SATUAN
ACARA PENYULUHAN (SAP) PADA WARGA BENDUL MERISI TENTANG EPISTAKSIS
Pokok Bahasan : Penanganana Mimisan / Epistaksis
Sasaran :
Warga Bendul Merisi
Metode :
Ceramah dan diskusi
Media :
Leaflet dan poster
Tempat :
Surabaya
Hari dan tanggal : Rabu, 25
November 2015
Pukul :
10.00 WIB
A.
LATAR
BELAKANG
Epistaksis
berasal dari bahasa Yunani epistazo
yang berarti hidung berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi
telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates (Nwaorgu dalam Budiman 2012).
Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang berasal
dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan
mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana
yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungnya (Ayu dan Indah,
2013). Epistaksis atau perdarahan dari
hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Budiman 2011).
Sebagian
besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90%-95%. Epistaksis anterior
ini biasa tejadi spontan atau disebabkan trauma pada septum nasi (Wormald
dikutip dalam Budiman 2011). Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari
orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan
mimisan memerlukan penanganan medis (WHO, 2004). Suatu penelitian cross sectional terhadap 1218 anak usia
11-14 tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis
dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan.
Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam
Bidasari 2007).
Studi
retrospektif, 45% dari pasien rawat inap untuk epistaksis memiliki gangguan
sistemik dengan potensi untuk berkontribusi mimisan, termasuk kelainan genetik
seperti hemofilia dan penggunaan obat antikoagulan, atau kanker hematologi.
Penyebaab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal
termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, kelainan
struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa
kelainan hematologi, lingkungan temperatur, kelembaban, dan ketinggian),
obat-obtan (contoh: antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta
penyebab lain misalnya hipertensi (Pope dalam Bidasari 2007).
Prinsip
utama penanggulangan epistaksis meliputi menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Pengobtan disesuaikan dengan
keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak. Perbaiki keadaan umum
penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat
lemah atau keadaan syok.
B.
TIU
( Tujuan Intruksional Umum )
Setelah mengikuti
pendidikan
kesehatan diharapkan
warga bendul
merisi dapat mengerti dan
memahami tentang epistaksis.
C.
TIK
( Tujuan Intruksional Khusus )
Setelah
mengikuti pendidikan kesehatan selama 1x30 menit diharapkan warga bendul merisi
mampu
:
1.
Mengerti dan memahami tentang pengertian
epistaksis.
2.
Mengerti dan memahami tentang
klasifikasi epistaksis.
3.
Mengerti dan memahami tentang etiologi
epistaksis.
4.
Mengerti dan memahami tentang
patofisiologi epistaksis.
5.
Mengerti dan memahami tentang
manifestasi klinis epistaksis.
6.
Mengerti dan memahami tentang komplikasi
epistaksis.
7.
Mengerti dan memahami tentang
pemeriksaan epistaksis.
8.
Mengerti dan memahami tentang
penatalaksanaan epistaksis.
D.
SASARAN
Warga
bendul merisi dengan jumlah kurang
lebih 20-30 orang.
E.
MATERI
Terlampir
F.
METODE
1.
Ceramah
2.
Diskusi
G.
MEDIA
1.
Leaflet
2. Poster
H.
KRITERIA
EVALUASI
1.
Kriteria Struktur :
a.
Peserta
hadir minimal 10
orang.
b.
Penyelenggara
pendidikan
kesehatan dilakukan
di warga bendul merisi.
c.
Pengorganisasian
penyelenggaraan pendidikan
kesehatan dilakukan sebelum dan saat
pendidikan
kesehatan.
2.
Kriteria Proses :
a.
Peserta
antusias terhadap materi pendidikan
kesehatan.
b.
Peserta
fokus
mendengarkan pendidikan
kesehatan.
c.
Paserta
mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar.
3.
Kriteria Hasil :
a.
Peserta
hadir minimal 10 orang.
b.
Peserta
kooperatif dalam acara pendidikan
kesehatan.
c.
Peserta
bertanya dan mampu menjawab pertanyaan dari penyaji.
d.
Peserta
mampu memahami materi pendidikan
kesehatan yang telah disampaikan.
I.
KEGIATAN
PENDIDIKAN
KESEHATAN
No
|
Waktu
|
Kegiatan
Penyuluhan
|
Kegiatan
Audience
|
1
|
5 Menit
|
Pembukaan
1. Penyaji
memulai pendidikan kesehatan dengan mengucapkan salam.
2. Memperkenalkan
diri.
3. Menjelaskan
tujuan pendidikan kesehatan.
4. Menyebutkan
materi yang akan diberikan.
5. Membagikan
leaflet.
|
1. Menjawab
salam.
2. Memperhatikan.
3. Memperhatikan.
4. Memperhatikan.
5. Menerima
dan membaca.
|
2
|
10 Menit
|
Pelaksanaan
1. Menjelaskan materi tentang pengertian epistaksis.
2. Menjelaskan materi tentang klasifikasi
epistaksis.
