Tantangan Penggunaan Metode Preseptroship Pada Mahasiswa Keperawatan Di Setting Klinik Kegawatdaruratan
Tantangan Penggunaan Metode
Preseptroship Pada Mahasiswa Keperawatan Di Setting Klinik Kegawatdaruratan
Merina Widyastuti,M.Kep
LATAR BELAKANG
Profesi
keperawatan merupakan salah profesi kesehatan yang dapat dikatakan cukup tua
dalam perkembangannya memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Sebagai
profesi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, keperawatan dituntut dalam
hal sikap profesionalitasnya (Haitana & Bland, 2011). Hal tersebut telah
berusaha dipenuhi oleh profesi ini dengan pengembangan ilmu keperawatan dan
peningkatan jenjang strata pendidikan. Profesi keperawatan terus menerus
mengalami perkembangan dan perubahan dimana dalam perkembangannya, profesi
keperawatan tidak dapat lepas dari sistem pendidikan yang memadukan antara ilmu
dan prakteknya. Akan tetapi ini saja tidak cukup karena masih diperlukan banyak
persiapan dan perbaikan di sistem pendidikan keperawatan terutama pada praktek
klinik
Praktek dan
teori dalam ilmu keperawatan keduanya harus berjalan beriringan. Karena praktek
tanpa teori dan sebaliknya teori tanpa ada praktek akan menciderai profesi keperawatan
itu sendiri. Namun pada kenyataannya disaat harus terjun di tatanan nyata
keperawatan, mahasiswa terkadang menemui kesulitan yang menurut mereka ada
perbedaan antara teori dan prakteknya di lapangan, Hal ini dapat disebabkan
karena kurangnya pengetahuan mengenai teori ataupun sebaliknya teori yang cukup
namun belum memiliki ketrampilan yang baik dalam melakukan tindakan dan kurang
terpaparnya menangani masalah pasien dengan karakteristik yang beragam.
Pendidikan
keperawatan di praktek klinik khususnya di keperawatan gawat darurat masih
belum optimal dan efektif. Schaubhut dan Gentry (2010) menyebutkan praktek
klinik diharapkan bukan hanya sekedar kesempatan untuk menerapkan teori yang
dipelajari di kelas, melalui praktek klinik, mahasiswa diharapkan lebih aktif
dalam setiap tindakan sehingga akan menjadi perawat yang lebih terampil dalam
mengaplikasikan teori dalam pelayanan. Namun kondisi di lapangan yang begitu
kompleks terkadang membuat pembimbing klinik merasa khawatir sehingga mahasiswa
juga merasa takut untuk melaksanakan tindakan keperawatan pada klien di klinik.
Hal tersebut berdampak pada minimnya pencapaian kompetensi yang seharusnya
dipenuhi oleh mahasiswa. Pelaksanaan tindakan penanganan pasien dengan gagal
jantung misalnya di setting gawat darurat, tidak memungkinkan pembimbing untuk
dapat memberikan arahan atau pembelajaran saat itu juga kepada beberapa peserta
didik yang dibimbingnya. Pada kondisi dan situasi gawat darurat penanganan yang
dilakukan memerlukan ketrampilan yang tinggi dan harus segera dilakukan dengan
tepat dan benar. Sehingga perlu dipikirkan model pembelajaran praktek klinik
apa yang tepat untuk dapat diaplikasikan di setting pembelajaran praktek klinik
gawat darurat. Bagaimana model bimbingan
praktek klinik yang tepat di setting gawat darurat masih menjadi pertanyaan
yang belum terjawab dan inilah yang saat ini menjadi fokus utama baik dari
institusi pendidikan maupun lahan praktek untuk menemukan model yang tepat.
