Langsung ke konten utama

CONTOH SATUAN AJAR PENYULUHAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PADA WARGA BENDUL MERISI TENTANG EPISTAKSIS

Pokok Bahasan            : Penanganana Mimisan / Epistaksis
Sasaran                        : Warga Bendul Merisi
Metode                        : Ceramah dan diskusi
Media                          : Leaflet dan poster
Tempat                        : Surabaya
Hari dan tanggal           : Rabu, 25 November 2015
Pukul                           : 10.00 WIB

A.           LATAR BELAKANG
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates (Nwaorgu dalam Budiman 2012). Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungnya (Ayu dan Indah, 2013). Epistaksis  atau perdarahan dari hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Budiman 2011).
Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90%-95%. Epistaksis anterior ini biasa tejadi spontan atau disebabkan trauma pada septum nasi (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis (WHO, 2004). Suatu penelitian cross sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam Bidasari 2007).
Studi retrospektif, 45% dari pasien rawat inap untuk epistaksis memiliki gangguan sistemik dengan potensi untuk berkontribusi mimisan, termasuk kelainan genetik seperti hemofilia dan penggunaan obat antikoagulan, atau kanker hematologi. Penyebaab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan temperatur, kelembaban, dan ketinggian), obat-obtan (contoh: antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi (Pope dalam Bidasari 2007).
Prinsip utama penanggulangan epistaksis meliputi menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Pengobtan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaan syok.

B.            TIU ( Tujuan Intruksional Umum )
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan diharapkan warga bendul merisi dapat mengerti dan memahami tentang epistaksis.

C.           TIK ( Tujuan Intruksional  Khusus )
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1x30 menit diharapkan warga bendul merisi mampu :
1.             Mengerti dan memahami tentang pengertian epistaksis.
2.             Mengerti dan memahami tentang klasifikasi epistaksis.
3.             Mengerti dan memahami tentang etiologi epistaksis.
4.             Mengerti dan memahami tentang patofisiologi epistaksis.
5.             Mengerti dan memahami tentang manifestasi klinis epistaksis.
6.             Mengerti dan memahami tentang komplikasi epistaksis.
7.             Mengerti dan memahami tentang pemeriksaan epistaksis.
8.             Mengerti dan memahami tentang penatalaksanaan epistaksis.

D.           SASARAN
Warga bendul merisi dengan jumlah kurang lebih 20-30 orang.

E.            MATERI
Terlampir

F.            METODE
1.        Ceramah
2.        Diskusi

G.           MEDIA
1.             Leaflet
2.             Poster

H.           KRITERIA EVALUASI
1.             Kriteria Struktur :
a.                     Peserta hadir minimal 10 orang.
b.                     Penyelenggara pendidikan kesehatan dilakukan di warga bendul merisi.
c.                     Pengorganisasian penyelenggaraan pendidikan kesehatan dilakukan sebelum dan saat pendidikan kesehatan.
2.             Kriteria Proses :
a.                     Peserta antusias terhadap materi pendidikan kesehatan.
b.                     Peserta fokus mendengarkan pendidikan kesehatan.
c.                     Paserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara benar.
3.             Kriteria Hasil :
a.                     Peserta hadir minimal 10 orang.
b.                     Peserta kooperatif dalam acara pendidikan kesehatan.
c.                     Peserta bertanya dan mampu menjawab pertanyaan dari penyaji.
d.                    Peserta mampu memahami materi pendidikan kesehatan yang telah disampaikan.

I.              KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN
No
Waktu
Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan Audience
1
5 Menit
Pembukaan
1.    Penyaji memulai pendidikan kesehatan dengan mengucapkan salam.
2.    Memperkenalkan diri.
3.    Menjelaskan tujuan pendidikan kesehatan.
4.    Menyebutkan materi yang akan diberikan.
5.    Membagikan leaflet.

1.    Menjawab salam.


2.    Memperhatikan.
3.    Memperhatikan.

4.    Memperhatikan.

5.    Menerima dan membaca.
2
10 Menit
Pelaksanaan
1.    Menjelaskan materi tentang pengertian epistaksis.
2.    Menjelaskan materi tentang klasifikasi epistaksis.
3.    Menjelaskan materi tentang etiologi epistaksis.
4.    Menjelaskan materi tentang patofisiologi epistaksis.
5.    Menjelaskan materi tentang manifestasi klinis epistaksis.
6.    Menjelaskan materi tentang komplikasi epistaksis.
7.    Menjelaskan materi tentang pemeriksaan epistaksis.
8.    Menjelaskan materi tentang penatalaksanaan epistaksis.
9.    Tanya jawab.