3. Menjelaskan materi tentang etiologi
epistaksis.
4. Menjelaskan materi tentang patofisiologi
epistaksis.
5. Menjelaskan materi tentang manifestasi klinis
epistaksis.
6. Menjelaskan materi tentang komplikasi
epistaksis.
7. Menjelaskan materi tentang pemeriksaan
epistaksis.
8. Menjelaskan materi tentang penatalaksanaan
epistaksis.
9. Tanya
jawab.
|
1. Memperhatikan.
2. Memperhatikan.
3. Memperhatikan.
4. Memperhatikan.
5. Memperhatikan.
6. Memperhatikan.
7. Memperhatikan.
8. Memperhatikan.
9. Bertanya dan mendengarkan jawaban.
|
3
|
10 Menit
|
Evaluasi
1.
Memberikan
kesempatan
audience untuk bertanya.
2.
Meminta audience menjelaskan tentang materi epistaksis yang telah disampaikan.
|
1.
Bertanya dan
mendengarkan jawaban.
2.
Menjelaskan
tentang materi.
|
4
|
5 Menit
|
Terminasi
1. Mengucapkan
terima kasih atas perhatian yang diberikan.
2. Mengucapkan
salam penutup.
|
1. Memperhatikan.
2. Membalas
salam.
|
J.
SETTING
TEMPAT
Keterangan :
:
Pembawa acara dan moderator :
Observer
:
Penyaji :
Audiance
: Fasilitator
K.
PENGORGANISASIAN
1.
Pembawa acara dan moderator : Yulia Masruroh
2.
Penyaji :
Yuniara Dwi P.
3.
Observer :
Dias Aryati K.
4.
Fasilitator :
1. Nevyta Kusumawaty
2. Yurita
Ajeng L.
Surabaya, 20 November 2015 Mengetahui,
Penanggung Jawab
Kegiatan Ketua
Pelaksana
(Nevyta Kusumawaty) (Dias Aryati K.)
Pembimbing Institusi
(Merina Widyastuti, S.Kep., Ns.,
M.Kep)
MATERI
PENDIDIKAN KESEHATAN
A.
Pengertian
Epistaksis
Epistaksis
berasal dari bahasa Yunani epistazo
yang berarti hidung berdarah. Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan)
adalah perdarahan akut yang berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau
nasofaring. Epitaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat
berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien itu dengan jalan menekan hidungya (Irma dan Ayu, 2013). Epistaksis atau perdarahan hidung merupakan
kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan
(Wormald dikutip dalam Bestari, 2011).
B.
Klasifikasi
Epistaksis
1.
Epistaksis
Anterior
Merupakan
jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari
pleksus Kiesselbach (little area),
yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat
di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior. Mukosa
pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka
terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus,
ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan
perdarahan. Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya
darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang
sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika
korban dalam posisi telentang atau tengadah.
Biasanya
relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat berhenti
sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan seperti
memencet dan mengompres hidung dengan air dingin (Supardi, 2007).
2.
Epistaksis
Posterior
Epistaksis
posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior
berasal dari dinding nasal lateral. Mimisan belakang (epistaksis posterior)
terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang.
Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang
kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga
mengenai anak-anak. Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab
yang mengalami perlukaan pembuluh darah yang cukup besar. Karena terletak di belakang, darah
cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga
menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama
sekali tidak ada yang keluar melalui lubang hidung (Supardi, 2007).
C.
Etiologi
Epistaksis
Epistaksis
atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau kelainan
sistemik (Wormald
dikutip dalam Bestari, 2011).
1.
Etiologi
lokal epistaksis dapat berupa :
a.
Idiopatik (85% kasus), biasanya merupakan epistaksis
ringan dan berulang pada anak dan remaja.
b.
Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus
dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung
atau trauma maksilofacial.
c.
Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas
yang merangsang kimia udara panas pada mukosa hidung.
d.
Benda asing dan rinolit dapat menyebabkan epistaksis
ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
2.
Etiologi
sistemik epistaksis antara lain :
a.
Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan
kelainan pembuluh darah, seperti aterosklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan
nefritis kronis.
b.
Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia,
dan hemofilia.
c.
Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah,
influenza, demam tiroid.
d.
Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause.
D.
Patofisiologi
Epistaksis
Hidung kaya akan
vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui
percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior
merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini
memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke
percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa
pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan: (Corwin, 2009)
1.
Alveolaris
posterior superior
2.
Palatina
desenden
3.
Infraorbitalis
4.
Sfenopalatin
5.
Pterygoid
canal
6.
Pharyngeal
Arteri palatina
desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal
lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen
incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior.
Arteri karotis interna
memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita
melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri
etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior.
Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen
etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua
arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun
ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk
menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum
(Corwin, 2009).
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum
kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi
epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum
beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi
anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal
ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada
pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan
seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan
terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan.
Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu
mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau
sinusitis (Corwin, 2009).
E.
Manifestasi Klinis
1.
Darah
yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang hidung, berasal dari hidung
anterior.