Dari
penelusuran literatur melalui 3 data base yaitu Proquest, dan EBSCO, Medline
dan CINAHL selama bulan mei penulis menemukan lebih dari 20 jurnal – jurnal
penelitian yang menawarkan mengenai model pembimbingan praktek keperawatan yang
cocok diterapkan pada setting ruang kegawatdaruratan. Penelusuran jurnal
penelitian yang relevan difokuskan pada kata kunci model pembimbingan praktek
klinik yang tepat untuk keperawatan gawat darurat dengan rentang tahun
penerbitan antara tahun 1998 – 2011. Beberapa jurnal penelitian internasional menyebutkan
preceptorship sebagai salah satu model pembimbingan praktek keperawatan yang
cocok untuk diterapkan di praktek ruangan yang memerlukan ketrampilan yang
tinggi dan beban kerja yang cukup tinggi salah satunya pada setting perawatan intensive care dan instalasi gawat darurat.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hallin dan Danielson pada
tahun 2008 dengan menggunakan 113 responden mahasiswa di Swedia mengenai
perubahan pencapaian kompetensi sebelum dan setelah diterapkan model
preseptorship, ditemukan hasil yang signifikan bahwa penerapan model ini bisa
diterapkan di setting pelayanan keperawatan secara umum dan meningkatkan
pencapaian kompetensi mahasiswa. Masih menurut Hallin dan Danielson (2008)
Model preceptor ini dapat diaplikasikan di seting tatanan nyata praktek klinik
dan seharusnya model ini dapat mengakomodasi kepentingan siswa, dosen pembimbing
dan preceptor dengan meluangkan waktu lebih banyak untuk saling berdiskusi.
Model praktek
pembelajaran klinik preceptorship telah diterima sebagai salah satu model
pembelajaran klinik yang tepat dalam pendidikan keperawatan karena dalam model
ini terdapat hubungan yang sangat dekat antara perawat yang berpengalaman
dengan mahasiswa yang sangat memerlukan seorang role model dalam menghadapi praktek klinik nyata (Smedley, 2008). Ryan-Nicholls
(2004) berpendapat bahwa pada praktek klinik di ruang kegawatan, ada
kecenderungan dimana pembimbing tidak mampu untuk menangani mahasiswa dalam
jumlah yang besar. Hal ini disebabkan karena tempat praktek klinik yang
terpencar seperti IGD, ICU dan beberapa tindakan kegawatan yang memerlukan
ketrampilan yang cukup tinggi. Menurut Sandau dan Margo Halm (2011) “Mayoritas rekrutmen
mahasiswa perawat yang baru lulus merasa tidak siap dengan tuntutan di
lingkungan rumah sakit tempat bekerjanya terutama pada setting ruang
kegawatdaruratan”(Hal 172). Dari masalah
tersebut maka untuk menanganinya sebaiknya manajemen rumah rakit dirasa perlu
untuk mengambil langkah- langkah yang cepat agar lingkungan menjadi kondusif dengan
salah satunya adalah ikut berperan serta dalam perbaikan model pendidikan
praktek keperawatan untuk mahasiswa ataupun dengan menyediakan perawat senior
yang dapat bertindak sebagai role model,
pendamping dan pendukung bagi perawat baru atau mahasiswa sehingga dapat
mencetak perawat yang profesional dan nantinya
akan menjadi aset sumber daya yang kompeten bagi rumah sakit dan kemajuan
organisasi profesi perawat.
MASALAH DALAM PENDIDIKAN KEPERAWATAN
Peningkatan
kualitas pendidikan keperawatan terutama di setting praktek klinik sangat
diperlukan hal ini disebabkan karena semakin tingginya tuntutan masyarakat dan
instansi RS terhadap tenaga perawat baru yang berkualitas dan terampil dan
mampu memberikan pelayanan yang profesional. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh McCausland (2002) “Beberapa bagian pelayanan keperawatan seperti perawatan
di kamar operasi, sampai saat ini mengalami kekurangan dalam hal tenaga yang
terampil selain itu ada kecenderungan penurunan minat dari siswa keperawatan
itu sendiri untuk bekerja dan berkarir menjadi perawat di kamar operasi” . Masih
Menurut McCausland (2002) “Dari beberapa faktor yang menjadi penyebab penurunan
minat tersebut adalah karena keahlian pelayanan keperawatan di setting kamar
operasi tidak diberikan di kurikulum keperawatan dengan alasan bahwa pelayanan
di kamar operasi memerlukan pelatihan khusus setelah lulus di tingkat sarjana”
(Hal 76). Hal ini juga memerlukan suatu pemikiran yang kritis dari manajemen
rumah sakit mengenai bagaimana upaya mereka agar tetap memiliki sumber daya
manusia yang kompeten di bidangnya yaitu dengan menyiapkan metode pembimbingan
langsung dari perawat yang senior salah satunya dengan preceptorship.