1.    Memperhatikan.

2.    Memperhatikan.

3.    Memperhatikan.

4.    Memperhatikan.

5.    Memperhatikan.

6.    Memperhatikan.

7.    Memperhatikan.

8.    Memperhatikan.

9.    Bertanya dan mendengarkan jawaban.
3
10 Menit
Evaluasi
1.     Memberikan kesempatan
     audience untuk bertanya.

2.     Meminta audience menjelaskan tentang materi epistaksis yang telah disampaikan.

1.    Bertanya dan mendengarkan jawaban.
2.    Menjelaskan tentang materi.
4
5 Menit
Terminasi
1.    Mengucapkan terima kasih atas perhatian yang diberikan.
2.    Mengucapkan salam penutup.

1.    Memperhatikan.

2.    Membalas salam.

J.      SETTING TEMPAT
 











Keterangan :
            : Pembawa acara dan moderator                                             : Observer
 


            : Penyaji                                                                                  : Audiance
            : Fasilitator

K.           PENGORGANISASIAN
1.             Pembawa acara dan moderator    : Yulia Masruroh
2.             Penyaji                                         : Yuniara Dwi P.
3.             Observer                                       : Dias Aryati K.
4.             Fasilitator                                     : 1. Nevyta Kusumawaty
  2. Yurita Ajeng L.




                                                                        Surabaya, 20 November 2015                                                                                        Mengetahui,



Penanggung Jawab Kegiatan                                              Ketua Pelaksana



            (Nevyta Kusumawaty)                                                   (Dias Aryati K.)



Pembimbing Institusi



(Merina Widyastuti, S.Kep., Ns., M.Kep)


MATERI PENDIDIKAN KESEHATAN

A.           Pengertian Epistaksis
Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epitaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungya (Irma dan Ayu, 2013). Epistaksis atau perdarahan hidung merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Bestari, 2011).

B.            Klasifikasi Epistaksis
1.              Epistaksis Anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.  Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan. Mimisan depan biasanya ditandai dengan keluarnya darah lewat lubang hidung, baik melalui satu maupun kedua lubang hidung. Jarang sekali perdarahan keluar lewat belakang menuju ke tenggorokan, kecuali jika korban dalam posisi telentang atau tengadah. Biasanya relatif tidak berbahaya. Perdarahan yang timbul ringan dan dapat berhenti sendiri dalam 3 - 5 menit, walaupun kadang-kadang perlu tindakan seperti memencet dan mengompres hidung dengan air dingin (Supardi, 2007).
2.              Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral. Mimisan belakang (epistaksis posterior) terjadi akibat perlukaan pada pembuluh darah rongga hidung bagian belakang. Mimisan belakang jarang terjadi, tapi relatif lebih berbahaya. Mimisan belakang kebanyakan mengenai orang dewasa, walaupun tidak menutup kemungkinan juga mengenai anak-anak. Perdarahan pada mimisan belakang biasanya lebih hebat sebab yang mengalami perlukaan pembuluh darah yang cukup besar. Karena terletak di belakang, darah cenderung jatuh ke tenggorokan kemudian tertelan masuk ke lambung, sehingga menimbulkan mual dan muntah berisi darah. Pada beberapa kasus, darah sama sekali tidak ada yang keluar melalui lubang hidung (Supardi, 2007).

C.          Etiologi Epistaksis
Epistaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik (Wormald dikutip dalam Bestari, 2011).
1.             Etiologi lokal epistaksis dapat berupa :
a.                     Idiopatik (85% kasus), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
b.                     Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung  atau trauma maksilofacial.
c.                     Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang kimia udara panas pada mukosa hidung.
d.                    Benda asing dan rinolit dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
2.             Etiologi sistemik epistaksis antara lain :
a.                     Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti aterosklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan nefritis kronis.
b.                     Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia, dan hemofilia.
c.                     Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, demam tiroid.
d.                    Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause.

