi masukan cairan saat makan
6.      Makan makanan yang dingin
7.      Kurangi berbaring datar
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: yang berhubungan dengan kebutuhan metabolisme berlebihan, ketidakmampuan menelan, kekacauan mental, agitasi, perubahan tingkat kesadaran, atau depresi.
Mempertahankan berat badan adekuat.
1.      Kaji status nutrisi pasien saat masuk rumah sakit.
2.      Pertahankan masukkan nutrisi melalui selang makan atau  NGT bila tak mampu untuk menelan.
3.      Kaji kemampuan untuk menelan sebelum memberikan makan: kaji refleksi menelan dengan mempalpasi tonjolan tiroid pada gerakan ke atas; observasi gerakan lidah dan bibir.
4.      Posisi pasien duduk tegak untuk memungkinkan masukan oral.
5.      Kaji reflek batuk sebelum memulai masukan oral.
6.      Mulailah memberikan makan per oral dengan makanan padat jernih seperti gelatin atau agar-agar dan beritahu prosesnya.
7.      Gunakan jumlah sedikit, misal 5 ml.
8.      Setelah makan, periksa kembali rongga mulut makanan yang tertinggal.
9.      Hentikan latihan menelen jika terjadi batuk atau aspirasi.
10.  Pantau hasil sinar x dada terhadap pneumonia aspirasi, khususnya lobus kanan bawah.

Nyeri akut b.d peningkatan TIK/edema serebri sekunder terhadap perdarahan intracranial.
Nyeri berkurang atau hilang.
1.      Turunkan ansietas
2.      Kolaborasi pemberian analgetik
Resiko terhadap kerusakan jaringan kulit b.d imobilisasi/paresa/paralisis sekunder terhadap perdarahan/infark.
Kulit menjadi halus kembali tanpa ada kerusakan jaringan, tidak terjadi dekubitus.
1.      Ubah posisi minimal tiap 2 jam
2.      Jaga kebersihan kulit dan lingkungan
3.      Lakukan masase pada daerah yang tertekan dengan minyak kelapa
Kerusakan komunikasi verbal b.d kerusakan fungsi motorik otot bicara/iskemia lobus temporal-frontal sekunder terhadap perdarahan/infark.
Pasien dapat berkomunikasi kembali dengan baik.
1.      Gunakan bahasa lisan/tulisan
2.      Anjurkan untuk menarik nafas dalam sebelum bicara
3.      Latihan seperti meniup lilin/bersiul

Perubahan eliminasi perkemihan yang berhubungan dengan kehilangan kontrol volunter pada kandung kemih, hipertontsitas, atau spasme kandung kemih.
Mempertahankan haluaran urine adekuat, tanpa retensi urine.
1.      Kaji pengeluaran urine terhadap jumlah, kualitas, dan berat jenis.
2.      Periksa residu kandung kemih stelah berkemih.
3.      Jika setelah berkemih residu urine >200ml.
4.      Catatlah masukan dan haluaran.
5.      Jika kateter intermiten digunakan (4-8 jam) ,pertahanan teknik steril selama prosedur.
6.      Penampungan urine eksternal mencegah infeksi saluran kemih.
7.      Pasien kacau mental atau lupa mendapatkan keuntungan dari pemberian bedpan/ urinal yang sering.
8.      Jika kateter suprapubik di gunakan,bersihkan sisi kateter setiap 8 jam dan pernafasan serta kantung drainase kosong setiap 4-8 jam dan pernafasan.
9.      Kaji suhu tubuh, peningkatan SDP, dan turbiditas urine sebagai tanda infeksi.




Perubahan proses pikir b.d  kerusakan neurologis.
Pasien akan berespons terhadap rangasangan secara tepat.
1.      Kontrol rangsangan pada lingkungan pasien.
2.      Kaji respons terhadap rangsangan yang terkontrol.
3.      Hindari pemberian sebutan terhadap respons yang tidak sesuai (mis. Bermusuhan, apatis, marah, menerik diri).
4.      Jika pasien letargik, tambahkan rangsangan pada lingkungan (radio, tape).
5.      Jika pasien agitasi, kurangi rangsangan lingkungan.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBAT EMERGENCY

OBAT EMERGENCY DENGAN PENGGUNAAN SYIRINGE PUMP Obat emergency merupakan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Sebaiknya disiapkan dan disediakan ditempat yang mudah terjangkau dan pemberiannya berdasarkan pada keadaan pasien tersebut. Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W dimana yang dimaksud adalah (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. Berikut yang termasuk obat-obatan yang sering diberikan secara berkesinambungan adalah adrenalin, dopamin, dobutamin, herbesser . Pemberian obat yang tidak dirancang dengan benar dapat berakibat fatal atau tidak berkhasiat sama sekali. PRINSIP PEMBERIAN Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. PERHITUNGAN OBAT :  Pasien dengan BB 50Kg, mendapatkan terapi dopamin dengan dosis 5mcg/Kg/Menit. Sediaan dopamin yan

Pemeriksaan fisik sistem pernapasan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERNAPASAN (B1) INSPEKSI 1.     Wawancara pasien terkait keluhan sesak napas, nyeri dada ,  batuk, pengeluaran sputum dan batuk darah. Adapun masing – masing pemeriksaan akan dijelaskan sebagai berikut : a.     Derajat Sesak Nafas Derajat Sesak Keluhan Sesak Derajat I Sesak bila aktivitas berat, aktivitas sehari-hari baik Derajat II Sesak bila naik tangga Derajat III Aktivitas sehari-hari terasa sesak Derajat IV Pekerjaan ringan terasa sesak, istirahat tidak sesak Derajat V Istirahat tetap sesak (hidup tergantung O 2 ) b.     Nyeri dada Keluhan Nyeri Dada Kemungkinan Diagnosis Nyeri Dada Mendadak  Peny. Jantung   Pneumotoraks Nyeri Seperti Ditusuk Pleuritis Peny. Jantung  (Angina) Pneumotoraks Nyeri Dada Rasa Keme

PENGAJUAN KEANGGOTAAN HIPGABI JAWA TIMUR

Kepada Yth. Sejawat perawat Gawat Darurat Di Jawa Timur Assalamualaikum wr wb Bapak ibu dulur yang akan mengajukan keanggotaan HIPGABI , kini sudah dapat mengisi data data di link  bit.ly/form-anggota-hipgabi . Adapun syarat data yang harus anda lengkapi sebelum klik link adalah : 1. NIRA 2. Alamat dan nomor ponsel 3. Foto 3x4 pakaian resmi Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih HIPGABI # Bersatu # Berkualitas # Sejahtera Berikut adalah daftar pengajuan yang akan diproses beserta keterangannya No Nama Nira Institusi KET 1 Yudisa Diaz Lutfi Sandi, Ns., M.Kep 35210213331 Akper Pemkab Ngawi LENGKAP 2 Rizky Fajar Bahtiar,S.St 35730327236 Rumah Sakit Universitas Brawijaya LENGKAP 3 Khotimah, S. Kep., Ns., M. Kes 35170232243 Unipdu Jombang LENGKAP 4 Guruh Wirasakti, S.Kep.,Ns.,M.Kep. 35730479034 STIKES dr. Soebandi Jember LENGKAP