Masalah
lain yang timbul pada penerapan model pembimbingan praktek klinik adalah pada
kerjasama dan komitmen dari institusi pendidikan dan lahan praktek (Ryan-Nicholls,
2004). Pada kenyataannya institusi pendidikan terkadang merasa tugasnya telah
selesai bila siswanya telah menjalani praktek di RS. Adapun teknis yang terkait
jadwal dinas siswa cenderung diserahkan kepada pihak RS. Pada dasarnya selain
lahan praktek, pihak insititusi pendidikan memiliki peran yang besar dalam
pencapaian kompetensi mahasiswa. Pihak institusi pendidikan seharusnya memiliki
andil yang besar dalam rangka memberi kesempatan siswanya untuk praktek di RS
dan begitu juga dengan lahan praktek sehingga perlu dijalin kerjasama yang
baik.
MODEL PRECEPTOR SEBAGAI ALTERNATIF
METODE BIMBINGAN KLINIK
Preseptorship
merupakan komponen yang vital dalam mempersiapkan mahasiswa keperawatan untuk
menuju profesionalitas. Preseptorship memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor melalui supervisi, bimbingan,
pendampingan dan role model selain itu pula preceptorship mengenalkan
lingkungan kerja yang sebenarnya pada mahasiswa (Smedley, 2008).
Metode
pembimbingan preceptorship telah diakui di banyak sumber literatur sebagai
salah satu strategi pendidikan keperawatan di klinik yang mampu mengakomodasi
peningkatan pengetahuan, kepercayaan diri siswa di praktik klinik dan hal ini
berdampak pada terbentuknya sikap profesionalitas perawat (Happell, 2009),
Model preceptor ini dapat diaplikasikan di seting tatanan nyata praktek klinik
dan Preceptor dinilai dapat mengakomodasi kepentingan siswa, dosen pembimbing
dan preceptor dengan meluangkan waktu lebih banyak untuk saling berdiskusi (Hallin
& Danielson, 2008)
Kegiatan
preceptor merupakan kegiatan yang penuh dengan tekanan dan tantangan. Salah
satu penentu keberhasilan dalam menjalankan peran menjadi preceptor tergantung
pada dukungan yang mereka dapatkan dari lingkungan bekerja mereka (Hallin &
Danielson, 2008). Sedangkan menurut Happell (2009) penentu keberhasilan
pencapaian tujuan dengan metode preceptorship ini adalah kekuatan hubungan
antara preceptor (pembimbing praktek klinik) dengan preceptee (siswa)
PERMASALAHAN DALAM PENERAPAN PRECEPTOR
Sampai saat
ini peran sebagai preseptor dianggap sangat memakan waktu karena selain harus
membimbing mahasiswa, perawat juga masih dibebani dengan kegiatan merawat
pasien (Smedley, 2008) sehingga hal tersebut menyebabkan tak jarang preceptor merasa
frustasi dan memilih untuk tidak ingin menjadi preceptor. Tentunya hal ini akan
merugikan profesi keperawatan itu sendiri, karena tidak bisa dipungkiri bahwa
keberadaan siswa adalah generasi penerus
profesi perawat itu sendiri. Mengingat
betapa pentingnya dibutuhkan seorang perawat berpengalaman yang mau berperan
menjadi preceptor maka saat ini telah banyak dilakukan riset mengenai
pengalaman dan perasaan menjadi preceptor, dengan demikian diharapkan akan
dapat ditemukan penyelesaian dari permasalahan ini. Menurut Hallin &
Danielson (2008) ketertarikan untuk menjadi preceptor sangat dipengaruhi oleh
watak dasar dari seseorang. Pernyataan tersebut dapat menjawab fenomena bahwa
tidak semua preceptor merasa jenuh dan frustasi terhadap beban kerja mereka