D.           Patofisiologi Epistaksis
Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan: (Corwin, 2009)
1.             Alveolaris posterior superior
2.             Palatina desenden
3.             Infraorbitalis
4.             Sfenopalatin
5.             Pterygoid canal
6.             Pharyngeal
Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum (Corwin, 2009).
Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis (Corwin, 2009).

E.            Manifestasi Klinis
1.             Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang hidung, berasal dari hidung anterior.
2.             Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian belakang tenggorokan, berasal dari hidung posterior (umumnya disalah artikan sebagai hempotisis karena adanya ekspektorasi).
3.             Pusing dan sedikit sulit bernafas.
4.             Perembesan dibelakang septum nasal ditelinga tengah dan di sudut mata.
5.             Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah ditekan) : hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1 L/jam pada orang dewasa (Supardi, 2007).

F.            Komplikasi Epistaksis
1.             Sinusitis
2.             Septal Hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
3.             Aspirasi (masuknya cairan kesaluran nafas bawah)
4.             Deformitas (kelainan bentuk) hidung
5.             Kerusakan jaringan hidung infeksi
6.             Hipotensi
7.             Hipoksia
8.             Anemia (Supardi, 2007)

G.           Pemeriksaan Epistaksis
1.             Pemeriksaan darah tepi lengkap
2.             Fungsi hemostatis
3.             EKG
4.             Tes fungsi hati dan ginjal
5.             Rinoskopi anterior
          Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
6.             Rinoskopi posterior
          Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
7.             Pengukuran tekanan darah
          Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
8.             Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
          Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
9.             Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya
10.         Skrining terhadap koagulopati
          Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
11.         Riwayat penyakit
          Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis (Wormald dikutip dalam Bestari, 2011).

H.           Penatalaksanaan Epistaksis
Prinsip penatalaksanaan epistaksis menurut Shah (2013) yang pertama adalah ABC :
1.             A (Airway) : pastikan jalan nafas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk.
2.             B (Breathing) : pastikan proses bernafas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan.
3.             C (Cirulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi. Posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan nafas.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
1.             Menghentikan perdarahan
a.                     Perdarahan Anterior
1)                       Penderita duduk di kursi atau berdiri, kepala ditundukkan sedikit ke depan. Pada posisi duduk atau berdiri, hidung yang berdarah lebih tinggi dari jantung. Tindakan ini bermanfaat untuk mengurangi laju perdarahan. Kepala ditundukkan ke depan agar darah mengalir lewat lubang hidung, tidak jatuh ke tenggorokan, yang jika masuk ke lambung menimbulkan mual dan muntah, dan jika masuk ke paru-paru dapat menimbulkan gagal napas dan kematian.
2)                       Tekan seluruh cuping hidung, tepat di atas lubang hidung dan dibawah tulang hidung. Pertahankan tindakan ini selama 10 menit. Usahakan jangan berhenti menekan sampai masa 10 menit terlewati. Penderita diminta untuk bernapas lewat mulut.
3)                       Beri kompres dingin di daerah sekitar hidung. Kompres dingin membantu mengerutkan pembuluh darah, sehingga perdarahan berkurang.
4)                       Setelah mimisan berhenti, tidak boleh mengorek-ngorek hidung dan menghembuskan napas lewat hidung terlalu kuat sediktinya dalam 3 jam.
5)                       Jika penanganan pertama di atas tidak berhasil, korban sebaiknya dibawa ke rumah sakit, karena mungkin dibutuhkan pemasangan tampon (kasa yang digulung) ke dalam rongga hidung atau tindakan kauterisasi. Selama dalam perjalanan, penderita sebaiknya tetap duduk dengan posisi tunduk sedikit kedepan.
Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30% atau dengan asam triklosetat 10%. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu (Irma dan Ayu, 2013).
b.                     Perdarahan Posterior
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup kaona. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya (Irma dan Ayu, 2013).  
2.             Mencegah Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri        sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septicemia (Irma dan Ayu, 2013). 
3.             Pencegahan Perdarahan Berulang
Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT SCAN sinus dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai adanya kelainan sistemik (Irma dan Ayu, 2013). 












DAFTAR HADIR KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN

No
Nama
Tanda Tangan
1.

1.

2.


2.
3.

3.

4.


4.
5.

5.

6.