2.
Darah
yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian belakang tenggorokan, berasal
dari hidung posterior (umumnya disalah artikan sebagai hempotisis karena adanya
ekspektorasi).
3.
Pusing
dan sedikit sulit bernafas.
4.
Perembesan
dibelakang septum nasal ditelinga tengah dan di sudut mata.
5.
Hemoragi
parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah ditekan) : hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1
L/jam pada orang dewasa (Supardi, 2007).
F.
Komplikasi Epistaksis
1.
Sinusitis
2.
Septal
Hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3.
Aspirasi
(masuknya cairan kesaluran nafas bawah)
4.
Deformitas
(kelainan bentuk) hidung
5.
Kerusakan
jaringan hidung infeksi
6.
Hipotensi
7.
Hipoksia
8.
Anemia
(Supardi, 2007)
G.
Pemeriksaan
Epistaksis
1.
Pemeriksaan darah tepi lengkap
2.
Fungsi hemostatis
3.
EKG
4.
Tes fungsi hati dan ginjal
5.
Rinoskopi
anterior
Pemeriksaan
harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat.
6.
Rinoskopi
posterior
Pemeriksaan
nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
7.
Pengukuran
tekanan darah
Tekanan darah
perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
8.
Rontgen
sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus
dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
9.
Endoskopi
hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
10.
Skrining
terhadap koagulopati
Tes-tes yang
tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan.
11.
Riwayat
penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat
mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis (Wormald
dikutip dalam Bestari, 2011).
H.
Penatalaksanaan
Epistaksis
Prinsip
penatalaksanaan epistaksis menurut Shah (2013) yang pertama adalah ABC :
1.
A
(Airway) : pastikan jalan nafas tidak
tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk.
2.
B
(Breathing) : pastikan proses
bernafas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke
belakang tenggorokan.
3.
C
(Cirulation) : pastikan proses
perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus
intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi. Posisikan pasien dengan
duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior
sehingga mencegah penyumbatan jalan nafas.
Tiga prinsip
utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu
keadaan umum pasien.
1.
Menghentikan
perdarahan
a.
Perdarahan Anterior
1)
Penderita
duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke depan. Pada posisi duduk atau berdiri,
hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk
mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir
lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke lambung
menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan
gagal napas dan kematian.
2)
Tekan
seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan dibawah tulang hidung.
Pertahankan tindakan ini selama 10 menit. Usahakan jangan berhenti menekan
sampai masa 10 menit terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
3)
Beri
kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin membantu mengerutkan
pembuluh darah, sehingga perdarahan berkurang.
4)
Setelah
mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek hidung dan menghembuskan napas
lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3 jam.
5)
Jika
penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya dibawa ke rumah
sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan tampon (kasa yang digulung) ke
dalam rongga hidung atau tindakan kauterisasi. Selama dalam perjalanan,
penderita sebaiknya tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit kedepan.
Tindakan
sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon
yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi
kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan asam
triklosetat 10%. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu
(Irma
dan Ayu, 2013).
b.
Perdarahan Posterior
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup
kaona. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi
dan sebuah benang di sisi lainnya (Irma dan Ayu, 2013).
2.
Mencegah
Komplikasi
Komplikasi dapat
terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri sebagai akibat dari usaha
penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok
dan anemia. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan
bahkan septicemia (Irma dan Ayu, 2013).
3.
Pencegahan Perdarahan Berulang
Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi
dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula
darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT SCAN sinus dicurigai ada
sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai adanya
kelainan sistemik
(Irma
dan Ayu, 2013).
DAFTAR
HADIR KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN
No
|
Nama
|
Tanda
Tangan
|
|
1.
|
|
1.
|
|
2.
|
|
|
2.
|
3.
|
|
3.
|
|
4.
|
|
|
4.
|
5.
|
|
5.
|
|
6.
|
|
|
6.
|
7.
|
|
7.
|
|
8.
|
|
|
8.
|
9.
|
|
9.
|
|
10.
|
|
|
10.
|
11.
|
|
11.
|
|
12.
|
|
|
12.
|
13.
|
|
13.
|
|
14.
|
|
|
14.
|
15.
|
|
15.
|
|
16.
|
|
|
16.
|
17.
|
|
17.
|
|
18.
|
|
|
18.
|
19.
|
|
19.
|
|
20.
|
|
|
20.
|
21.
|
|
21.
|
|
22.
|
|
|
22.
|
23.
|
|
23.
|
|
24.
|
|
|
24.
|
25.
|
|
25.
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Bestari,
Budiman J.
2011, Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina, pada Septum dan
Telangiektasis.
Corwin, EJ.
2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Irma, Indah,
Ayu Intan. 2013. Penyakit Gigi, Mulut dan THT. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Shah, Kaushal.
2013. Prosedur Penting dalam Kedaruratan.
Jakarta: EGC.
Supardi, E.A., Iskandar N. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan
(edisi
6). Jakarta: FKUI.
Komentar
Posting Komentar