termasuk membimbing dan memberi pelayanan kepada pasien, hal tersebut tidak
lepas dari kesenangan dan ketertarikan mereka terhadap dunia pendidikan dan
sifat alami mereka untuk belajar dan mengajar
Permasalahan
yang lain dalam aplikasi metode preceptorship di negara kita adalah proses
dalam penyeleksian siapa yang dapat
dijadikan preceptor. Hal tersebut merupakan suatu hal yang memerlukan
kerjasama multisektor yaitu antara institusi penyelenggara pendidikan dan RS
pendidikan. Menurut Smedley (2008) Untuk menjadi preseptor beberapa hal yang
harus diketahui adalah mengenai 1) pembelajaran orang dewasa 2) Memiliki
kemampuan untuk mengenal dan beradaptasi terhadap berbagai karakter individu 3)
memiliki ketrampilan mengajar dan mau belajar di setting klinik 4) memiliki
perilaku dan sikap yang positif yang dapat diteladani baik oleh mahasiswa
maupun di tempat dia bekerja, 5) sabar dan dapat memotivasi orang lain.
Tambahan lain yang dapat menunjang peran ini adalah keikutsertaan mereka dalam
organisasi profesi seperti di negara kita adalah PPNI. Namun yang menjadi
permasalahannya adalah dalam kenyataan di lapangan sebenarnya sangat sulit
untuk mendapatkan perawat di ruangan yang memiliki kualifikasi tersebut. Dan
pada akhirnya pemilihan pembimbing klinik untuk dijadikan preceptor hanya
didasarkan pada tenaga yang tersedia.
Sebagai
kelanjutan dari proses penyerahan tanggung jawab pemilihan preceptor atau
pembimbing klinik dari pihak insititusi pendidikan kepada pihak RS ternyata
menimbulkan permasalahan baru. Pemberian intensif tambahan dari pihak institusi
pendidikan kepada pembimbing klinik membuat pemilihan terhadap perawat ruangan
untuk menjadi preceptor dianggap tidak adil bagi sebagian perawat lainnya. Menurut
Pickens et al (2006) kecenderungan untuk untuk memilih orang –orang terdekat
saja dari kepala ruangan akan membuat semacam keraguan mengenai kemampuan
mereka untuk menjadi pembimbing bagi siswa
Masalah
klasik lain yang dirasakan sebagian besar preceptor adalah mengenai teknis
evaluasi akhir belajar praktek siswa. Menurut Schaubhut & Gentry (2010).
Banyak para preceptor yang merasa enggan untuk dijadikan sebagai penentu
kelulusan akhir siswa walau dalam kenyataannya, sebagian besar waktu siswa
dihabiskan dengan praktek di RS dan berada pada bimbingan mereka. Menurut
mereka sebaiknya penilaian mereka cukup dijadikan referensi mengenai
perkembangan kemampuan siswa dalam praktek klinik, adapun kelulusan akhir
adalah masih tanggung jawab dari institusi pendidikan.
Menurut
Haitana & Bland (2011). Banyak
dari beberapa preceptee (siswa) yang merasa bahwa kurang adanya rasa percaya
dari preceptor terhadap diri mereka (siswa), begitu juga yang dirasakan oleh
preceptor yang merasa kurang ada rasa percaya pada siswa dalam hal melakukan
tindakan pelayanan mandiri kepada pasien. Bila dicermati, sebenarnya hal itu
terjadi karena ada keterbatasan waktu untuk siswa dan preceptor bertemu dan
berdiskusi. Hal ini juga dicermati oleh Happell (2009) yanng mengobservasi
bahwa adanya perbedaan jam dinas antara preceptor dan siswa. Preceptor
mengikuti roster/ jadwal dinas yang dibuat oleh pihak RS sedangkan siswa juga
terikat oleh waktu dinas yang ditentukan oleh institusi pendidikan yaitu hanya
ada waktu 6 hari untuk praktek klinik.