6.
7.

7.

8.


8.
9.

9.

10.


10.
11.

11.

12.


12.
13.

13.

14.


14.
15.

15.

16.


16.
17.

17.

18.


18.
19.

19.

20.


20.
21.

21.

22.


22.
23.

23.

24.


24.
25.

25.





DAFTAR PUSTAKA

Bestari, Budiman J. 2011, Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina, pada Septum dan Telangiektasis.
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Irma, Indah, Ayu Intan. 2013. Penyakit Gigi, Mulut dan THT. Yogyakarta: Nuha Medika.
Shah, Kaushal. 2013. Prosedur Penting dalam Kedaruratan. Jakarta: EGC.
Supardi, E.A., Iskandar N. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
          Tenggorokan (edisi 6). Jakarta: FKUI.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

OBAT EMERGENCY

OBAT EMERGENCY DENGAN PENGGUNAAN SYIRINGE PUMP Obat emergency merupakan obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat darurat. Sebaiknya disiapkan dan disediakan ditempat yang mudah terjangkau dan pemberiannya berdasarkan pada keadaan pasien tersebut. Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W dimana yang dimaksud adalah (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. Berikut yang termasuk obat-obatan yang sering diberikan secara berkesinambungan adalah adrenalin, dopamin, dobutamin, herbesser . Pemberian obat yang tidak dirancang dengan benar dapat berakibat fatal atau tidak berkhasiat sama sekali. PRINSIP PEMBERIAN Pemberian obat selalu mengacu pada 5T dan 1W (Tepat obat, Tepat waktu, tepat orang, tepat dosis, tepat cara ) dan Waspada terhadap efek samping obat tersebut. PERHITUNGAN OBAT :  Pasien dengan BB 50Kg, mendapatkan terapi dopamin dengan dosis 5mcg/Kg/Menit. Sediaan dopamin yan

Pemeriksaan fisik sistem pernapasan

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PEMERIKSAAN FISIK SISTEM PERNAPASAN (B1) INSPEKSI 1.     Wawancara pasien terkait keluhan sesak napas, nyeri dada ,  batuk, pengeluaran sputum dan batuk darah. Adapun masing – masing pemeriksaan akan dijelaskan sebagai berikut : a.     Derajat Sesak Nafas Derajat Sesak Keluhan Sesak Derajat I Sesak bila aktivitas berat, aktivitas sehari-hari baik Derajat II Sesak bila naik tangga Derajat III Aktivitas sehari-hari terasa sesak Derajat IV Pekerjaan ringan terasa sesak, istirahat tidak sesak Derajat V Istirahat tetap sesak (hidup tergantung O 2 ) b.     Nyeri dada Keluhan Nyeri Dada Kemungkinan Diagnosis Nyeri Dada Mendadak  Peny. Jantung   Pneumotoraks Nyeri Seperti Ditusuk Pleuritis Peny. Jantung  (Angina) Pneumotoraks Nyeri Dada Rasa Keme

PENGAJUAN KEANGGOTAAN HIPGABI JAWA TIMUR

Kepada Yth. Sejawat perawat Gawat Darurat Di Jawa Timur Assalamualaikum wr wb Bapak ibu dulur yang akan mengajukan keanggotaan HIPGABI , kini sudah dapat mengisi data data di link  bit.ly/form-anggota-hipgabi . Adapun syarat data yang harus anda lengkapi sebelum klik link adalah : 1. NIRA 2. Alamat dan nomor ponsel 3. Foto 3x4 pakaian resmi Atas perhatiannya kami sampaikan terima kasih HIPGABI # Bersatu # Berkualitas # Sejahtera Berikut adalah daftar pengajuan yang akan diproses beserta keterangannya No Nama Nira Institusi KET 1 Yudisa Diaz Lutfi Sandi, Ns., M.Kep 35210213331 Akper Pemkab Ngawi LENGKAP 2 Rizky Fajar Bahtiar,S.St 35730327236 Rumah Sakit Universitas Brawijaya LENGKAP 3 Khotimah, S. Kep., Ns., M. Kes 35170232243 Unipdu Jombang LENGKAP 4 Guruh Wirasakti, S.Kep.,Ns.,M.Kep. 35730479034 STIKES dr. Soebandi Jember LENGKAP