UPAYA DALAM PENYELESAIAN PERMASALAHAHAN
DI PRAKTEK KLINIK
Sebagai upaya
dalam pemilihan preceptorship dan kaitan eratnya dengan kualifikasi maka
menurut Brathwaite & Lemonde, (2011) ada 4 bahan pertimbangan bagi insitusi
lahan praktek yang dapat dijadikan sebagai yaitu dilihat dari karakteristik individu,
kemampuan klinik, ketrampilan dalam mengajarnya dan perlu digali mengenai apa yang menjadi
motivasi mereka untuk menjadi pembimbing klinik bagi siswa. Sehingga bila ada 4
pedoman tersebut maka pemilihan mengenai siapa yanbg berhak menjadi preceptor dapat
dinilai lebih obyektif oleh teman sejawat, pimpinan dan efeknya juga dapat
dirasakan oleh siswa.
Terkait
mengenai perbaikan kualitas perceptor, telah banyak hasil riset yang
mengusulkan untuk diadakannya program pelatihan pembimbing klinik (preceptor). Pelaksanaan
program pelatihan ini merupakan tanggung jawab bersama antara pihak institusi
pendidikan dan RS (Luhanga, Dickiesony & Mosseyz, 2010). Menurut Haitana
& Bland (2011) Materi yang diharapkan dalam program ini adalah sosialisasi
kembali mengenai bagaimana seharusnya peran seorang preceptor, bagaimana
pembelajaran adult learning, bagaimana sebaiknya berperan menjadi preceptor
bagi siswanya, bagaimana menjadi teman belajar siswa yang baik sesuai dengan
kepribadian dan latar belakang pendidikan masing –masing , bagaimana membantu
siswa yang mengalami kesulitan dalam menghadapi praktek klinik. Menurut hasil
riset yang dilakukan Hallin & Danielson (2008) menunjukkan data statistik
yang signifikan mengenai hubungan program pengenalan peran preceptor terhadap
kesiapan untuk menjadi preceptor dan kepercayaan diri saat membimbing siswa.
Mereka yang telah mendapatkan pelatihan pengenalan perceptor dinilai lebih siap
untuk membimbing mahasiswa. Dan semua ini diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pembimbingan preceptor terhadap siswa.
Pemberian
penghargaan berupa insentif dan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan
lanjut kepada preceptor dirasa sangat diperlukan. Mengingat untuk menjadi
seorang preceptor merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Penghargaan berupa
insentif bukan satu –satunya penghargaan yang dapat diberikan atas jasanya yang
berperan sebagai preceptor ini. Menurut riset yang dilakukan oleh Hallin &
Danielson pada tahun 2008 di RS Swedia, bahwa yang menjadi motivasi perawat
untuk tertarik berperan menjadi preceptor adalah kesempatan dalam jenjang karir
dan melanjutkan jenjang pendidikan ke arah yang lebih tinggi.
Secara
lengkapnya beberapa komponen yang mendukung keberhasilan penerapan metode
preceptorsip di lingkup pendidikan keperawatan telah digambarkan pada gambar 1.
Pada gambar tersebut hubungan antara preceptor dan siswa / preceptee
dipengaruhi secara signifikan oleh pihak RS dan institusi pendidikan. Pihak institusi
pendidikan bertanggung jawab dalam persiapan
kerangka pencapaian kompetensi yang dilandasi oleh filosofi pendidikan
dan keperawatan, sedangkan di pihak RS harus dapat mengakomadasi harapan dari
institusi pendidikan dengan menyiapkan lahan praktek yang ideal, bersedia
meluangkan waktu untuk dapat berinteraksi dan berdiskusi mengenai pengalaman
mahasiswa. Semua hal tersebut akan mendukung proses pembelajaran siswa yang
dipengaruhi oleh nilai kepercayaan, pengetahuan awal yang dimiliki dan
pengalaman belajar siswa. Sebaliknya di pihak preceptor diharapkan mampu
membina hubungan saling percaya dan bermutu dengan mempersiapkan diri dalam
peran preceptor, dengan pengalaman bekerja yang lama ada kesediaan untuk
berbagi pengalaman klinik dengan siswa dilengkapi pula dengan tingkat
pengetahuan preceptor.
Berdasarkan
gambar itu pula sebagai upaya untuk membangun kepercayaan antara preceptor dan
preceptee maka perlu dikomunikasikan mengenai penjadwalan dinas. Haitana &
Bland, (2011) mengusulkan agar rotasi dinas preceptee / siswa dapat diatur
sedemikian rupa agar dapat mmengikuti preceptor atau bila memungkinkan agar 1
siswa dapat dibimbing oleh 2 preceptor.
CLINICAL ORGANIZATION :
1.
Service
Delivery Philosophy
2.
Comitment to
clinical education
3.
Resources
(including time)
|
UNIVERSITY :
1.Theoretical framework
2.Comitment to clinical learnig
3.Collaboration with health service
4.Educatonal philosophy
|
PRECEPTOR
|
STUDENT
|
Preparation
for role
Clinical
Expertise
Education/Knowledge
Experience
|
Values and beliefs
Knowledge
Experience
|
Gambar 1 : Alur Komponen Pendukung
Model Preceptorship (Happell,
2009)
Hal
lain yang menjadi salah satu penentu keberhasilan penerapan model preceptorship
ini adalah mengenai hubungan kerjasama
antara perawat di ruangan dengan pembimbing klinik dari institusi pendidikan
harus dijalin dengan baik dibina dan dipertahankan dengan sebaiknya
(McCausland,2002). Dalam hal ini institusi pendidikan dapat menginformasikan
kepada preceptor mengenai karateristik siswa mereka, apa saja yang telah mereka
dapatkan di bangku pendidikan akademik dan apa sebenarnya kompetensi yang
mereka butuhkan. Hal tersebut secara langsung dapat mengurangi beban preceptor
dalam membimbing siswa. Bentuk kerjasama yang tidak kalah pentingnya adalah
evaluasi akhir mengenai pencapaian kompetensi yang diharapkan dari siswa. Dengan
menggunakan pendekatan suatu format CCCVS (Clinical
Competence Criteria Valuing Scale) Haitana & Bland (2011) meneliti
terdapat banyak persamaan dalam penilaian antara pembimbing klinik institusi
pendidikan dengan preceptor terhadap hasil belajar siswa yang mencakup
kemampuan penyelesaian masalah, aplikai teori pada praktek lapangan dan
psikomotor siswa. dan persepsi. Dalam
penerapannya proporsi penilaian pun dapat diatur misal untuk penilaian mengenai
rencana askep penilaiannya diserahkan pada pembimbing klinik institusi dan
penilaian mengenai ketrampilan siswa dalam melakukan suatu tindakan keperawatan
mulai dari persiapan alat, prosedur kerja dan terminasi, kemampuan siswa
bekerja dalam tim dan kemampuan berinteraksi dengan pasien dapat dilakukan oleh
preceptor. Dengan demikian hubungan saling percaya dan saling mengerti dan
komunikasi yang baik antara pihak insitusi pendidikan dan RS dapat terbangun
dan tujuan akhir terhadap peningkatkan kualitas siswa dapat tercapai.
KESIMPULAN
- Untuk menunjang
peningkatan kualitas mahasiswa harus diikuti dengan peningkatan kualitas
pembimbingan klinik di lapangan yang tentu saja hal tersebut memerlukan
kerjasama antara pihak insitusi Rumah Sakit dengan institusi Pendidikan. Model pembimbingan preceptorship
bisa menjadi salah satu alternatif dalam pembimbingan praktek klinik di setting
ruang kegawatdaruratan di Rumah Sakit. Kelebihan yang bisa dicapai dalam
metode ini adalah mahasiswa dapat lebih fokus dalam menghadapi realita
praktek gawat darurat di lapangan
dan mendapat contoh langsung berupa role model, mahasiswa juga akan
mendapat bimbingan intens sehingga kompetensi yang diharapkan di
departemen gawat darurat dapat tercapai.
- Untuk meningkatkan kualitas pembimbingan dan
motivasi yang besar terhadap peran perceptor maka perlu dilakukan Program
pelatihan preceptor bagi para preceptor dan pemberian penghargaan yang
sesuai kepada preceptor di lapangan. untuk dapat meningkatkan kualitas
bimbingan Perawat harus menilai dan mendukung profesinya sendiri dengan
menciptakan dunia pendidikan yang berkualitas dengan demikian akan
terbentuk suatu kepemimpinan yang berkualitas dalam meningkatkan profesi
keperawatan itu sendiri.
- Meskipun telah banyak kita bahas mengenai keuntungan
dalam penggunaan metode preceptor di setting praktek klinik emergensi
namun tetap perlu untuk terus menerus dilakukan penelitian yang mendukung model ini. Untuk itu diperlukan
peran serta dari pihak institusi pendidikan dan insittusi RS untuk terus
mengembangan model ini dan dilakukan riset –riset yang berhubungan dengan
metode apa yang tepat dan dapat meningkatkan kualitas keluaran siswa saat
lulus nanti baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Mengenai
bagaimana pemilihan kualifikasi preceptor dan program pelatihan ptreceptor
juga dapat dijadikan bahan kajian untuk kedepannya
DAFTAR PUSTAKA
Brathwaite, A. C., & Lemonde, M.
(2011). Team PreceptorshipModel: A Solution for Students’ Clinical Experience. International Scholarly Research Network
Nursing.
Haitana, J., & Bland, M. (2011).
Building Relationships: The Key To Preceptoring Nursing Students. Nursing Praxis in New Zealand, 27(1).
Hallin, K., & Danielson, E.
(2008). Being A Personal Preceptor For Nursing Students: Registered Nurses’
Experiences Before And After Introduction Of A Preceptor Model. Journal of Advanced Nursing, 65(1),
161-174.
Happell, B. (2009). A Model of
PRECEPTORSHIP in Nursing: Reflecting the Complex Functions of the Role. Nursing Education Perspectives, 30(6),
372.
Hicks, N. A., & Butkus, S. E.
(2011). Knowledge Development for Master Teachers. The journal of Theory
Construction dr Testing, 15.
Letizia, M., & Jennrich, J.
(1998). A review Of Preceptorship In Undergraduate Nursing Education :
Implication for Staff Development. The Journal of Continuing Education in
Nursing
Luhanga, F. L., Dickiesony, P., &
Mosseyz, S. D. (2010). Preceptor Preparation: An Investment in the Future
Generation of Nurses. International
Journal of Nursing Education Scholarship, 7(1).
McCausland, L. L. (2002). A Precepted
Perioperative Elective For Baccalaureate Nursing Students. AORN Journal, 76(6).
Myrick, F. (2002). Preceptorship And
Critical Thinking In Nursing Education. Journal
of Nursing Education, 41(4), 154.
Pickens, Fargotstein, J. M., & P,
B. (2006). Preceptorship: A Shared Journey Between Practice &
Education. Journal of Psychosocial Nursing
& Mental Health Services, 44(2), 31.
Ryan-Nicholls, & D, K. (2004).
Preceptor Recruitment And Retention: The Preceptor Partnership Is The Most
Effective Means Of Ensuring That Students Integrate Professionaltheory With
Clinical Practice, But A Growing Lack Of Nurse Preceptors May Threaten The
Process. The Canadian Nurse(6),
18-22.
Sandau, K. E., & Margo Halm.
(2011). Effect of a Preceptor Education Workshop:Part 2. Qualitative Results of
a Hospital-Wide Study. Journal
Continuing Education Nursing, 42(4), 172-181.
Schaubhut, R. M., & Gentry, J. A.
(2010). Nursing Preceptor Workshops: Partnership and Collaboration Between
Academia and Practice. Journal
Continuing Education Nursing, 41(4).
Smedley, A. M. (2008). Becoming and
Being a Preceptor: A Phenomenological Study. The Journal of Continuing Education in Nursing, 39(4).
Komentar
Posting Komentar